Kisah Kinara

54 9 2
                                    

"Tetaplah di sini
Jangan pernah pergi. Meski hidup berat, kau memilikiku.
Ketika kau sakit, ketika hatimu terluka. Ku kan menjagamu hingga napas ini habis."

Hingga Napas Ini Habis

Fiersa Besari

---

Rintik hujan menempel pada kaca, membuat sebuah lukisan alami yang selalu menjadi favoritku. Hujan di luar sana sudah mulai reda, namun air yang turun dari pelupuk mataku masih berjatuhan sangat deras. Aku melihat bayanganku dari kaca yang berembun, meski tidak terlalu jelas, tapi warna topi yang kugunakan tercermin sama persis seperti aslinya. Topi berwarna merah jambu yang baru dibelikan ayahku 1 minggu yang lalu ini menjadi barang satu satunya yang menjadikanku cantik, membuatku merasa sedikit pantas disebut perempuan, kalau saja warnanya hitam, mungkin aku sudah terlihat seperti laki laki yang berusaha menutupi kepalanya yang tak memiliki rambut.

Ayah bilang, rambutku pergi membawa penyakit yang ada di tubuhku, semakin hilang rambut panjangku, maka aku semakin dekat pada kesembuhan. Aku hanya meng-amiin-kan ucapan ayah, meski sebenarnya aku tahu itu adalah cara yang ayah pilih untuk membuatku kembali semangat menjalankan sisa hidupku. Lain halnya dengan ayah, mama lebih sering membelikanku bando dengan macam macam bunga yang menghiasi lingkarnya. Saat terakhir kali membelikan bando untukku beberapa hari lalu, mama bilang kalau mahkota seorang perempuan bukanlah rambut, melainkan prilakunya yang membuat dia patut disebut tuan putri. Aku juga hanya mengangguk untuk itu.

Aku mengusap kaca agar dunia luar yang mulai tertutupi embun kembali terlihat. Kuusap pula air mata di pipi saat ada sebuah panggilan masuk di handphone-ku. Tak ada nama dari nomor tersebut, itu artinya aku tak mengetahui siapa pemilik panggilan masuk ini. dengan sedikit kecurigaan aku mengangkat telfon, mungkin teman atau saudara yang akan mengucap doa padaku.

“Kinara?” suara lembut seorang lelaki menyebut namaku dengan ragu.

“Ya. Maaf, ini dengan siapa?”
Terdengar desahan dari sebrang sana,

“akhirnya aku bisa menghubungimu.” Lalu ada hening di antara percakapan ini, “Aku Teguh. Masih ingat?” lanjutnya dengan nada sumringah.

Aku terdiam sejenak, mengingat kembali sosok Teguh yang dulu pernah menjadi bagian terpenting dalam hidupku, yang selalu mengisi hari hariku saat pertama kalil memasuki masa putih abu. Dia adalah kakak kelasku, yang awalnya selalu membantuku mengerjakan tugas, membantuku mencari buku di perpustakaan, atau mengajariku beberapa materi ekstrakulikuler.

Setelah beberapa lama saling kenal, kami merasa ada kecocokan, pada sebuah malam minggu yang terang oleh bintang, Teguh memberiku bunga dengan pernyataan yang berujung pada sebuah ikatan kekasih.

1 tahun kami berpacaran, lalu aku tertangkap basah menjalin hubungan lain dengan sahabatnya, Aldo. Akhirnya kami memutuskan hubungan yang telah lama kami rajut. Aku rasa tak seharusnya Teguh menghubungi pengecut sepertiku, tak pantas untuku menjalin hubungan lagi dengannya walaupun hanya sebatas teman, Teguh orang yang baik, aku tak pantas menghiasi hidupnya. Mengapa kini dia menghubungiku?

“Ra? Masih di sana, kan?” Teguh membuyarkan lamunanku.

“Ah, iya. Aku Kinara. Ada apa Teguh?” aku menjawab dengan kepedihan yang tersengal.

“Apa kabar? Aku ingin bertemu, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”

“Kau kan tahu aku pindah ke luar kota. Memangnya mau bicara apa? Tak bisa di telfon saja?” aku masih berusaha membendung tangis.

love is a JokeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang