awal

13 1 3
                                    

Aku berjalan dengan lenggangnya di koridor ini. Semua orang auto menyingkir, ada yang memandang kagum dan ada yang memandang iri. Tapi juga ada yang memandang biasa-biasa aja.

Wait! Jangan berfikir kalo aku lagi jalan di koridor dengan angkuhnya bak Queen Bee di wattpad-wattpat. Nyatanya ini semua karena tepat di depanku adalah tiga cowok paling di kagumi saentro sekolah.

Yup! Siapa lagi? Meraka adalah Muza, Chairo dan Meggie. Dari yang aku denger sih, mereka adalah tiga orang paling berpengaruh disini, otak mereka di atas rata-rata, daaan wajahnya luar biasa bak dewa. Namun sayang, kelakuanya minus luar biasa.

Tapi, menurutku mereka biasa-biasa aja, manusia, napak, kaki dua, tangan dua. Sama aja sepertiku. Muka bak dewa katanya, dewa aja belum pernah liat pake bilang bak dewa segala, bak mandi kali ah!

Aku sengaja mengekor di belakang mereka karena aku tak mau repot-repot berjalan di koridor yang ramai. Karena kelas mereka melewari kelasku, sekalian aja numpang di belakang, kan longgar.

Aku memasuki kelasku dengan wajah normalku. Tepat di tengah kelas sana ada Vee, temanku.

“Na! Sini!” panggilnya sambil menepuk kursi di sampingnya tanda menyuruhku duduk di sana.

“tumben udah berangkat?” tanyaku sambil meletakkan tas.

“yee, lonya aja yang kesiangan. Tumben jam segini baru masuk?”

“iya, semalem Bang Zeyyan ngajakin bareng tapi bangunya dia siang banget”

“ah, tau gitu tadi nungguin di depan”

“ngapain?”

“ngapain lagi? Nungguin Bang Zeyy dong!”

“ih, apaan coba” sementara gadis di sampingku sudah tidak menyahut, sibuk berhayal dengan lelaki-lelaki ganteng idamanya.

And namaku Zena, aku ada kakak namanya Zeyyan. Dia sekolah di SMA sebelah sering tawuran sama anak sini. Bang Zeyyan gak jauh beda dengan tiga orang di atas, bedanya Bang Zeyy itu absurd dan konyol. Tapi entah gimana orang-orang tuh mandang dia Cool gitu. Padahal kalo di rumah kelakuanya parah buanget.

Kalo yang barusan itu Vee Radisa, temanku sejak ospek dan ngefans berat sama Bang Zeyy. Dia bilang ‘abang lo kek dewa kok muka lo biasa aja, jangan-jangan lo anak tetangga ya?’ karena udah banyak yang bilang gitu jadi aku udah kebal.

📖📖📖

Aku terbangun dari tidurku yang lelap. Kulihat perpustakaan telah sepi. Aku keluar dan berjalan menuju kelasku. Jam di tanganku menunjukkan pukul 3.50 PM.

Setibanya di kelas semua orang telah pergi, pulang kerumah masing-masing. Cukup aneh, biasanya jam segini masih ada orang yang berkeliaran kecuali kalau ada tawur-

‘nanti pulang sekolah langsung pulang, Abang gak bisa nganterin kamu’

Sebuah kaliman berhasil mengingatkanku. Aku lupa! Tadi pagi Bang Zeyyan sudah berkata begitu, tanda kalo bakal ada tawuran. Aku langsung buru-buru mengambil tas dan berlari menuju pintu.

Namun langkahku terhenti ketika melihat pucuk-pucuk rambut dari cendela. Ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, mereka anak sini dan paling aku kena marah kalo mereka sampai melihatku. Dan kemungkinan kedua, mereka anak SMA sebelah yang kalo sampai melihatku aku nggak tau mau di apain.

‘aduh, gimana ini?’ terdengar suara kaca pecah yang mungkin kena lempar batu, dan suara pagar yang sepertinya kena pukul sesuatu juga.

Aku takut bukan main. Kalau mereka menemukanku mau jadi apa aku? Aku barusaha mencari tempat sembunyi namun tak menemukanya. Hingga sebuah pintu memberiku ide. Aku langsung berlari dan bersembunyi di balik pintu.

Pintu sedikit terdorong dan ada dua bayangan lelaki.

“kosong! Ngga ada yang bisa di jadiin sandra”

Aku menutup mulutku rapat-rapat. Aku mengenal suara ini, ini suara Bang Zeyyan. Dari bayangannya ia membawa tongkat baseball. Apa yang harus ku lakukan?

Tubuhku merosot seketika setelah Bang Zeyy menutup pintu kelasku. Air mataku perlahan mulai turun. Apa aku harus berdiam disini sampai malam? Mana mungkin!

“lo? Kenapa masih disini?”

Sebuah suara berhasil mengalihkanku. Aku mendongak dan mendapati Muza tengah berdiri dengan kerajinan dari kayu yang ia ambil dari lemari belakang kelasku.

Aku diam. Aku tak tau harus bilang apa. Ugh! Memalukan sekali, air mataku tak mau berhenti menetes.

“lo takut?” Tanyanya yang sepontan ku beri anggukkan.

“lo nggak seharusnya ada disini” aku masih diam.

“ayo gue anter pulang” katanya sambil mengulurkan tangan. Aku langsung meraih tanganya.

Dia membawaku menuju parkiran dan dengan tergesa-gesa menjalankan motornya keluar lewat gerbang belakang. Selama di perjalanan kami hanya diam, aku hanya berbisacara ketika ia menanyakan jalanya. Akupun masih menangis ketakutan. Huft cengengnya aku.

Kupikir, Muza bukanlah orang yang baik seperti ini, dilihat dari caranya berjalan bersama dua orang temanya, ia terlihat seperti orang yang paling sombong. Namanya juga pendapat, belum tentu benar.

Dia benar benar mengantarku tenpat sampai di depan pintu. Aku turun dari morotnya dengan susah payah. Ku usap air mata dan ingusku lalu mengucap terima kasih padanya.

“its OK, lain kali kalo ada berita tawuran langsung di percaya aja. Bisa jadi bener” aku mengangguk sebagai jawaban.

“jadi kenapa lo masih di sekolah?” kutatap wajahnya sejenak lalu aku kembali menunduk.

“ketiduran di perpus” aku kembali menatap wajahnya, bukan tawa tapi sebuah senyuman terukir disana. Sekarang aja dia senyam senyum, tapi kalo dia liat Bang Zeyy yang notabenenya pentolan SMA sebelah apa masih senyum gitu?

“mending lo segera balik, kasian temen-temenlo lo tinggalin” kata gue niat mengusir.

“bener juga” katanya hendak memakai helm.

Tin tin! Sebuah klakson motor mengalihkan perhatian kami. Kami auto nengok ke sumber suara. Shit! Bang Zeyy! Gimananih? Apa bakal ada perang di rumah?!

Bang Zeyy cukup terkejut ketika melihat Muza, begitu juga Muza katika melihat Bang Zeyy melepas helm. Benar saja, wajah Muza langsung berubah kaku. Namun tidak dengan Bang Zeyy.

“thanks udah nganterin dia pulang” kata Bang Zeyy yang berhasil membuat alis Muza berkerut.

“Abang ngggak mau ngajak dia berantem?” tanyaku yang entah dimana lucunya Bang Zeyy ketawa.

“ya gak lah! Gimana bisa gue mukul cowok yang udah nolongin adek gue dari bahaya” wajah Muza kembali melunak. Ia segera memakai helm dan pergi meninggalkan rumahku tanla sepatah katapun.

“Bang Zeyy tau dari mana kalo aku dalam bahaya?” tanaku sambil mengekor Bang Zeyy yang masuk rumah.

“tadi abang liat pas kalian keluar sekolah”

Hening sejenak. Bang Zeyyan duduk di ruang tengah sambil menaikkan kakinya ke atas meja. Aku menghampirinya, kulihatin dia dari atas samapai bawah. Huft syukur deh ngga ada luka.

“Abang sampe kapan mo kayak gini?”

“abang tau kan? Dengan begini abang gak akan merubah apapun”

Kataku lalu pergi ke kamar.

leiðTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang