Muza dan Bekal

3 2 4
                                    

Pagi ini  Aku dan Bang Zeyyan duduk berdua di meja makan menikmati roti bakar buatanku. Masalah kemarin sudah tak ada yang mau bahas. Termasuk aku.

“tumben jam segini udah bangun?” tanyaku yang mendapat respon tolehan oleh Bang Zeyy.

“biasanya juga turunya kalo aku udah hampir selesai makan. Itupun belom mandi” sambungku.

“gapapa, kan mau nganterin kamu dulu. Nanti kek kemaren lagi, gak bangun di guyur aer” katanya lalu melahap satu potong roti sekaligus.

“salah sendiri nawarin tapi gak persiapan” kataku tak mau kalah.

“yaudah yuk, nanti kamu telat”

Bang Zeyy mengendarai sepeda dengan santai. Entah semalem mimpi apa dia jadi seperti ini. Cukup menakutkan kalau Bang Zeyy berubah sifat dengan tiba-tiba. Apa dia lagi naksir cewek? Huft pusing. Tapi bagus sih, bisa bantu ngerubah dia juga.

Tepat di depan gerbang sana telah berdiri sahabatku Vee yang melambai-lambaikan tanganya padaku. Atau Bang Zeyy?

“hai Vee!” sapaku setelah turun dari motor.

“hai Bang Zeyy!” aku di kacangin? Jadi beneran dia nunggu Bang Zeyy? Kirain kemaren cuma bercanda.

“hai, temenya Zenna ya?” tanya Bang Zeyy yang di beri anggukkan samangat oleh Vee.

“Abang berangkat dulu” pamitnya lalu pergi menuju sekolahnya. Sedangkan aku dan Vee berjalan menuju kelas kami.

Beruntung tak ada yang menyadari kalo itu adalah Zeyyan anak SMA sebelah. Bisa mampus jadi sandera aku.

📖📖📖

Bel istirahat telah berbunyi. Kupandang bekalku dari tadi. Entah kenapa perutku rasanya kenyang dan malas untuk memakan bekalku. Lagian ngapain coba aku bawa bekal?

“Zenn! Lo bawa bekal kok ngga bilang-bilang?!” protes Vee padaku. Kami memang biasa janjian dulu kalo mau bawa bekal. Tapi tadi aku lupa bilang. Toh ini juga dadakan.

“lupa, he he he....” jawabku sambil ketawa kikuk.

“yaudah ke kantin aja yuk! Aku temenin kamu makan” ajakku. Untungnya Vee bukan tipikal gadis yang kalo marah susah obatnya.

Aku duduk di salah satu bangku kantin menunggu Vee yang tengah mengantri mi ayam. Kubuka bekalku, lalu kututup lagi. Begitu terus hingga Vee kembali dengan girangnya.

“ya Allah, kenapa ada mahkluk kek mereka di dunia ini?” lebay Vee ketika melihat Muza, Chairo, dan Meggie memasukki kantin. Melihat Muza mengingatkanku akan kejadian kemarin. Aku merasa sangat berhutang padanya.

Kutatap bekalku, lalu ku tatap Muza. Fin, udah di putuskan. Bekal ini buat Muza aja. Toh aku juga masih kenyang.

“Vee bentar ya!” kataku langsung berjalan ke arah Muza, Chairo, dan Meggie. Samar kudengar suara Vee yang menanyakan tujuhanku.

“Kak Muza!” panggilku pada Muza. Tapi kenapa yang noleh sumuanya?! Maluuuu. Muza mengangkat sebelah alisnya.

“ini!” aku menyerahkan sekotak bekal yang tak jadi kumakan tadi. Jahat ngga sih? Ngga kan ya? Kan belom ku makan. Toh dia juga ga tau. Gapapa kan?

“ini ucapan terimakasih gue soal kemaren. Dan, makasih juga ngga mukul abang gue” kataku menjelaskan. Baru setelah itu alisnya turun kembali seperti manusia pada umumnya.

Banyak bisik-bisik yang mengira aku suka atau ngefans sama Muza. Apa mereka nggak mendengar suaraku? Dasar tuli!

“OK,” jawabnya singkat. Banget. Mengangguk sekali aku lalu berbalik hendak kembali ke mejaku. Aku cukup kaget melihat Vee melongo dan hampir semua orang di kantin menatapku penuh tanda tanya. Asa yang keliatan marah juga sih, apa jangan-jabgan itu pacarnya Muza?

Huft, menghela nafas sejenak aku lalu mulai melangkah. Namun baru kuangkat kakiku sebuah tangan kekar menggenggam tanganku yang secara otomatis membuatku menoleh pada sang empunya tangan. Chairo.

“apa?” tanyaku pelan dan bingung.

“emang kemaren kalian ngapain?” tanyanya penasaran. Kenapa gak tanya Muza ajaa?

“emmm, Kak Muza nganterin aku pulang” jawabku pelan bahkan hampir tak terdengar. Setelah melihat Chairo yang mengangguk agak puas aku kembali melangkah ke mejaku.

“lo suka sama Muza? Kok bisa? Sejak kapan? Kenapa lo gak cerita sama gue? Gimana kalo Bang Zeyy tau? Hah?” tanya Vee dengan muka syoknya.

“nggak Vee, aku bisa jelasin”

“silahkan” lalu mengalirlah cerita kemarin dimana Muza menolongku dan mengantarku pulang. Vee mengangguk paham. Tapi sepertinya tidak dengan separuh penghuni kantin. Mereka masih menatapku bak Hiena yang menatap mangsa. Kalo aja aku bisa silat, udah ku colok matanya satu-satu.

“ternyata Bang Zeyy itu gak cuma keren tapi juga baik hati” lebay Vee.

“Vee, balik yuk!” ajakku yang langsung di anggukki Vee.

Tak berbeda dari kantin, kabar tentang aku yang memberi bekal Muza mulai menyebar. Bahkan ada yang melebih-lebihkan dan bilang kalo aku nembak Muza duluan. Heol! Yang benar saja!

Kini telah memasuki jam pelahjaran ke delapan. Karena ada rapat guru, sepertinya akan kosong sampai nanti pulang. Vee sudah tidur di sampingku dengan nyenyaknya. Akhirnya akupun memutuskan untuk keperpustakaan.

Enaknya perpustakaanku adalah ada ruang baca yang lesehan. Jadi bisa di pakai buat tiduran. Dan lagi, perpus itu sepi. Hampir tak pernah terjamah oleh siapapun kecuali penjaga perpus sendiri.

Namun naas, disana ada Muza. Mau gimana lagi? Aku sudah sampai disini, sayang kalo langsung balik. Aku duduk di depan Muza, ia melirikku sekilah.

Jujur, sebenarnya aku cukup bingung karena tak ada yang menanyakan aku adeknya Zayyen atau bukan semenjak kejadian kemaren. Apa Muza tak memberi tau siapapun?

“Kak! Emmm, apa kak memberi tahu seseorang tentang aku dan Bang Zayyen?” tanyaku cukup gugup.

“nggak”

“maksih” ucapku lega.

“btw kok sendiri, yang dua kemana?” tanyaku membuka topik.

“nyari cemilan di kantin” jawabnya yang ku anggukki. Aku lalu berjalan menuju sisi lain ruangan ini untuk mencari spot yang bagus untuk tidur. Lalu aku mulai berbaring dan memejamkan mata.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 07, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

leiðTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang