1-0

123 55 139
                                    

Besok ulangan Matematika, tapi Erill sedari tadi tidak bisa memfokuskan diri pada soal-soal pemberian Bu Lusy. Otaknya terlalu sibuk memikirkan kejadian tadi siang di sekolah. Panji dan Arlen bisa-bisanya terlibat perkelahian dan yang membuatnya lebih buruk adalah mereka berkelahi karena Erill.

Erill meremas kertas kotretan dengan kasar lantas melempar kertas itu ke sembarang arah. Tidak peduli dengan hasil pekerjaannya yang baru saja ia selesaikan beberapa soal, itupun tidak menemukan jawabannya. Semuanya ngaco, Membuat Erill tambah malas.

Line

Suara pesan masuk terdengar dari ponselnya, Erill segera mengambil benda pipih itu dari nakas kemudian bangkit dari meja belajar dan menjatuhkan diri pada kasur. ia menscroll beberapa pesan masuk, Erill menautkan alisnya ketika membaca beberapa pesan dari Panji.

Zachary Panji A : Erill Maap tadi ga jadi pulang bareng.

Zachary Panji A : Aku dihukum.

Tanpa membalas, Erill langsung menutup ponselnya. Entah kenapa, Erill merasa marah pada Panji.

Namun beberapa saat kemudian....

Zachary Panji A : Kok diread aja? Kamu marah?

Erill kembali menautkan alisnya. Kali ini, jemarinya menari-nari di layar ponsel.

Ariella Callista  : engga, gpp.

Zachari Panji A : beneran? Kalau gitu besok aku jemput ya?

Ariella Callista  : gausah, aku di anter ayah.

Erill menghembuskan napas kasar seraya mematikan hanphonenya, Ia berbohong pada Panji. Sebenarnya, Erill tidak diantar oleh ayahnya. Ia hanya mencoba untuk menjaga jarak pada Panji, sebagai seorang remaja yang baru berpacaran 1x Erill tidak mau orang-orang berpikir kalau Erill itu mudah didapatkan.

“Goodnight, Erill.” Ucapnya pada diri sendiri seraya menutup mata.

***
Suasana dikelas hari ini seperti biasa sangat heboh. Ada yang baru menyalin soal Fisika, ada yang baru belajar untuk ulangan Matematika, ada juga yang sedang sibuk membuat contekan di kertas selembar. Masa-masa SMA memang masa-masa Jahiliyah bagi sebagian siswa.

Ariella baru saja tiba dikelas.  Hari ini ia tampak tidak bersemangat. Ia memalingkan pandangannya ke samping, seperti biasa Arlen masih belum tiba.

“Erika, lo bawa penggaris 30 cm gak?” Tanya Erill pada Erika seraya memutar setengah tubuhnya kebelakang.

“Penggaris Butterf*y?” tanya Erika memastikan. “Ada deh kayanya, buat apa?”

“Yaudah mana buruan minjem!”

Erika hanya cemberut lantas mengeluarkan penggaris dari dalam tasnya, Erill dengan sigap langsung mengambil penggaris itu dan kembali memutar tubuh ke posisi semula.

“Biar Arlen gak ngeganggu gue lagi!” Ketus Erill seraya meletakan penggaris itu di tengah-tengah meja lantas menggarisi meja itu dengan pulpen, seakan membuat pembatas daerah kekuasaan Erill dan Arlen.

“Mulai sekarang dia gak boleh   lewatin batas yang udah gue buat.” Lanjutnya lagi sambil tersenyum sumringah.

“Pagi guys!” sapa Arlen yang baru saja memasuki kelas pada teman-temannya, Arlen langsung berjalan ke arah meja. Tanpa disuruh lagi, Erill langsung berdiri mempersilahkan Arlen masuk meskipun muka Erill menunjukkan ketidak sukaan.  “Nah gitu dong ngerti haha!”

“Hmmmmm.” gumam Erill. Menatap Arlen sejenak, memperhatikan luka di bibir Arlen akibat perkelahian kemarin. “Bibir lo gak apa-apa?”

“Menurut Lu?” Arlen mengangkat sebelah alisnya.

“Ya biasa sih, gue cuman nanya.” Balas Erill malas.

“Lu Khawatir ya sama gue? Haha”

Erill memutar bola mata, malas. “Idih PD banget!”

“Gak apa-apa kok Erill, inimah biasa.” Ucap Arlen lembut seraya tersenyum. Arlen kemudian memalingkan pandangannya pada botol tupperware milik Erill, dengan segera tangan Arlen mencoba menggapai botol minum itu.

“Eits! Lo gaboleh lewatin garis ini!” Ancam Erill, tangannya menunjuk-nunjuk garis ditengah-tengah meja.

“Ini daerah gue!”

“Apasih lo lebay banget!”

“Pokoknya gaboleh ya gaboleh!” Ketus Erill, “Lo gaboleh ngambil benda apapun yang ada di daerah gue, ngerti?”

“Siap BOSQU!” Sambar Arlen lantang, terkesan meledek.

Bel sekolah berbunyi, Ibu Lusy langsung masuk kedalam kelas dengan muka dinginnya. Seluruh siswa duduk dengan tegap lantas memberi salam. Beberapa orang siswa berdoa di dalam hati, beberapa siswa lainnya sudah menyiapkan kertas dua lembar.

“Oke anak-anak kita buka bab 3 tentang proyeksi bangun ruang!”

“Tapi bu kita kan hari ini ulangan!” Sahut Albert selaku KM. Sontak seluruh pasang mata langsung menatap Albert tajam, menghunus dengan tatapan mengerikan. Seolah bersiap menerkam kapan saja. “Eh..engg.. ngga jadi deh bu!”

“Oh iya ibu lupa, terimakasih sudah mengingatkan Albert.” Bu Lusy mengambil kertas soal dari dalam tasnya kemudian membagikan soal itu secara merata. “Keluarkan kertas selembar! Jangan mencontek!”

***
30 menit berlalu....

“Si Albert Goblok banget lah!” Seru Arlen pelan, tangannya menggaruk kepala. tidak henti-hentinya menyalahkan Albert. “Pusing banget gue..”

Erill melirikkan pandangannya sejenak pada Arlen, kemudian memfokuskan diri lagi menghitung soal-soal.

Berisik banget!

“Rill....” panggil Arlen pelan, matanya mencoba mencari celah untuk mencontek jawaban Erill yang ia tutupi dengan soal. “Bagi dikit napa...”

“Ogah.” Jawab Erill singkat, padat, dan tidak jelas bagi Arlen.

“Kita kan  teman yang sudah  sejiwa, sebangku, dan setanah air marilah berbagi kawanku yang kusayangi.” goda Arlen, mencoba merayu Erill. “Atau lo mau gue ngerebut paksa kertas jawabannya? Biar kita berdua di keluarin lagi kek pelajaran sejarah.”

Erill menelan saliva, ketakutan memikirkan ancaman dari Arlen. Bagaimanapun, ia tidak boleh sampai dikeluarkan untuk kedua kalinya.

“Buruan ah, jangan kebanyakan mikir.”

Erill masih terdiam, kali ini ia memalingkan pandangannya pada Arlen.

“Iya Arlen, Ariella ada apa?” Tanya bu Lusi, menatap ke arah mereka berdua.

“Emm-“

“Engga Bu! Tadi Arlen minjem penghapus saya hehe!” Ariella menatap bu Lusi lantas memalingkan pandangannya pada Arlen seraya tersenyum, tersenyum palsu. “Iya kan Len?”

“Hehe iya bu!” Sahut Arlen seraya tersenyum.

“yaudah jangan ribut lagi atau saya keluarkan.”

Dengan sangat terpaksa Erill menggeserkan kertas jawaban miliknya, Arlen langsung menyalin  secepat kilat. Erill tidak punya pilihan lain, ini satu-satunya cara agar Arlen berhenti mengganggunya. 

Erill merememas rok kasar, menahan amarah.

Arlen tersenyum penuh kemenangan, “Thanks sahabat satu jiwa.”

Mungkin kali ini lo menang Arlen! Tapi, tunggu aja pembalasan gue!’

Setelah sekian lama akhirnya update lagi hehe,  selamat membaca dan jangan lupa vote komen subscribe dan like yooo! Wk

My Annoying ChairmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang