Arlen membuka mata, memperhatikan langit-langit kamarnya. Memikirkan segala pristiwa yang sudah menimpa hidupnya selama ini, kemudian melirikan pandangannya pada jam dinding. Sudah pukul 06.30, Arlenpun bangkit lantas mengambil handuk dan dengan segera masuk ke dalam kamar mandi.Dua puluh menit berlalu, laki-laki itu baru saja keluar dari kamar Mandi. Ia berjalan menuju cermin kemudian memperhatikan tubuhnya lekat. Alis yang tidak tipis, bulu mata yang panjang, tatapan tajam, serta bentuk rahangnya yang kokoh, dan tidak lupa bentuk tubuh yang atletis menjadikan Arlen banyak digandrungi oleh seluruh siswi Sma Panca.
Sebagai Atlet maka tak heran jika Arlen mempunyai perawakan yang pas dan pelukable. Arlen menyudahi lamunannya kemudian bergegas menggunakan seragam. Setelah itu, ia cepat-cepat keluar kamar dan berniat langsung pergi ke sekolah karena waktu sudah menunjukkan pukul 07.00.
Ketika Arlen baru saja melangkahkan kaki menuju ruang tengah, dehaman seorang pria berhasil menghentikan langkahnya.
Arlen memalingkan pandangannya pada sumber suara, namun setelahnya ia mencoba acuh tak acuh dan kembali melangkahkan kaki.
“Arlen kamu tidak sarapan dulu?” tanya Aryo, ayahnya Arlen.
“Engga, udah telat.” jawabnya datar tanpa menghentikan langkahnya.
“Ya sudah kalau begitu.” Aryo bangkit dari kursi. “Oh iya, Arlen. Jangan lupa pulang sekolah langsung ke kolam, kita latihan lagi”
Arlen menghentikan langkahnya, lantas memalingkan pandangannya pada Aryo yang sedang menatap Arlen lekat sambil melipat kedua tangan. “Kolam?”
“Iya kolam.”
“Sorry Yah, Arlen Gabisa. Ada latihan basket sepulang sekolah.” Jawab Arlen kemudian melanjutkan langkahnya.
“Sampai kapan kamu akan terus menjadi Atlet basket Arlen?” Aryo tersenyum meledek. “Sampai kamu seperti kakak kamu hah?!”
Mendengar itu Arlen langsung menggertakan gigi kesal sambil mengepalkan tangan, menahan amarahnya.
“Ayah gak akan pernah setuju kamu jadi atlet basket!” Bentak Aryo dengan suara yang nyaring. “Kamu harus jadi perenang hebat! Jangan bersikap bodoh seperti kakak kamu!
“Arlen gak peduli."
Muka Aryo memerah, napasnya memburu. Jawaban singkat dari anaknya itu membuatnya marah, merasa tak dihargai. “Dasar anak durhaka! Sampai kapanpun ayah tidak akan pernah setuju!”
“Terserah.” Arlen tersenyum getir. Cacian ayahnya sudah menjadi makanannya sehari-hari, Arlen sudah kebal.
Setelah sampai di garasi, tanpa berpikir panjang ia langsung menyalakan motor dan melaju membelah keheningan tanpa memperdulikan Aryo yang sedang naik darah dibuatnya. Bagi Arlen keadaan di rumahnya terlalu buruk, tidak ada alasan untuknya diam berlama-lama di tempat itu. Suasananya sudah berbeda tidak seperti dulu lagi.
Ma, Arlen kangen. Batin Arlen berbisik.
***
Hari selasa pagi waktunya pelajaran olahraga, dengan penuh semangat Erill bergegas berjalan menuju lapangan. Erill amat bersyukur, kelasnya tidak kebagian pelajaran olahraga pada siang hari. Karena menurut Erill, suasana siang hari itu tidak baik untuk kulit. Bisa-bisa kulitnya menghitam karena terbakar sinar ultra violet.“Erill sini!!” teriak Indy salah satu sahabatnya sejak SD. “kita cuci mata!”
Erill sangat mengerti dengan sikap sahabatnya yang satu ini, Indy si gadis cerewet yang tergila-gila dengan cogan, kecuali Arlen. Indy rela membuat beberapa fake akun hanya untuk meng-stalk gebetannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Annoying Chairmate
Ficțiune adolescențiUpdate setiap senin :) Bagi Ariella duduk satu bangku dengan Arlen merupakan hal paling buruk di hidupnya. Cowok yang paling dibenci Ariella sejak SD karena sikapnya yang Semena- mena dan selalu membuat Ariella darah tinggi disetiap cowok itu menghe...