Aruna menggenggam tangan ibunya. Tangan satunya mengusap pelipis ibunya dengan hati-hati. Derai tangis membasahi wajahnya, bibirnya kian gemetar.
"Ibu," ucapnya lirih. Sang ibu berupaya sekuat tenaga menahan sakit, menyembunyikannya dengan seulas senyuman.
"Ndok," Aruna menatap mata sang ibu, "ambil amplop di laci lemari ibu, ndok."
Dengan sigap Aruna langsung mengangguk dan berlari menuju lemari pakaian ibunya. Dibukanya laci tersebut dan mengambil dua amplop. Satu berwarna putih dan satu berwarna cokelat lusuh. Buru-buru ia kembali ke sang ibu. Sekar menerima amplop dari tangan Aruna.
"Nanti, kalau ibu sudah nggak ada, kamu pergi ke alamat ini, ya, ndok." Aruna kembali menangis sejadi-jadinya mendengar perkataan sang ibu. "Kalau kamu sudah bertemu dengan Talia, kamu kasihkan amplop cokelat ini, ya, Runa. Jangan kamu buka amplopnya, biar beliau yang buka."
Aruna mengangguk paham dan menerima kembali amplop tersebut. Digenggamnya tangan Sekar yang semakin terasa dingin.
"Ibu sayang sama kamu, Runa. Kamu harus tetap kuat, dan harus bisa menjaga diri, ya, ndok." Ujar Sekar dengan napas tersenggal.
Rumah peninggalan kakeknya yang terbuat dari kayu berukuran 3x3 ini menjadi saksi bisu tangisan Aruna, setelah Sekar menghembuskan napas terakhirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
heartstrike!
Teen FictionHidup mempunyai banyak kejutan, memang. Tapi, mengapa tak satupun takdir membuatku terkejut bahagia?! Ibu merupakan satu-satunya orang yang kumiliki. Tak kusangka, semenjak ibu pergi, hidup kembali menyuguhkanku akan hal-hal yang tak ingin kuketahui...