Aruna berjalan mencari rumah nomor 24. Sesekali dalam hati ia mengumpat, sungguh, wonosobo tidaklah sepanas ini. Neraka bocor, kali ya?
Kini Aruna berada didepan rumah berpagar hitam. Entah bagaimana bentuk rumah di dalamnya, sejauh mata memandang, hanya pagar hitam yang berdiri tegak di matanya.
'Masuknya dari mana, toh?' Aruna celingukan, ia sudah berusaha melompat, namun tetap saja, ia tidak dapat melihat apapun dari balik pagar. Sekarang ia putus asa, sangat haus. Air mineral gelas yang dibelinya di terminal tadi sudah habis, bahkan untuk sarapan saja ia hanya membeli sebuah lontong. Aruna mengucapkan salam, mungkin sudah lima kali, tetap saja tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Aruna menyerah. Ia duduk disamping tasnya, menyandarkan badannya ke pagar, perlahan matanya tertutup, mulai nyenyak. Tetita, pagar yang ia senderi terbuka.
"Astaghfirullah!" Ujar wanita paruh baya kaget, baru saja membuka pagar ingin membuang sampah, tiba-tiba muncul gadis dari antah-berantah tersungkur didepannya.
"Aduh..." Aruna segera bangun, mengusap kepalanya yang terjerembab. Bi Ijah buru-buru keluar sembari membawa kantong plastik hitam berisikan sampah ke bak sampah di sebelah kanan rumah.
"Maaf ya mba, cari siapa?" Bi Ijah melihat dari atas sampai bawah, melihat tas besar yang di bawa Aruna, Bi Ijah terheran-heran.
Kepala Aruna pusing, ia mencoba mengingat siapa yang ia cari, namun lupa. Aruna buru-buru merogoh saku celananya, mengambil secarik kertas dan alamat.
Bi Ijah membaca alamat dan nama Talia di kertas tersebut.
"Ooh, kamu orang baru, ya?" Ujar Bi Ijah mengangguk paham.
"Eh?" Sontak Aruna tak paham.
"Masuk, masuk. Bawa barang-barangmu."
Aruna tercengang melihat apa yang ada dibalik pagar. Air mancur beserta kolam ikan yang luas dipadu dengan taman hijau yang menyegarkan mata. Sebuah jembatan menghubungkan kolam tersebut dengan teras rumah. Sementara itu, disebelah kirinya berjejer mobil - mobil sedan membentuk dua barisan. Batinnya heran, dari mana ibunya bisa mengenal Ibu Talia yang sekaya ini?
Bi Ijah mendorong pintu kayu beroda, Aruna berada di samping pekarangan rumah, ia tidak masuk melalui pintu utama didepan kolam ikan tadi. Lagi-lagi Aruna tercengang, baru saja ia melewati mobil yang berjejer di halaman tadi. Kini, ia memasuki garasi yang berisikan mobil-mobil mewah, motor - motor besar, dan beberapa etalase berisikan sepatu-sepatu mewah. Aruna menggeleng takjub.
Aruna terus mengekori Bi Ijah sampai tak sadar kini ia telah berada di dalam dapur yang mewah.
"Nah, kamu boleh istirahat dulu. Nama saya Ijah, panggil aja Bi Ijah. Kebetulan Ibu lagi nggak di rumah, jadi kamu bantu-bantu saya dulu di dapur sampai nanti ketemu ibu, ya. Ibu nggak nitip pesan sama saya kalau mau ada pekerja baru, jadi saya nggak paham." Ujar Bi Ijah sambil tersenyum.
Aruna mencerna perkataan Bi Ijah tersebut, ia tak mengerti bagaimana harus menjelaskannya kepada Bi Ijah bahwa maksud kedatangannya kemari adalah menuruti wasiat sang Ibu. Tapi, Aruna hanya mengangguk paham. Badan dan pikirannya sudah lelah, ia butuh istirahat.
"Nama kamu siapa ?"
"Runa. Aruna, Bi ijah." Bi Ijah membukakan pintu kamar berwarna putih, letakknya berada di belakang dapur.
"yowes, kamu istirahat dulu disini, Runa. Kalau ada apa-apa, kamar Bi Ijah yang itu, ya." Ujar Bi Ijah sembari menunjuk pintu kamar di sebelah kiri. Aruna mengangguk lalu Bi Ijah pun berlalu.
"Bi, Bi Ijah," Panggil Aruna.
Bi Ijah membalikkan badannya, "Aku nanti pakai baju seragam juga, Bi?" Tanya Aruna melihat dari tadi Bi Ijah mengenakan setelan rok beserta atasan hitam, dengan celemek yang diikat di pinggangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
heartstrike!
Teen FictionHidup mempunyai banyak kejutan, memang. Tapi, mengapa tak satupun takdir membuatku terkejut bahagia?! Ibu merupakan satu-satunya orang yang kumiliki. Tak kusangka, semenjak ibu pergi, hidup kembali menyuguhkanku akan hal-hal yang tak ingin kuketahui...