S A T U

12 6 2
                                    

Aruna mengunci rumahnya. Ia mengedarkan pandangan dari depan rumah. Dilihatnya lagi rumah kayu minimalis dengan pintu merah itu. Entah apa yang ada di benak mendiang ibunya, sampai harus menyuruhnya menemui Ibu Talia, yang tinggal di Jakarta. Sementara itu, ia tinggal di Wonosobo. Berbekalkan sisa uang di amplop yang diberi ibunya, Aruna nekat membeli tiket bus ke Jakarta. Setelah menunaikan ibadah subuh, Aruna kini siap menuju ke terminal.

"Runa!" Sahutan seorang wanita membuat Aruna menoleh, ia melihat Mbok Jem, tetangga yang sudah seperti ibunya.

"Eh, mbok," Aruna tersenyum sembari mengulurkan tangan, mencium tangan Mbok Jem yang baru saja kembali dari musola di seberang. Tubuhnya masih terbalut mukena.

"Kamu serius, Run, mau ke Jakarta?" tanya Mbok Jem, terdengar sekali nada khawatir dalam kalimat tersebut.

Aruna mengulum senyum sambil mengangguk, "iya, mbok. Amanah terakhir dari ibu. Harus kulakukan," jawab Aruna.

"yowes, ndok kalau memang begitu. Tapi biar Damar mengantarmu, ya." Damar merupakan anak Mbok Jem yang setahun lebih tua darinya. Aruna tau, Mbok jem sudah menganggapnya sebagai anak. Aruna benar-benar bersyukur, masih ada yang peduli terhadapnya, karena ibu merupakan keluarga terakhir yang ia miliki.

"Iya, mbok, kalau itu buat mbok jadi tenang, biar Aruna tunggu Mas Damar." Mendengar jawaban Aruna, Mbok Jem sumringah. Buru-buru ia kembali ke rumahnya, hendak memanggil anak sulungnya tersebut.


——


"Run, kamu hati-hati ya, di Jakarta." Aruna menyodorkan helm yang kemudian diterima oleh Damar.

"Iya, Mas Damar tenang aja, lagipula ndak mungkin toh, ibu aku nyuruh aku datang ke orang jahat. Ibu Talia itu pasti baik." Ujar Aruna tersenyum. Damar mengusap kepala Aruna lembut. Bukan rahasia lagi bahwa Damar menaruh perasaan pada Aruna. Dua hari lalu, seusai pemakaman ibu Aruna, ia terkejut mendengar Aruna menyatakan harus memenuhi wasiat ibunya. Walaupun hal ini tidak didengarnya langsung dari Aruna, melainkan dari Mbok Jem, ibunya.

"Yaudah Mas Damar, aku titip rumahku ya, hehehe."

"Run, sek toh." Damar mengeluarkan secarik kertas dari dalam saku celananya, "ini nomorku, kalau ada apa-apa, kabari aku ya."

Aruna menerima kertas tersebut sambil meringis, "aku kan ndak punya hape, mas."

"Iya, tapi kalau ada apa-apa, hubungi aku." Aruna mengangguk.

Kini, Damar hanya memperhatikan punggung Aruna yang semakin jauh, memasuki terminal.


——


"Arya, bangun." Lita mengusap kepala anaknya lembut.

"enggh," Arya bergumam seraya menutup wajahnya, menghalau sinar matahari pagi yang menerobos karena bundanya menyibak tirai yang semula menutup jendela.

Arya mengerjapkan matanya, dilihatnya sang bunda yang sudah berpakaian rapi.

'pasti keluar kota lagi,' batinnya.

"Ya, nanti siang Raka pulang loh. Kangen kan, pasti?" ujar Lita yang kini sudah duduk di ujung kasur.

"Bang Raka pulang, terus bunda kemana?" Tanya Arya sambil menyenderkan punggungnya ke headboard.

Lita terkekeh pelan, ia tau betul, walau hampir menginjak usia 20 tahun, Arya memang masih manja.

"Bunda nyusul papamu, ke Hongkong. Cuma seminggu, kok. Kamu kuliah yang rajin ya. Jangan bandel!" Lita menoel hidung Arya jahil. "Yaudah, yuk sarapan dulu, nanti keburu bunda ke bandara."

heartstrike!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang