1. Awal segalanya

178 3 0
                                    

"Terkadang yang terlihat baik belum tentu baik, yang terlihat jahat belum tentu juga jahat. Semua ada porsinya masing-masing. Jika itu terjadi, mau yang baik sekalipun atau yang jahat sekaligus itu tergantung situasi, waktu dan kondisi."

-AndiniRizkiUtami, Penulis Miracle In December.

***


Aroma masakan khas dengan rempah-rempah asli mulai menyeruak mengisi indra pembau setiap orang yang ada diruangan ini. Kepulan asap saat penutup panci dibuka menjadi daya tarik orang-orang yang sedang asik bercengkrama dimeja makan. Kulihat Umi beserta Ibu Ana orang yang membantu Umi dirumah sibuk bercengkrama sembari mengambil sendok yang berisi kuah yang berasal dari panci tadi untuk dicicipi.

Aku penasaran, dengan apa yang Umi masak dan apa yang Umi rasakan. Perlahan aku mendekati panci besar tersebut, mengintip kedalamnya lalu kembali melihat Umi. "Ini apa Umi?" Tanyaku terheran melihat hasil masakan dari dua orang yang ada dihadapanku.

Sungguh aneh nan membingungkan melihatnya, masakan tersebut belum pernah kulihat dan belum pernah dimasak Umi ataupun Ibu Ana sebelumnya. Seperti sayur gulai tetapi aroma dan warnanya bukan sayur gulai, jika sayur gulai bewarna kuning berbeda dengan sayur yang kulihat tadi bewarna merah. Pasti rasanya aneh pikirku.

Umi menyendokkan kuah yang ada dipanci tadi menggunakan sendok baru. Sendok tersebut kini disodorkan ke arahku. "Jangan menilai sesuatu dari penampilan atau bentuknya saja. Penampilan tidak menjamin sesuatu itu spesial. Coba rasa terlebih dahulu, baru boleh berpikir yang tidak-tidak." Kata Umi menasehatiku.

Aku hanya tersenyum miris mendengar nasehat Umi, malu rasanya dengan diri sendiri sudah berpikir yang tidak-tidak. Dengan cekatan aku mengambil alih sendok yang tadinya dipegang Umi. Mulai kucicipi dengan sedikit rasa takut akan rasanya yang masih belum kuketahui. "Enak." Kataku spontan begitu merasakan kuah dari sayur yang dimasak Umi tadi.

"Bener kan?" Kata Umi sedikit dengan nada menyindir.

"Iya Mi." Jawabku dengan diiringi tawa kecil. Rasanya aku begitu cepat menyimpulkan sesuatu atas hal baru yang belum pernah kulihat. Rasa masakan yang Umi dan Ibu Ana masak benar-benar pecah dilidah. Rasa pedas dengan rasa asam yang bercampur membuat rasa masakan tersebut sulit untuk dilupakan. Rasanya aneh sebenarnya mengingat Umi selalu memasak makanan yang tergolong manis biasanya.

"Ada lagi yang mau ditanyakan ke Umi?" Seperti biasanya, Umi selalu mengetahui isi kepalaku.

Aku mengangguk mengiyakan pertanyaan Umi. "Ini masakan apa Umi?"

"Ini namanya Sambal Pade. Makanan orang minang."

"Umi tau darimana masakannya? Umi kan bukan orang minang." Tanyaku penasaran.

"Abimu kemarin membawanya kerumah, katanya enak jadi Umi ikut mencobanya. Dan tadi malam Abi berpesan ke Umi untuk dimasakkan masakan yang sama." Senyum Umi mengembang.

"Umi rasa Abi belakangan ini seleranya sungguh berbeda dari sebelum-sebelumnya." Kata Umi melanjutkan ucapannya.

"Aneh bagaimana Umi?"

"Tidakkah kau perhatikan Manda? Akhir-akhir ini Abi lebih menyukai masakan-masakan minang. Abi juga lebih suka makan diluar, dirumah makan besar minang yang ada di ujung jalan kota. Sewaktu Umi diantar Pak Ujang ke pasar, Pak Ujang juga bercerita bahwa akhir-akhir ini Abimu lebih sering menghabiskan waktu dirumah makan tersebut. Terkadang ketika Umi siapkan makan siang dan Umi titipkan ke Pak Ujang, Abimu menolak dan lebih memilih makan dirumah makan minang."

"Apa salahnya Umi kalau Abi makan diluar? Mungkin Abi ingin mencoba sesuatu yang baru." Kataku menduga-duga.

"Tapi." Umi memberi jeda sebelum melanjutkan ucapannya. "Sudahlah, mungkin hanya perasaan Umi saja."

Sedikit demi sedikit aku berusaha mencerna perkataan Umi, namun tidak ada yang aneh menurutku. Semua berjalan biasa saja seperti hari-hari yang sebelumnya. Abi tetap pulang walaupun sedikit terlambat belakangan ini, Abi juga tetap sarapan bersama kami dan juga Abi masih mengurus kolam dibelakang rumah. Jadi apa yang aneh? Atau mungkin aku tidak seteliti seperti Umi? Memang Umi sosok orang yang selalu teliti dalam kegiatannya.

Ketika kulihat wajah Umi tidak kutemukan lagi senyum Umi yang mengembang seperti tadi, kini yang terlihat hanya guratan raut wajah gelisah yang tampak samar-samar. Baru kali ini aku melihatnya menunjukkan emosi wajah yang seperti itu. Raut wajahnya menunjukkan bahwa Umi sedang mengkhawatirkan sesuatu. Sesuatu yang belum aku tau saat ini.

Jujur, aku tidak menyukai raut wajah Umi yang seperti itu, raut wajah yang jauh dari sikap dan kepribadian Umi yang tenang dan juga lembut.

"Umi, sebenarnya ada apa?" Tanyaku memberanikan diri.

"Sudahlah Manda, ini mungkin hanya pemikiran Umi yang sepenuhnya belum tentu terbukti benar." Kata Umi menyudahi pembahasan yang kumulai baru saja.

Matahari sudah  kembali ketempat pengasingannya, dan posisinya kini sudah digantikan oleh syahdunya sinar rembulan. Beberapa pekerja dirumah juga sudah mulai berganti raut wajah, yang tadinya tampak kusut kini berangsur-angsur bercahaya.

Suasana dapur juga mulai sedikit demi sedikit dipenuhi beberapa pekerja. Kulihat Ibu Ana dan Kak Ara dibantu Umi mulai menyusun makanan dan diletakkan di meja makan yang terletak di ruang dapur. Umi juga tampak membawa makanan ke ruang makan yang memang dipergunakan untuk makan bersama Abi dan kami anaknya. Sekali-sekali Umi melihat jam dinding dengan sikap yang menunjukkan seperti sedang menunggu.

Memang yang ku tau seperti biasa bahwa Umi pastinya sedang menunggu kepulangan Abi. Dan lagi-lagi belakangan ini Abi selalu pulang lebih lambat dari biasanya, dan hal itu membuat Umi harus mau tidak mau duduk sembari menunggu Abi dan berakhir meninggalkan makan malamnya.

"Umi makan dulu, mungkin Abi bakal kembali lebih lambat seperti biasanya." Ajak Ara.

Namun Umi tetap menunggu Abi, menunggu dengan harapan Abi segera pulang dan berakhir akan makan bersama kami seperti biasanya.

"Umi ayo makan dulu. Abi juga uda berpesan ke Ara kemarin siang untuk tidak menunggu kepulangan Abi malam ini. Kita disuruh Abi untuk makan malam terlebih dahulu." Kata Ara meyakinkan Umi.

"Biarkan Umi menunggu Abi, kalian berdua makanlah terlebih dahulu!" Kata Umi memberi perintah.

Aku menatap Ara dengan pandangan mata yang cukup tajam. Mencoba meminta penjelasan lebih mengenai maksud ucapannya tadi. Dengan sedikit berbisik aku mencoba berbicara ke Kak Ara. "Abi kenapa akhir-akhir ini selalu pulang terlambat kak? Apa keadaan toko di kota ramai?"

Ara hanya menggelengkan kepalanya sebagai ketidaktauannya. Yasudahlah pikirku demikian.

Akhirnya aku dan Ara sibuk dalam kegiatan makan, kubiarkan Umi yang masih setia menunggu kepulangan Abi dari kota. Sebenarnya sungguh tidak tega makan mendahului Umi, namun mau bagaimana lagi perut sudah tidak bisa untuk diajak kerjasama dengan baik.

Makanan dimasing-masing piring juga sudah tandas, dan barulah Abi pulang dengan wajah yang benar-benar bahagia. Entah apa yang membuatnya sebahagia itu  padahal ada seseorang yang menantinya dengan raut wajah yang gelisah.

Begitulah perempuan, sungguh menyukai perihal menunggu padahal yang ditunggu juga belum tentu berkunjung.

"Abi kenapa akhir-akhir ini pulang terlambat?" Tanya Ara.

Kulihat Abi menetralkan raut wajahnya menjadi biasa saja, tidak seperti yang pertama. "Toko sedang ramai." Jawab Abi seadanya.

Setelah itu tidak ada lagi percakapan berlanjut, Ara mengajakku keruang tengah membiarkan Umi menemani Abi makan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 03, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Perempuan Berhati SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang