Bag. 1

61 2 0
                                    

Hari ini adalah pagi yang bersemangat untukku. Sejak kemarin, aku sibuk menyiapkan resepsi pernikahan yang akan berlangsung esok hari. Pernikahan impian yang selama ini aku dan Bang Arjun harapkan. Jalinan kasih yang telah lama kami arungi kini akan bermuara dalam satu ikatan suci sehidup semati.

Perjuangan cinta kami tentu tidak mudah, harus bisa menahan rindu karena jarak dan waktu yang memisahkan. Bang Arjun adalah abdi negara yang ditugaskan menjaga perbatasan. Sikap Bang Arjun yang tegas, namun lembut, sangat menghormati wanita. Mampu membuatku merasa aman jika bersamanya.

Tanganku tengah merangkai bunga melati yang akan menjadi hiasan kamar. Tempat paling sakral setelah terucapnya janji suci. Tempat yang akan menjadi saksi menyatunya cinta dalam ikatan abadi.

"Delia!" Terdengar teriakan Ayah dari luar.

"Delia!" Lagi Ayah memanggil.

"Iya, Ayah," jawabku yang segera meletakan rangakaian melati.

"Delia!"

Kebiasaan Ayah yang tak sabaran selalu memanggilku terus menerus jika aku belum muncul di hadapannya. Bergegas keluar kamar menuju panggilan Ayah yang sedang berada di ruang tamu.

"De ...."

"Iya, Ayah. Sabar!" seruku saat tiba di hadapan Ayah.

"Kalau dipanggil segera menyahut, Del."

"Aku lagi sibuk merangkai melati, Yah. Ada apa?" tanyaku sambil memberengut duduk di sebelah Ayah.

"Kenalkan, ini murid ayah yang paling hebat. Kau ingat? Yang sering ayah ceritakan."

Mataku mengikuti arah pandang mata sendu ayah, terlihat sesosok lelaki dengan badan gempal, berkulit hitam. Duduk dengan tenang tepat di hadapanku.

Sejenak aku terdiam, mengingat-ingat tentang seorang lelaki bernama Bryan murid Ayah yang katanya paling cerdas. Ayahku--Ir. Dharma Topaz Larros, adalah dosen Seni Rupa di salah satu universitas ternama di Bandung. Dulu Ayah sering bercerita tentang mahasiswa bernama Bryan, yang selalu mendaptkan nilai bagus. Bahkan, lulus dengan predikat Summa cumlaude dengan IPK di atas 3.80.

Ekspektasiku tentang sosok Bryan buyar setelah melihatnya langsung. Menurutku malah lebih 'buruk' sosok Bryan yang Ayah gadang-gadang sebagai calon suami baik. Bahkan, hanya wanita beruntung yang akan bersanding dengannya.

Kukira dia lelaki cupu dengan kaca mata tebal juga berbadan kurus. Namun, yang duduk tenang dengan ekspresi datar di hadapanku ini, terlihat lebih sangar dan garang nampak seperti tokoh kartun dalam film animasi Shrek, monster hijau yang tinggal di rawa-rawa.

Aku cekikikan mengingat tentang kemiripan Bryan dengan Shrek--si monster hijau. Melihat hal itu Ayah terheran dan segera membuyarkan lamunanku.

"Delia."

"Eh, i-iya. Maaf." Kuulurkan tangan ke hadapan Bryan, "Kenalkan aku Delia Anggita Larros putri semata wayang Ir. Dharma Topaz Larros."

"Aku, Bryan," jawabnya masih dengan ekspresi datar, tangan besarnya menyambut uluran tanganku.

"Senang bisa bertemu denganmu Bryan." Aku segera melepas tautan jemariku yang begitu kecil dalam gengamannya. "Silahkan nikmati hidangan yang tersedia. Maaf, tidak bisa ngobrol lama. Padahal, aku ingin sekali bercerita tentang dirimu yang selalu dibanggakan Ayah. Aku sangat cemburu. Karena, hanya namamu yang selalu disebutnya."

Mendengar hal itu Ayah terkekeh namun, tidak nampak sedikit pun ekspresi yang ditunjukan Bryan. Aneh!

Heran dengan Ayah, kenapa orang seperti itu selalu dibanggakannya. Kurasa hari-harinya pasti sangat membosankan.

Aku beranjak dari ruang tamu, meninggalkan Bryan dan Ayah yang kurasa percuma ada di antara mereka, aku hanya akan jadi obat nyamuk yang terabaikan. Entah apa yang diobrolkan mereka. Aku tak peduli.

Menuju kamar, melanjutkan merangkai melati yang belum kuselesaikan. Jantungku kembali berdebar mengingat esok adalah hari teristimewa dalam hidupku. Ah, rasanya ingin mempercepat moment paling sakral yang selama ini aku impikan, duduk bersanding bersama Bang Arjun, mengucapkan ikrar janji suci.

Entah, sudah berapa lama aku berkutat dengan rangkaian bunga, menghias kamar secantik mungkin, dibantu dengan teman-teman WO yang juga sibuk mempersiapkan segalanya.

Hasilnya sangat memuaskan, dominasi warna putih dengan bunga mawar yang bertabur di atas sprei, juga bunga melati, krisan, dan seruni yang memenuhi setiap sudut ruangan mengeluarkan semerbak harum menambah kesan romantis juga menjadi aroma terapi bagi pasangan pengantin setelah lelah menjalani serangakaian acara.

Begitu yang kutahu, dari hasil bertanya kepada teman yang sudah lebih dulu merasakan indahnya malam pertama pengantin baru.

Memikirkan indahnya malam pertama, lelahku seketika hilang. Namun, aku tidak boleh terus terjaga malam ini. Aku merebahkan diri di atas sprei yang di penuhi kelopak bunga mawar, aromanya begitu menenangkan hingga lelap menyerangku dan terbuai ke dalam alam mimpi.

***
Sejak subuh perias sudah datang, segera meriasku dengan dandanan pengantin khas sunda siger. Sejak kecil, aku suka sekali dengan riasan pengantin.

Dulu sering minta diriasi Ibu yang berprofesi sebagai perias pengantin. Kata Ibu, ada filosofi dari riasan siger pada kepala si pengantin cewek, pada dasarnya telah meletakkan kearifan, rasa hormat, dan kebijaksanaannya sebagai prioritas dalam pernikahan.

Sebagai istri, siger merupakan simbolisasi harapan. Itu yang kuingat sebelum Ibu meninggal karena kanker serviks yang menyerangnya. Ibu selalu memberikan nilai-nilai nasehat untukku. Hari ini pun aku sedih. Ibu tidak bisa menyaksikanku menjadi seorang pengantin sesungguhnya tapi aku percaya, di tempat paling indah sana. Ibu sedang tersenyum bangga ke arahku.

Aku menatap pantulan diri di cermin, sangat berbeda dari biasanya. Cantik. Begitu komentar yang lain saat melihatku.

Sesekali aku melirik jam di nakas, jarumnya sudah menunjuk angka sepuluh. Sedikit gelisah menunggu kedatangan rombongan keluarga Bang Arjun. Hampir mendekati detik-detik menuju waktu yang telah disepakati. Namun, keluarga Bang Arjun tak kunjung datang. Di sela kegelisahan terdengar kegaduhan dari luar, dengan tergopoh Mbok Karsih datang menghampiriku.

"Mbok, ada apa?" tanyaku pada wanita paruh baya, asisten rumah tangga.

"Bapak, pingsan Non."

Aku segera berlari keluar kamar menghampiri Ayah yang sudah tergeletak di atas pangkuan Bryan.

"Ayah, kenapa?"

"Maaf, Anda nona Delia?" tanya Polisi berdiri di belakang Bryan, kujawab dengan anggukan. "Rombongan keluarga Pak Arjun kecelakaan, tertabrak truk yang melaju dengan kecepatan tinggi dari arah berlawanan semua korban dilarikan ke rumah sakit dan Pak Arjun tidak bisa diselamatkan." Lanjutnya, membuat jantungku seolah berhenti berdetak, sampai gelap menyerangku.

.

"Saya terima nikahnya Delia Anggita Larros binti Ir. Dharma Tapoz Larros dengan mas kawin tersebut, tunai."

"Sah!" ucap serempak Mbok Karsih, beserta para saksi, yang langsung dilanjutkan dengan doa dari Pak Penghulu.

Lelehan bulir bening sudah membasahi pipiku, tanpa riasan make up yang telah kutanggalkan sejak Ayah dilarikan ke rumah sakit akibat serangan jantung.

Detik ini juga, aku resmi diperistri Bryan, laki-laki yang mirip dengan Shrek--si monster hijau, mantan mahasiswa pintar yang selalu Ayah banggakan. Ini semua karena wasiat terakhirnya, memberi titah pada Bryan untuk selalu melindungiku dan hari ini pula, aku telah kehilangan separuh dunia.

Sekarang aku harus siap, menerima lelaki asing dalam lembaran dunia yang baru. Entah, aku tidak yakin. Bisa menerima lelaki yang baru saja kukenal dua puluh empat jam lalu, yang kini telah resmi menyandang status sebagai suamiku.

Next.

Suamiku MonsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang