Bag. 2 Dunia Baru

58 3 4
                                    

Duniaku benar-benar telah lenyap bersama monster yang sedang duduk tenang di sampingku, mata besarnya fokus dengan kedua tangan memegang setir, membawaku menuju dunianya.

Setelah akad, aku diboyongnya meninggalkan segala kenangan indah dari duniaku. Lagi-lagi aku tidak bisa menolak. Semua karena wasiat terakhir Ayah yang mengharuskan aku harus ikut bersamanya.

Mobil terus melaju, membawaku entah ke dunia mana. Aku enggan bertanya apalagi sekedar membuka percakapan. Yang kutahu, aku dibawanya ke sebuah desa yang jauh dari hiruk pikuk Ibukota.

Sepanjang jalan mataku dimanjakan dengan pemandangan indah sejauh mata memandang hanya hijau yang terlihat. Tanaman padi yang berundak-undak juga terdapat rumah-rumah penduduk dengan tata letak arsitektur yang khas. Unik.

Sejenak bisa melupakan penderitaan yang tengah kuhadapi sekarang. Namun, hanya sesaat. Kemudian, kembali pada kesadaran bahwa hidupku benar-benar dalam fase terburuk.

Mobil terus melaju, yang kini melewati jembatan kecil yang hanya bisa dilalui satu kendaraan jadi harus antre jika ingin lewat. Di bawah jembatan terdapat sungai dengan air jernih yang mengalir tenang.

Terlihat anak-anak yang sedang memandikan kerbau begitu asik yang tergambar dari tawa canda mereka.

Aku membuka kaca jendela mobil, memejamkan mata. Menghirup udara sebanyak-banyaknya. Membiarkan udara terasa sejuk dan asri membelai paru-paruku yang sedari tadi terasa begitu sesak karena si monster yang menyebalkan ini.

"Jangan buka kaca jendela!" ucapnya mengagetkanku.

Astaga! Hampir empat jam perjalanan hanya kata itu yang dia lontarkan. Kata larangan untuk tidak membuka kaca mobil. Tanpa menoleh ke arahnya, aku menarik napas dalam yang lagi terasa sesak.

Aku segera menekan tombol untuk menutup kaca mobil yang kulihat anak-anak di sana memperhatikanku. Mereka mungkin aneh melihatku bersama si Monster menyebalkan ini.

Mobil kembali melaju, melewati rumah penduduk yang rata-rata terbuat dari anyaman bambu. Aku kembali dibuat takjub dengan pemandangan indah di hadapku ini. Rumah minimalis berlantai dua. View belakang rumah pegunungan dengan kabut tipis menyelimuti. Indah.

Mobil berhenti di depan gerbang dengan pagar bambu tinggi menjulang. Lalu Bryan membunyikan klakson yang langsung dibuka oleh wanita paruh baya.

Halaman rumah minimalis ini terlihat sangat asri dan cantik terdapat gazebo dengan saung kecil yang berada di atas kolam juga tanaman dengan aneka bunga, mempercantik setiap sudut halaman.

Aku masih terpaku dengan apa yang kulihat. Inikah dunia si Monster. Amazing!

Wajar bukan, aku berucap takjub pada setiap view yang kutangkap. Karena, selama hidup di kota jarang sekali menemukan yang seperti ini.

Namun, lagi aku dikagetkan dengan pintu mobil yang terbuka. Dengan ekspresi yang selalu sama--plat. Bryan membuka pintu mobil mempersilahkan aku untuk keluar.

Ragu, aku keluar namun apalah daya menolak takdir. Siapa mampu.

Kembali memejamkan mata. Berharap Tuhan selalu memberi kekuatan untukku masuk dalam dunia baru.

"Punten, Bu saya bantu bawa tasnya," ucap wanita paruh baya yang tadi membukakan pintu gerbang.

"Tidak, terima kasih, saya bisa bawa sendiri," tolakku ketus.

"Antarkan saja dia ke kamarnya, Bi!" seru Bryan.

"Mari, Bu saya antar." Wanita ini, langsung menuruti titah si Monster.

Aku mendengus melewati si monster, lalu mengikuti langkah asisten rumah tangganya untuk memasuki rumah minimalis modern yang sangat kontras dengan rumah-rumah penduduk yang aku lihat tadi.

Tanpa banyak bicara aku terus mengekor, pada wanita dengan daster panjang juga kerudung sederhana. Membawaku menaiki anak tangga dan berhenti pada pintu kamar bercat cokelat.

"Ini kamarnya, Bu."

"Terima kasih ...."

"Panggil saya Bi Imah aja, Bu."

"Iya, Bi Imah."

"Kalau ada perlu, jangan sungkan panggil saya saja ya, Bu. Sekarang Ibu istirahat saja. Pasti capek setelah perjalanan jauh. Saya akan buatkan teh hangat juga makanan," tawar Bi Imah dengan sopan.

"Terima kasih banyak, Bi."

Bi Imah tersenyum, kemudian berlalu meninggalkanku di dalam kamar.

Mataku menyapu setiap sudut ruangan,
Kamar yang juga didesign minimalis ini. Terpadat ranjang besar, sisi kiri ada jendela besar dengan view langsung menghadap pada rumah-rumah warga di bawah bukit.

Namun, mataku terlalu lelah untuk memandang menikmati setiap pemandangan sebagus ini. Ranjang besar dengan sprei putih bersih begitu menggoda. Perjalanan jauh memaksa tubuh mungilku untuk mengistirahatkannya sejenak. Aku merebahkan diri dan langsung terbuai ke alam mimpi.

***

Entah sudah berapa lama aku tertidur. Jika saja, aku tidak mendengar suara kentongan--alat yang terbuat dari bambu yang kutahu berguna untuk memberikan peringatan pada jaman dahulu sebelum adanya soundsystem atau toa sebagai pengeras suara. Mungkin saja tidak terbangun. Karena begitu lelapnya tertidur.

Aku menatap sekeliling kamar. Menengok pada kaca jendela yang sudah terlihat gelap di luar sana. Astaga! Ternyata hari sudah mulai malam.

Tok tok tok!

Terdengar ketukan pintu dari luar. Segera aku membukakan pintu yang ternyata Bi Imah.

"Bu, maaf menganggu, sudah Magrib."

"Iya, Bi. Saya ketiduran."

Bi Imah tersenyum. "Pasti kelelahan ya, Bu? Ini saya bawakan teh hangat dan camilan, tadi belum sempat memberikan Ibu sudah tertidur." Lanjutnya.

"Oh, terima kasih. Bi," jawabku saat Bi Imah meletakan teh hangat di atas nakas. "Bi, boleh aku bertanya?" tanyaku pada Bi Imah. Mata sayunya menatapku kemudian tersenyum dan mendekatiku yang duduk di tepi ranjang.

"Tanya, apa Bu?"

"Bi, si Monster tadi ke mana?"

"Monster?" Bi Imah mengrenyitkan dahi, mungkin terheran dari pertanyaanku. "Eh, maksudku Bryan, Bi."

"Pak Bryan, sedang ke balai desa ada pertemuan."

Aku hanya ber oh ria, mendengar jawaban Bi Imah. Si Monster itu sedang pergi ke balai desa? Untuk apa? Apa posisinya di daerah ini cukup penting? Bukankah untuk melapor jika ada orang baru hanya ke RT setempat. Ah entahlah aku tidak peduli.

"Jangan takut dengan sikap Pak Bryan ya Bu, dia orang baik. Hanya saja sulit mengungkapkannya," ucap Bi Imah yang mungkin mengerti kegelisahanku. " Kalau tidak ada lagi yang ditanyakan saya permisi ya, Bu. Di meja makan sudah terhidang makan malam." Lanjut Bi Imah tersenyum menatapku

Aku mengangguk, Bi Imah kembali berlalu meninggalkanku, saat punggung kurusnya menghilang di balik pintu. Aku segera melangkah membersihkan diri dari segala penat yang terus menggelayutiku.

Entah, kapan semua ini akan berakhir? Aku masih belum bisa menerima kenyataan yang begitu sulit kupercaya. Berharap segala yang begitu menyiksa batinku bisa hilang dari derasnya air yang mengalir membasahi kulit.

Lelehan bening dari matakku kembali membanjiri seperti enggan untuk berhenti saat merapalkan doa-doa untuk Ayah juga Bang Arjun. Aku duduk bersimpuh mengiba kepada Sang Maha Pemilik Takdir. Memohon pertolongan akan segala yang terjadi.

Tok tok tok!

Kembali terdengar ketukan dari luar. Pasti Bi Imah yang datang.

"Masuk saja, Bi."

Klek!

Pintu terbuka, aku tercengang melihat siapa yang memasuki kamarku, bukan! Ini bukan sosok Bi Imah.

Mataku membulat saat sosok Bryan yang ternyata memasuki kamarku.

Aku kembali memejamkan mata mencoba menghalau rasa keterkejutanku. Mencoba kembali tersadar kalau aku memang telah halal baginya. Namun tidak secepat ini. Aku belum bisa jika harus melakukan segala ritual sebagai pengantin baru.

Next

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 18, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Suamiku MonsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang