Matahariku

31 8 2
                                    


"Jangan berteriak denganku." Suara ayah terdengar lantang, hingga sampai ke telingaku yang berada di lantai yang berbeda.

"Kami disini menunggumu, kau selalu pulang malam, tidak memberikan apa yang sebenarnya dibutuhkan." Suara tangisan mama terdengar samar dari bawah.

Satu, dua, tiga...
BRUKKK!!!
"Airen kamu kenapa sayang, bangun sayang." Tangan itu memegangku dengan erat.

"Bawa Airen ke rumah sakit." Tangan yang berbeda menggendongku.

Itulah mengapa aku berada di sini, asmaku kambuh disaat yang tepat ternyata. Dengan ini mereka tidak akan meninggikan suara masing masing.

Aku sudah bosan berada disini, setiap asmaku kambuh mereka memanggil dokter ke rumah atau membawaku ke rumah sakit, kemudian pergi dengan alasan urusan pekerjaan.

Ruangan ini luas, namun terasa sepi, tidak ada yang mengunjungiku atau menjagaku. Dokter di sini sudah terbiasa dengan keberadaanku, mereka mengenalku lebih baik daripada orang tuaku sendiri.

Tok Tok!!!

"Masuk." Aku bangkit dari posisi tidurku.

"Halo Airen, stress lagi kah sayang?" Suster yang mengantar obat itu masuk ke kamarku, aku hanya berdehem mengiyakan.

Dibelakangnya ada sesosok gadis kecil yang mungkin umurnya lebih muda dariku.

"Kamu siapa?" Anak perempuan itu bersembunyi dibalik badan suster itu, sesekali ia melihatku.

"Airen ini obat mu, ah ini Aeris dia kesini bilang ingin menyemangatimu, dia melihatmu waktu kau dibawa masuk ke ruangan ini." Kini suster itu memundurkan dirinya dan mendorong gadis itu kearahku.

"Aeris nanti balik kalau sudah menyapa Airen yah." Suster itu keluar, sedangkan gadis kecil itu mengangguk pelan.

"Aku tidak mau mengenalmu." Aku sudah terbiasa sendiri, dulu teman teman bermain denganku hanya karena aku kaya.

Dia berusaha naik keranjangku, badannya kecil hingga ia harus lompat lompat untuk menyampai pinggiran ranjang, aku mengulurkan tanganku ke arahnya, lalu menariknya.

Dia duduk di ranjang dan menatapku lekat, aku merasa kesal dari tadi ia hanya diam tidak mengeluarkan suara apapun, paras kami sama sama tidak berekspresi.

"Aku mau mati, jadi sebaiknya kamu pergi." Tatapannya berubah, mukanya memerah dia nampak geram, kemudian ia menunjukkan ekspresi terkejut setelah meraba kantong bajunya. Kemudian dia memegang bahuku erat, seperti memberi isyarat untuk menunggu.

Dia melompat dari ranjangku, berlari ke arah luar. Aku sendiri lagi, aku merebahkan tubuhku diatas ranjang yang luasnya lima kali lipat dari tubuhku.

Krieettt!!!
Suara pintu terbuka, aku terkejut pelan, gadis kecil itu kembali dengan membawa kertas ditangannya.

"Apakah kau tidak tau sopan santun? ketuk pintu dulu sebelum masuk." Ia tidak mendengarkan dan berusaha untuk naik ke tempat tidurku lagi, dan sekali lagi aku menariknya.

"Kau mau apa?" Tanyaku yang sudah kesal dibuatnya. Dia menyodorkan kertas yang bertuliskan semangat kepadaku. Aku hanya mengangkat alis dan membuangnya ke samping ranjang. Dia mengambilnya dan menyodorkan kertas itu lagi ke padaku, aku memberikannya senyum paksa lalu menaruh kertas itu di atas nakas.

"Ailen jangan mau mati." Dia menyebutku Ailen? sepertinya dia tidak bisa mengucap huruf R, cadel. Parasnya membantaiku, ia berusaha meyakinkanku.

"Ailen halus hidup, bial bisa temani Aelis liat dunia." Aku menyerngitkan dahiku, apa yang anak itu bilang? Ia menyodorkan sebuah kertas yang berbeda tekstur dari yang tadi. Sebuah foto hamparan dandelion?

DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang