Happy reading :3
"Airen, time to go home." Kak Ghani berada di sebelah ranjang mengusap rambutnya yang masih berantakan.
"Hmm, baiklah." Dia mulai memejamkan mata, bernapas pelan, aku yang digendong kak Ghani langsung melempar diriku dan membenamkannya diperut Airen.
"Aeris sakit, bangun woy." Tangannya mendorongku menjauh, aku menatapnya gundah pasal nya paras manis itu terlihat lelah.
"Ailen kenapa?" Aku memegang dahinya, panas menjalar ketanganku, aku segera memeluknya berharap panas itu berpindah ke diriku.
"Aeris bangun, Airen mau pulang." Kak Ghani melepaskan tangaku yang melingkar di tubuhnya, aku menggeleng dan masih memeluknya.
"Dahi Ailen panas, Aelis mau disini peluk Ailen bial panas na ilang." Kak Ghani kemudian mencubit pipi Airen, mebiarkan aku memeluknya.
"Kalau suhu ruangan dingin tentu kepalanya panas." Kak Ghani kini mengangkatku yang mengerang tidak ingin melepas Airen.
"Muka Ailen pucat." Aku menunjuk paras elegan, ku tatap dia lekat, dia memiliki ukiran mata yang tajam membuat semua orang enggan menetap untuk melihat.
Kak Ghani berjalan ke kamar mandi, ia membawa gayung berisikan air, memasukkan tangannya dan mengambil sejumput air di tangan lalu mengelapkan kemuka Airen yang sedari tadi nampak lesu.
"Aerisnya kak Ghani tercinta, itu muka orang malas baru bangun dari mati sementara, bukan muka orang pucat mau mati selamanya."
Kak Ghani tertawa lepas sambil melumat habis pipiku dengan tangannya, sedang Airen menyipitkan matanya membuat muka tanpa ekspresi seperti tembok.-----
"Aeris, aku pulang dulu yah." Airen membuka pintu kamarku, ia melangkah kearahku yang sedang duduk di sofa bersama Elnes.
"Iya pulang aja sana nggak usah ijin ijin bukan disekolah juga." Elnes membalasnya dengan tangan yang mengusir.
"Eleh iya dong aku sekolah emang kamu." Airen membalas nya dengan ejekan.
"Lo pikir gua gak ada ilmu, pintaran juga pintaran gua walau gak sekolah formal." Elnes membalasnya, kemudian berjalan menghampiri Airen.
"Bala, jangan pake gua sama lo." Aku mengikutinya, menarik tubuhnya mundur.
"Haha Bala? Bala bala yah." Mereka bertatapan dengan pandangan sinis.
"Nama gua Elnes Elzabara, Aeris, Bara pakai gua sama lo cuman waktu sama si culun ini." Dia menunjuk Airen yang lagi berdiri 10 meter di hadapannya.
Yah walau bagaimanapun kan aku nggak suka kalau pakai lo atau gua, serasa nggak sopan.
"Nggak nanya, nih garisin nama gua Airen Zanvier." Dia memegang dadanya, seperti menandai dirinya sendiri.
"Oh." Bara hanya membulatkan mulutnya.
"Ailen hati hati yah."
"Apa ris? Alien?"
Mhh, sepertinya Bara akan memulai tarung mulut dengan Airen.
"Eh jangan ngatain gua Alien bala bala goreng." Dia melipat tangannya di depan dada.
"Alien bisa marah juga yah." Bara kembali mengejek Airen.
"So pasti, alien tuh makhluk hidup, bukan kayak lo makhluk gaib."
Mereka mengedarkan pandangan mencari kata kata yang sesuai sebagai balasan sindiran yang menurutku hanya ocehan.
"Ikan lele." Aku terpikir akan ikan lele sesaat, pemikiran sumpek diriku yang melihat debatan mereka, yang secara refleks keluar dalam perkataan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion
Teen FictionAeris yang berusaha untuk hidupnya, bertemu dengan pangeran tampan yang menjanjikan kebahagiaan untuknya. Ketika ia dan yang lain berusaha mengejar impian banyak tragedi yang terjadi, membuatnya enggan bermimpi. Dua orang sahabatnya membantunya bang...