Rindu aksara
Dapatkah ku kembali bersuara
Bersama rangkaian diksi, bait, dan rima
Yang menyatu dalam sebuah karya
Hingga karsaku dapat tersampai padanya
Sang Pujangga yang menyimpan senja dalam senyumnya— DR2819LYSCH
Jika dapat dihitung-hitung, sudah lebih dari 4 jam aku duduk lesehan di dalam gedung ini. Hari ini adalah hari terakhir pengenalan dunia kampus, setelah beberapa hari yang lalu kami di arak untuk keliling mengenal seluk-beluk bangunan serta orang-orang yang akan kami temui saat akan mulai kuliah esok.
Merasa terlalu bosan, aku akhirnya menulis beberapa kalimat untuk mendistraksi setidaknya sedikit rasa pegal yang mulai terasa karena tak ada aktivitas berlebih yang ku lakukan dalam kurun waktu 4 jam ini. Selain duduk lesehan ini tentunya.
Di depan sana, perwakilan dari beberapa dosen program studi tengah memberikan ceramah, bukan, lebih tepatnya kata sambutan kepada kami sebagai mahasiswa baru.
Aku menatap ke arah sekeliling, ternyata respon mereka tak jauh sama dengan yang ku rasakan. Tatapan-tatapan penuh kebosanan ditambah rasa pegal luar biasa serta kegerahan dapat ku lihat dari pandangan serta gerak-gerik yang mereka lakukan.
Jika aku disuruh memilih, harus panas-panasan di arak ke sekeliling kampus seperti kemarin atau duduk lesehan di dalam gedung luas yang sudah pasti terhindar dari terik matahari, aku pasti akan lebih memilih panas-panasan yang menuntut kinerja otot untuk lebih banyak bekerja. Demi apapun, duduk berjam-jam seperti ini sungguh tak enak.
"Wuih...puisi yang kamu buat bagus, Na," Gadis disampingku berpendapat setelah membaca lembaran yang ada di tanganku.
"Eh, makasih sebelumnya, tapi kalau dibanding buatanmu mah masih kalah jauh, Din. By the way, aku tersanjung lho ya, karyaku dibilang bagus sama anak sastra yang sesungguhnya," ujarku sambil sesekali terkekeh pada Dina, salah satu temanku di SMA.
"Nah, makanya itu, kamu kok nggak masuk sastra aja sih, Na. Nih,ya, aku jamin pasti bakat nulis kamu bakal lebih terasah, apalagi kalau memang dasarnya sudah lumayan bagus gini," seloroh Dina memberikan pendapatnya padaku.
"Aku juga udah bilang gitu ke nih anak, Din. Tapi memang dasarnya Farhana dan segala pemikirannya, susah banget buat di tebak." Lya, sahabat serta temanku sedari SMP, ikut menanggapi.
"Namanya juga minat, kan aku pengennya jadi saintis muda. Lagipula kalau dipikir-pikir, aku bukan orang baru juga kan di sains," ujarku membela diri.
Aku memang memiliki bakat menulis, yang ku ketahui itu merupakan bakat turunan dari Bunda. Bunda memang bukan seorang novelis atau sebagainya, tapi dia sering membuat puisi-puisi pendek atau quotes-quotes indah di buku catatannya semasa muda. Jangan heran jika aku mengetahuinya, bunda sendiri yang sering bercerita tentang masa mudanya dulu. Apalagi saat ia akhirnya bertemu dengan Ayah, bunda bilang saat itulah ia mulai menulis kalimat-kalimat puitis untuk menyuarakan perasaannya.
"Iyain aja deh, biar cepet kelar," balas Lya yang membuat kami terkekeh.
Setelah itu, aku memutuskan untuk mengarahkan atensi seutuhnya ke arah depan, dimana saat itu beberapa perwakilan dari kakak-kakak organisasi sanggar seni sedang melakukan pertunjukan.
***
Jarum jam yang menempel pada pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul 12.30. Setidaknya jika dihitung, kurang lebih 6 jam sudah kami duduk menyila, dan untuk pertama kalinya dalam hari ini aku bisa merilekskan badanku setelah diberikan aba-aba untuk Ishoma*.
KAMU SEDANG MEMBACA
CandlevoL
General FictionBinar yang redup itu, membawa maya menjadi nyata dan tak terkisah bagi jelasnya. Hanya ada asa, renjana, serta tanda tanya pada garis yang terbentang. Bagaimanakah narasi itu dapat bermula, dan bagaimana mereka mengakhirinya? ...