After The Endgame

472K 50.1K 92.4K
                                    

Mungkin hakikat fajar dan senja pada umumnya memang selalu berlawanan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mungkin hakikat fajar dan senja pada umumnya memang selalu berlawanan. Antara terang dan gelap, antara pengawal dan pengakhir, tak bisa bersama dalam satu waktu. Namun mereka lupa, jika bagaimana pun takdir Tuhan mengatakan bahwasanya keduanya selalu saling membutuhkan. 

Tiada fajar tanpa senja, tiada senja tanpa fajar.


.

.

.


3 tahun kemudian...

Angin bertiup sepoi, melambaikan surai panjang kecoklatan yang sehalus sutra tersebut. Kicauan burung dan gesekan dedaunan pun terdengar menjadi pengiring simfoni orkestra alam pada pagi hari itu.

Gadis itu berjalan melalui pepohonan dan beberapa semak belukar, kemudian berhenti di depan sebuah tumpukan batu yang ditata sedemikian rupa. Dia duduk di depannya, menekuk kedua lutut, meletakkan sebingkai kecil foto sepasang kekasih semasa mudanya, dan satu bingkai yang menyimpan foto seorang anak laki-laki dengan senyuman paling tulus. Meletakkannya di samping tiga tangkai krisan berwarna putih gading. 

Kemudian, dikatupkannya kedua telapak tangannya itu sembari memejamkan sepasang matanya yang lentik, dan berdoa. 

Alih-alih tak bisa pergi ke makam orang tuanya langsung, Lee Jeha menumpuk beberapa batu dan selalu merawatnya selama ini. Meletakkan foto ayah, ibu, dan juga pamannya, memberikan bunga-bunga baru setiap berkunjung. Yang terpenting adalah doa, bukan?

Selama beberapa menit gadis itu berdoa, kemudian kembali membuka matanya. Memandang wajah tersenyum ayahnya yang tampak begitu tulus, wajah cantik ibunya yang begitu menyejukkan, dan wajah pamannya yang begitu mirip dengan pria yang ia cintai. Mereka terlihat bahagia. 

Lee Jeha tersenyum tipis, masih dengan telapak tangannya yang tertutup. 

"Walaupun sebentar, seenggaknya aku bisa ngerasain gimana kita akhirnya bersama," pelan gadis itu. 

Dia bukan remaja lagi sekarang, usianya sudah 23 tahun. Setelah tertidur cukup lama dan bercengkerama dengan orang tuanya di alam sana, Lee Jeha kini bukan dirinya yang dulu lagi. 

Dia bukan lagi Lee Jeha yang cengeng, dan selalu bergantung pada ayahnya. 

"Aku harap kalian bertiga selalu berbahagia," pintanya. "Kalian jangan khawatir lagi, aku pasti bisa jaga diri mulai dari sekarang, aku bisa mandiri."

Menghela napas, Jeha menurunkan tangannya, kemudian berdiri dan menepuk-nepuk rok panjangnya yang terkena debu karena bersimpuh di atas tanah. Mengambil keranjang kayunya yang ia abaikan tadi. 

[✔] 2. After DEAR JTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang