Saat itu masih bulan Desember dan hujan sedang deras-derasnya. Seorang gadis bersurai kecoklatan berlari kecil untuk berteduh di bawah sebuah halte. Ujung celana jeansnya terlihat basah, mungkin tak sengaja ia menginjak genangan air. Halte tersebut masih cukup sepi. Ia melirik jam tangan berwarna gold di pergelangan tangannya, masih jam 12 siang, masih ada waktu.
Ia duduk di bangku biru itu sejenak, menyeka air hujan yang sempat singgah di wajah manis milik gadis asli keturunan Jawa tersebut. Bibirnya terlihat sedikit pucat, mungkin efek kedinginan. Tiba-tiba seseorang menghentikan laju motornya di depan halte, ikut berteduh bersama gadis itu. Gadis itu sejenak melirik laki-laki di sampingnya yang sibuk melepaskan helm full face, lalu melepaskan kemeja miliknya dan menyisakan dalaman berwarna hitam polos yang membiarkan lekuk dada bidang laki-laki itu terekspos.
Gadis itu, Kiran Ananda, segera mengalihkan perhatiannya saat objek yang diamatinya tiba-tiba menoleh ke arahnya. Laki-laki itu masih muda, mungkin seumuran Kiran. Berperawakan tinggi dengan rambut dicukur rapi, jambut di wajahnya seakan menghiasi rahang tegas yang dimiliki laki-laki itu. Hidung mancung dengan kulit putih bersihnya seakan menyiratkan bahwa laki-laki itu adalah orang yang pertama kali absen saat pembagian kesempurnaan fisik oleh Tuhan.
Ia mengamati Kiran sejenak, lalu kembali fokus mengamati jalan di depannya yang sudah tergenang air hujan, bak banjir. Ia tak mau mengambil resiko motor kesayangannya akan ngadat di tengah jalan karena kemasukan air. Padahal seharusnya, sekarang ia harus menjemput pacarnya di kampus, tetapi ia tidak peduli, ia lebih sayang motornya ketimbang pacarnya.
Sebatang rokok ia sulut. Kadang perhatiannya teralihkan kepada seorang gadis manis bermata bulat yang sedang duduk kedinginan di ujung bangku biru itu, lalu mengamati hujan, kembali ke gadis itu, seterusnya. Hingga akhirnya tanpa sengaja mata mereka bertemu, dan ia mulai merasa salah tingkah dalam keheningan seperti ini. Momen terabsurd dalam hidupnya.
"Mbak kuliah di sini?" Ucapnya memulai percakapan. Hanya untuk sekedar basa-basi. Kebetulan halte ini berada tepat di depan salah satu kampus negeri di Kota Malang, mungkin tebakannya tak salah.
"Nggeh, mas. Saya kuliah di sini." Jawab Kiran sambil tersenyum. Sekedar sopan santun saat ada orang yang mengajaknya bicara.
Setelah itu tak ada percakapan lagi. Keduanya kembali hening. Laki-laki itu fokus menyesap rokoknya kuat-kuat, sedangkan Kiran hanya memainkan ujung sweater coklatnya sambil sesekali mengecek hp. Sudah setengah jam, dan hujan masih setia turun dengan deras.
"Mas kuliah di sini juga?" Tanya Kiran untuk mengusir rasa bosan. Sesekali mengajak orang asing mengobrol tak apa lah menurutnya.
"Eh, enggak mbak, eheh, saya kuliah di kampus merah di daerah kota Batu. Kemarin sempet tes di sini gak lulus, jadi lanjut ke swasta aja deh,"
"Kampus swasta rasa negeri ya, mas?" Canda Kiran supaya tidak terkesan garing. Lagian siapa yang tidak tau reputasi kampus merah itu? Walau swasta tetapi kampusnya terbilang cukup wow dan bergengsi.
"Ya...gak sebagus kampus mbak lah. Udah masuk top ten kampus favorit dan terbaik di Indonesia, makanya orang kayak aku ini ditolak seleksi, kayaknya tampang aku gak memungkinkan buat masuk sini yah, mbak?heheh,".
"Aduhhh. Mas ngomong apa sih, semua kampus sama aja mas, yang penting skill kita yang diuji kalo nanti di dunia kerja."
"Eh, btw mbak asli sini?" Tanya laki-laki itu. Mungkin sedari tadi ia mengamati wajah manis Kiran yang kemungkinan tebaknya 100 persen Jawa asli, wong cara ngomongnya juga medok begitu.
"Enggak mas, saya anak rantau. masnya asli sini?"
"Oh enggak mbak, saya dari Jakarta, anak rantau juga, kebetulan suka banget sama Kota Malang, makanya milih kuliah di sini. Kalo mbak nanya alasan kenapa gak milih kuliah du Jakarta aja, jawabanku absolutely no! Jakarta sumpek mbak, gak kayak di sini, adem," jawabnya panjang lebar. Tebak Kiran mungkin laki-laki ini tipe ekstrovert yang mudah bergaul dengan siapapun buktinya, sejauh ini keduanya asyik mengobrol tanpa rasa canggung sedikitpun.
Hujan mulai mereda dan yang tersisa hanya gerimis yang tipis. Genangan-genangan air hujan di jalan juga sudah terlihat surut, merembes melalui gorong-gorong.
Laki-laki itu, ia mulai bersiap-siap akan melanjutkan perjalanan. Sedikit pelan menyesap rokoknya untuk terakhir kali, lalu membuang putung rokok tersebut dan menginjaknya. Kiran masih setia menunggu kendaraan umum yang lewat, ia harap tak akan telat sampai di tempat ia mengajar sebagai guru privat anak SD.
"Mbak, aku duluan, yah, udah ditungguin soalnya!" Ucap laki-laki itu ramah.
"Oh, iya mas." Jawab Kiran seadanya, toh ia tidak perlu mengucapkan kata basa-basi "hati-hati" mereka berdua hanya orang asing yang kebetulan bertemu di halte.
Ya...kebetulan
Kebetulan yang akan mengubah hidup Kiran.
Laki-laki itu berlari kecil menuju motornya, menstarter motornya.
Tetapi sebelum itu, ia kembali turun dari motor itu. Kembali berlari kecil menuju halte, ia mengagetkan Kiran yang sejak tadi hanya menunduk dan fokus pada handphonenya.
"Kenalin, mbak, nama aku Zidan, Azka Zidan,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Grey
Teen FictionKamu tahu apa yang paling Kiran benci di dunia ini? Ya, jatuh cinta. Kiran paling takut terseret ke dalam dunia kelam tersebut. Kiran benci dengan drama percintaan. Sejak tragedi dua tahun yang lalu membuat hatinya terasa kaku dan mati untuk sekedar...