Espresso

56 9 1
                                    


Gue menulis ini dengan segelas espresso disisi kiri meja. Ternyata ada atau nggaknya lo rasa espresso tetap sama, pahit. Hanya saja pahit espresso bisa di hilangkan. Kalau menghilangkan lo, belum tau caranya.

"Aku tau kenapa kamu suka espresso." Katanya waktu itu.

"Kenapa?"

"Karena udah ada aku yang paling manis. Jadi kamu perlu espresso biar gak enek."

Gue tergelak dalam hati. Celoteh paling konyol sekaligus paling ingin gue dengar saat ini meskipun hanya sekali.

"Straightforward banget sih."

"Hehehe"

"Gak usah ketawa."

"Kenapa? Cantik ya?"

Rasanya gue pengen berbisik. Iya, banget. Gue gak kuat.

"Serem."

"Ck kamu mah malu-malu meong ih." Nav memiringkan kepalanya menatapku.

Nav kelihatan berpikir keras padahal mikir hasil dari matriks a-2b+c aja bisa satu tahun lamanya. Tapi bukan Nav namanya, kalo gak hiperbola.

"Tapi serius deh. Kamu tuh jangan sering-sering minum espresso. Liat tuh kantong mata kamu! Udah kayak lingkaran setan."

"Hm."

Satu sendok pancake tiba-tiba ada di depan muka gue. Dibanding nyuapin, Nav malah kayak mau nusuk muka gue dengan pancake.

"Mawhu ghak?" Nav bertanya dengan mulut penuh. Anehnya malah bikin dia keliatan lucu.

Gue berdecak.

"Makan tuh yang bener."

Dia cemberut. Oh, cewek tuh emang sengaja ya nekuk muka kaya gitu biar keliatan gemes?

"Kamu tuh harusnya ngelapin bibir aku dong. Biar kayak di drakor."

"Jangan kebanyakan nonton drakor."

"Dih. Emang kenapa?"

"Nanti lo kebanyakan halu."

Nav nyengir. "Ngapain halu ke oppa oppa yang jauh kalo aku punya kamu yang bisa aku ndusel ndusel manja secara langsung?"

Gue langsung tersenyum lebar "Exactly, babe. You have me."

Mungkin moment tadi adalah satu dari beberapa precious moments yang gue punya. Dan Nav selalu jadi bagiannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 08, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My NavTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang