Kejadian beberapa hari ini terngiang dipikiran Rania, memenuhi ruang di kepalanya. Dia bukan pemikir, dia juga tidak suka berpikir, tapi Rania sendiri tidak bisa mengendalikannya. Tentang surat sialan itu, dan.... Saga. Munafik jika dia bilang tidak memikirlannya, dan entah mengapa pikirannya penuh tentang dia. Bagi Rania ini terlampau rumit, bahkan dibandingkan matematika, itu belum ada apa-apanya.
Rania memukul dahinya pelan, lalu menghembuskan napas kasar. "Kebanyakan mikir otak gue akhir-akhir ini."
Bayangan Saga kembali muncul, cowok berseragam SMP yang selalu canggung. Mata hitam dan tubuh yang tak lebih tinggi dari Rania. Jika melihat Saga sekarang, rasanya mereka berpisah sangat lama, lama sekali. Semua darinya telah berubah, suara yang jauh lebih berat, dan dia sangat tinggi. Tapi, yang Rania tahu Saga menjadi lebih baik, bukan hanya penampilan tapi mungkin juga pemikiran.
"Dilihat dari sisi manapun dia emang keren. Sementara gue makin bulukan aja."
Suara klakson mobil bersahutan, sesekali terdengar makian dari pengguna jalan. Sebenarnya itu mengganggu agenda gerilya yang harusnya hanya ditemani panas dan polusi. Niat hati ingin naik angkot atau angkutan lainnya apa daya jika uang sakunya ludes karena iuran kelasnya yang bolong sana-sini.
"Setan! Woy pake mata dong, basah nih!" teriak Rania lantang. Sepatu dan roknya basah akibat seorang pengendara songong yang melewati kubangan air tanpa permisi.
Pengendara itu bukannya berhenti untuk minta maaf atau sekedar basa-basi justru memacu motor hitamya kencang, meliuk-liuk dijalanan ibu kota. Untung saja Rania sempat melihat plat motornya, jika sewaktu-waktu bertemu bisa diminta pertanggung jawaban. "Gue sumpahin selamet! Awas kalau ketemu, gue suruh nyuci."
Rania menghembuskan napas sebal, lalu ia lanjut berjalan lagi. Dalam hati berbagai makian sudah ia lontarkan. Saat melawati warung kopi ada segerombolan anak sekolah yang sangat ramai, jika dilihat mereka mengenakan seragam yang sama dengan Rania. Sejenak ia melupakan kekesalan, melihat aktivitas yang mereka kerjakan. Pasalanya ia melihat Dimas duduk di depan warung, segala sesuatu yang berhubungan dengan cowok itu pasti tidak beres. Benar saja, gerombolan perusuh yang tak ada kapoknya mem-bully orang lain. Dan korbannya adalah Budi, salah satu anggota OSIS Nusa yang juga satu angkatan dengan Rania.
"Lo kan yang ngaduin gue ke bu sunar?" Anton menepuk pipi Budi cukup keras lebih tepatnya menampar.
"Ng-nggak, Kak."
Anton jongkok di depan Budi, menatap cowok itu lalu tersenyum. Satu pukulan mendarat di pipi Budi. Dia tidak bisa melawan, selain karena kakak kelas tapi posisi Dimas yang memang berkuasa menjadikannya ditakuti."Yaelah.... apa susahnya sih bilang iya." Anton mulai jengkel.
"Beneran bukan gue, Kak." Suara Budi memelan.
Rania berjalan santai ke arah mereka. "Gue baru tahu, cowok yang katanya jagoan berani cuma keroyokan." Dimas yang melihat Rania, wajahnya tak lagi santai. Cowok itu mendekat, menatap Rania dengan amarah. Ia masih ingat kejadian memalukan kemarin. Bagaiaman es teh itu mendarat manis di wajahnya.
"Apa peduli lo?"
"Lo nggak liat, dia bilang bukan orang yang ngadu ke bu Sunar, kan. Kenapa lo nggak lepasin?"
"Gini deh, gue punya penawaran, kalau dia nggak ngaku lo harus pergi, tapi kalau dia ngaku gue bakal lepasin dia. Dan lo yang gantiin." Rania terdiam. Ia menelan ludahnya susah.
"Gimana?" Dimas meniupkan asap rokok di depan wajah Rania. Cewek itu mengipaskan tangan ke udara, lalu menutup hidungnya. Rania semakin benci dengan cowok yang berdiri di depannya itu.
"Oke."
Dimas mendekat, menepuk pipi Budi beberapa kali. "Gue tanya sekali lagi, lo yang ngaduin kita ke bu Sunar?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Niagara
Teen FictionErykapp Teenfiction story. Setiap orang pasti mimiliki cinta pertama. Entah itu berjalan mulus ataupun sebaliknya. Lalu bagaimana rasanya jika cinta pertama datang kembali? Membawa angin segar pada harapan yang hampir mati. Apakah hubungan itu akan...