Navillera Bag. 2 (3)

71 19 0
                                    

Masih lanjutan yang 'Confession'

. . .

Pagi pagi, dimana sekolah masih sepi, hanya ada aku dan beberapa teman lainnya, aku masih berdiri mematung sambil memegang erat surat cinta yang akan aku berikan untuk Reza.

Kakiku rasanya tidak mau bergerak. Hatiku juga rasanya ragu untuk meletakkan surat ini di loker mejanya.

Hey, kemana mental 'sok' ku yang kemarin?

Batinku berkata demikian.

Tersadar dengan mental 'sok' ku yang kemarin, sampai punya ide buat surat cinta segala, aku mengumpulkan seluruh keberanian yang kupunya, dan melangkah masuk ke kelas ips 4 yang masih sepi pagi itu.

"Eh, Akbar. Pakabar, lo?" Sapa Najla. Aku membalasnya dengan senyuman.

Najla itu, kalau kata teman teman yang lainnya, rumornya sih tunangannya Reza dulu.

Wajar, sih. Najla itu cantik, baik, pintar, tinggi, orangnya asik banget. Social butterfly juga.

Najla juga jadi salah satu alasan kenapa aku rasanya ingin batal 'nembak' Reza. Minder aku dekat dia.

"Najla, bangkunya Reza dimana, ya?" Tanyaku. Najla mengerutkan kening. Lalu, tatapannya beralih pada surat cinta yang kugenggam. Ia tersenyum.

"Dipojok kanan paling belakang. Tapi, Reza udah tiga hari gak masuk. Kayaknya hari ini juga," Jawab Najla. Aku mengangguk angguk sok tak peduli. Padahal, dalam hati udah luar biasa kepo.

"Lo tahu, dia kemana?" Tanyaku lagi.

"Sakit," jawab Najla singkat. Aku membeku. "Kalo mau ngasihin itu, titipin aja ke gue. Ntar gue kasihin ke Reza." Lanjutnya.

"Lo gak marah?" Tanyaku hati hati. Dia tersenyum kearahku, lalu menyodorkan sebuah permen lolipop merk milkita padaku. Aku hanya menerimanya.

Najla masih diam, dan berjalan pelan kearah balkon kelas ips 4.

"Gak, dia bukan tunangan gue. Dia sodara tiri gue." Jawabnya sambil menatap kosong lapangan basket yang sepi.

"Maksudnya?" Tanyaku. Hanya memastikan kebenarannya.

"Gapapa. Mana, surat cintanya, gue anterin ke orangnya ntar pas pulsek." Balas Najla. Aku mengangguk, dan menyerahkan surat cintanya.

Selepas menyerahkan suratku ke Najla dan pamut dengannya, aku keluar dari kelas sepi itu dengan napas lega. Tapi, masih deg degan juga.

Bagaimana kalau Reza menolakku?

Atau dia straight?

Aku takut, dia benci padaku karena aku homo.

Tapi aku ingin dia jadi pacarku.

. . .

Hari sudah sangat sore, dan kebanyakan murid sudah kembali ke kediaman masing masing. Tapi, tidak denganku yang masih betah memandang langit jingga dari atas gedung sekolah.

Cesshh

Benda dingin dan basah menyentuh pipiku. Aku sedikit melompat dari dudukku dan menengok kearah kiri.

"Reza,"

Disebelahku, ada Reza dengan cengirannya sambil menyodorkan soft drink.

"Buat gue?" Tanyaku. Reza hanya mengangguk.

Kami sama sama menatap lurus kedepan. Menikmati sunset yang sayang untuk dilewatkan.

"Bukannya lo sakit?" Tanyaku. Reza tertawa sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Setelah baca surat lo, gue langsung buru buru kesini," jawab Reza sambik nyengir kuda.

Pandangaku teralihkan dengan tangan Reza yang menggenggam tanganku.

Ada luka dipunggung tangannya.

Tapi kenapa?

"Jak, ini luka lo kenapa?" Tanyaku sambil melihat lihat luka dipunggung tangannya.

Reza terdiam.

Aku memperhatikan busananya.

Dia memakai baju dan celana kain berwarna biru terang seperti baju pasien rumah sakit dan jaket tebal berwarna hitam--

Eh?

"Jak? Lo sakit apa? Lo masuk rumah sakit?" Tanyaku bertubi tubi. Jujur, aku sangat khawatir.

Dia hanya terdiam, dan memelukku erat. Pundakku rasanya basah.

"Buat surat lo, makasih ya udah suka sama gue. Gue juga suka sama lo," ucap Reza dengan suaranya yang bergetar.

Senang mendengarnya, tapi rasa kekhawatiranku lebih besar daripada itu.

"Gak, lo kenapa? Jawab gue," balasku. Tanganku mencoba untuk melepss pelukan Reza yang makin erat membungkus badanku. Rasanya hangat.

"Kanker otak stadium 4, dan gue gak bisa jadi pacar lo," jawabnya.

Aku mematung.

Aku sangat terpukul mendengarnya.

"A-ap-apa? Tapi, k--ken-kenapa?"

Perlahan air mataku mulai jatuh dan semakin deras.

"Kata dokter, bulan depan aku udah gak ada, makanya gue gak bisa terima lo,"

Kalimatnya benar benar membuatku jatuh.

Dan semakin keras aku menangis.

Aku membalas pelukannya, dan lebih erat daripada dia.

Kenapa disaat dia sehat, dan bahagia aku tak menyadari perasaanya?

Lalu, kenapa aku baru menyatakan perasaanku disaat ia diambang kematian?

Kenapa aku terlambat untuk menyadari perasaanya?

.
.
.
.
.
.
.

Disore itu, kami berpelukan dan menangis bersama dibawah langit jingga yang menjadi saksi bisu cinta kami.







Tbc

Halo sahabat sahabat 4q03h

Gimana? Sedih gak?

/g4k...

Okeoke. Author emang gak pinter bikin cerita cerita sedih ya.

Jadi nikmatin aja. Vomment, atau lo semua dicipok miper

See you

KawaiiAZRA

1000% | BarZaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang