Misora POV
Noir datang lagi setelah beberapa hari. Dia membawakan kalung yang dijanjikan, bersama dengan rasa canggung. "Aku sudah bilang, kalau aku tidak butuh kalung itu," tolakku untuk ke sekian kalinya.
Noir tak peduli. Seperti sikapnya yang seenaknya masuk ke ruang ganti anggota teater tanpa izin, ia pun begitu memaksakan keinginannya. Tanpa mau mendengarkan, langsung memakaikan kalung yang sudah kutolak. "Tapi kalung ini dibuat untukmu. Kalau kamu menolaknya terus, maka aku akan membuangnya." Perkataannya bukan hanya menggombal, tapi juga terkadang terdengar seperti sedang berpuisi. Kalau sudah seperti ini, ya jelaslah aku tidak bisa menolaknya.
"Baiklah, akan kuterima," balasku. Menghela napas lelah, menyentuh mata kalung sebesar buah kenari itu.
Noir tersenyum puas karenanya, menyentuh rambutku dengan leluasa. "Begitu dong. Kau terlihat sempurna dengan kalung itu," pujinya. Entah kalung atau wajahku yang dia puji, yang jelas aku tidak merasa bahagia mendengarnya. Hanya senyuman di wajah manis itu yang kadang membuatku melunak, sedikit berdebar.
"Terima kasih." Aku tidak tahu harus berkata apa padanya. Aku takut salah bicara dan membuatnya salah paham, mengira kalau aku telah memberinya lampu hijau. "Noir, pertunjukan kami sudah akan dimulai, kamu bisa kembali ke bangku penonton?" Karena aku tidak akan pernah mengingkari janjiku pada Fanette.
"Oh ya... kalau begitu aku pergi dulu. Selesai pertunjukan, ayo keluar denganku." Noir berpamitan dengan cepat, keluar pintu tanpa menunggu jawabanku. Lagi-lagi, kencan yang tak terencana.
"Wow. Hari ini Tuan Muda Amber datang lagi, bukannya ini bagus? Aktris-ku mungkin akan jadi nyonya besar nanti," kata Tuan Daniel. Datang menimpali seperti biasanya, dengan semangatnya membayangkan yang tidak-tidak.
"Itu tidak akan terjadi. Aku tidak akan pernah menerima pernyataan cinta Noir." Kalau saja aku juga bisa menjawab dengan tegas seperti ini ke Noir, mungkin masalahku bisa segera teratasi. Masalahnya adalah, status sosial dan kepribadian Noir itu bukan sesuatu yang bisa kuganggu gugat.
"Kenapa? Dinikahi oleh pria kaya itu impian semua wanita." Tuan Daniel ternyata sama saja dengan laki-laki lainnya. Yang kuinginkan bukan pria kaya, tapi pria yang mencintaiku dengan seluruh hatinya. Aku hanya tersenyum meresponsnya. Mengatakan isi hatiku pada orang memiliki pandangan berbeda itu tak ada gunanya, mereka tak akan pernah mengerti.
***
Setelah restoran mewah, kali ini butik mewah yang menjadi tujuan kencan Noir. Tak lain hanya untuk membeli hatiku dengan gaun mahal. Dia bahkan sudah membuat janji, memesankan beberapa model yang menurutnya cocok untukku.
Aku tercengang di depan pintu, terdiam tak berani melangkah masuk saat melihat terangnya lampu-lampu gantung yang mengisi atap. "Kenapa lagi? ayo masuk." Noir memaksa, mendorong pelan bagian bawah pinggangku dengan telapak tangannya.
Aku tersandung, hampir saja terjatuh dan Noir masih tak peka. Terus saja berjalan sambil mendorong, sama sekali tak ada perhatiannya. Untungnya bingkai pintu menyelamatkanku, memberi pegangan agar aku tidak jatuh dan mempermalukan diri sendiri.
Aku melotot tak senang kepadanya setelah kami masuk, tapi Noir malah tersenyum membalas tatapanku. Entah apa yang dia tangkap dari rasa kesalku. "Kau suka warna merah? Ada hitam dan biru juga." Dia bahkan sudah lebih dulu mengambil gaun-gaun yang dia pesan, membawa tiga buah ke depanku. Semuanya terlalu mencolok dan sama sekali bukan seleraku. Merah menyala ketat dengan potongan dari pangkal paha, hitam dengan brokat yang menonjolkan belahan dada dan biru tua berbahan sutera dengan punggung terbuka.
Apa dia gila? Menyuruhku memakai pakaian mirip dengan model yang biasanya dipakai oleh wanita penghibur. Dia mau memamerkan tubuh wanitanya begitu? "Ada yang sedikit lebih tertutup? Warna cokelat muda atau putih?" Aku ingin berteriak padanya, tapi yang keluar hanya suara pelan dengan sikap yang kikuk. "Atau mungkin tidak usah saja, aku tidak benar-benar butuh semua pakaian itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ilusi Senja [END]
ActionNoir selalu bisa mendapatkan wanita yang dia mau dengan mudah, sehingga dia lupa bagaimana caranya menghargai seorang wanita. Noir selalu memperlakukan mereka seperti barang yang bisa dibuang saat bosan. Dan ketika akhirnya dia jatuh cinta untuk pe...