Move ON

26 0 0
                                    

Hari itu tidak terasa jam dinding sudah menunjukkan pukul 2 pagi, mata yang bergelayut memaksa mereka untuk segera pulang dari kampus. Padahal, pekerjaan belum selesai dan deadline semakin mendekat. Langkah kaki mengantarkan mereka segera sampai ke tempat parkir yang sudah kosong karena memang hampir tidak ada mahasiswa yang berada di kampus. mungkin hanya satu dua anak pecinta alam. Kebetulan tempat parkirnya berada di bawah pepohonan yang rindang dan besar menambah dingin dan singup suasana malam itu. Dengan cepat mereka menghampiri dan mulai menyalakan kendaraan masing-masing.

"Re, pulang?" tanya lelaki bermata coklat sambil mengenakan helm full face nya.

"Yap" jawab gadis itu singkat. Dengan sigap dia menyalakan motor matic kecilnya lalu bergerak pelan keluar gerbang fakultas.

Dibelakang Rea, mengekor lelaki bermata coklat tadi, khas dengan motor sport-nya yang berwarna kuning. Mereka berdua menaiki motor, memacunya pelan dan berjajar. Sampai kemudian, motor dibelakang Rea pelan-pelan mengimbangi kecepatannya.

"Re, laper gak?" kata pengemudi motor kuning di sebelahnya sambil berteriak karena helmnya yang menutupi mulut.

"Laper sih" jawab gadis itu sambil sesekali menengok ke samping, dan sesekali ke depan agar tidak menabrak sesuatu.

"Burjo yuk"

"Hah? Ya boleh deh" jawabnya agak bingung. "Tapi, boleh juga kalau di malam yang dingin ditemani bubur yang hangat", begitu batinnya.

Bagi beberapa orang yang hidup di kota Yogyakarta mungkin memang tidak asing. Namun untuk orang yang belum lama tinggal di daerah istimewa ini, burjo-bubur kacang ijo, pukul 2 pagi adalah hal yang aneh.

***

"Kukira bubur kacang ijo" kata gadis bertubuh mungil itu sambil mengaduk-aduk mie rebus telur yang ada di mejanya.

"Loh, siapa yang bilang burjo itu bubur kacang ijo?" jawab lelaki bermata coklat itu kaget.

"Lah, ya semua orang juga taunya bubur kacang ijo itu burjo, Ar" sahut gadis itu yang selera makannya sudah terbohongi. Matanya kemudian menatap lelaki yang ia panggil Ar tadi.

"Rea, plis deh aku tau kamu anak Rantau, tapi masa burjo nggak tau?" balas lelaki bermata coklat yang duduk di samping Rea.

"Ya.. Ya gatau kalau burjo di Jogja itu maksudnya warung makan indomie" balas Rea yang tidak kuat dengan tatapan lelaki itu.

Bukan karena tatapannya membunuh atau bahkan mengintimidasi. Hanya saja, bulu matanya lentik, bola matanya coklat, dan tatapannya sayu. membuat siapa saja yang melihatnya akan merasa tenggalam dalam diri lelaki itu. Perpaduan yang pas membuat seorang Rea tidak bisa berlama-lama menatap Arga. Jantungnya berdegup dan pipinya akn memerah jika terlalu lama tenggelam dalam tatapannya.

"Haduh, yauda maaf" balas Arga sambil mengusap kepala Rea sebagai tanda permintaan maaf.

"Re, kemarin anak-anak titik pada nanyain-" katanya terpotong tegukan es teh manis yang ia suka.

"Nanyain apa?" jawab Rea sambil meniup-niup mie rebus yang masih panas. Mereka duduk berhadapan dan sesekali mata mereka bertatapan.

"Iya, ngasih peringatan"

"Maksudnya?"

"Ke aku. Mereka nanyain aku sama kamu ada apa. Dan ngasih peringatan ke aku supaya jaga perasaan Yana"

Rea berhenti melahap mie rebusnya. Dan kembali terseret kedalam pikirannya yang seketika berkecamuk. Memang, Arga dan Yana sudah tidak memiliki hubungan apa-apa, tapi benar juga kalau Arga masih harus menjaga perasaan Yana. Maklum, wanita itu cinta mati dengan lelaki bermata coklat dan bertubuh tinggi yang sekarang sedang asyik menyantap nasi goreng. Seketika perasaan bersalah menyelinap memasuki hati Rea.

Yana mungkin sedang memandangi foto Arga sekarang, atau menangis sebab rindu. Tapi aku malah...

Rea sedikit mendongak, dipandangnya wajah Arga yang sedang meniup-niup nasi gorengnya yang tak kunjung dingin.

Tapi aku malah asyik-asyikan menikmati perasaanku pada Arga.

"Re?" panggil Arga yang kemudian membuyarkan lamunan Rea.

"Ohh.." jawabnya singkat untuk menutupi raut wajahnya yang terlihat khawatir dan bersalah.

"Aku sih fine. Aku takut kamu yang jadi sasarannya"

Mata Rea terbelalak medengar itu. Tentu Rea takut bukan main dengan perkataan orang yang tidak-tidak. Seolah mengerti akan ketakutan Rea, Arga kemudian tersenyum dan mengusap kepalanya. 

"Ya, iya enggak. Cuma taulah kalau geng cewe itu gimana. Tapi, paling cuma omongan belakang doang kok.  Gausah khawatir."

Rea hanya terdiam dan tidak menanggapi Arga yang berusaha meredam kecemasannya. Ia menyibukkan diri dengan meneguk secangkir es teh manis dan memotong-motong putih telur yang belum disantap. Pikirannya kemudian melayang pada sikap Arga yang seolah santai menanggapi persoalan ini. Arga seperti tidak ambil pusing dengan perkataan orang tentang Rea dan hubungan mereka.

Kenapa kamu bisa sesantai ini Ar. Kenapa kamu bertingkah seolah tidak ada apa-apa diantara kita.

"Ar, kamu sendiri gimana?"

"Apanya yang gimana?"

"Iya, masih sayang atau engga sama Yana?" tanya Rea tiba-tiba.

"Biasa aja" jawabnya santai. Tangannya kemudian menyibakkan rambut ke belakang. 

"Engga kangen? Sedih gitu habis putus, atau galau gitu?"

Lelaki itu hanya tersenyum, sambil meletakkan sendoknya ia kemudian menatap Rea. "Kangen itu pasti ada. Untuk seseorang yang pernah selalu bersamamu dan tiba-tiba hilang. Tapi, ini sudah keputusanku. Dan aku tidak boleh menyesalinya" pungkasnya mantap.

"Lagian kenapa harus pusing dengan perkataan orang yang penting kan kita enggak seperti yang mereka pikirkan. Mau mereka bilang kamu PHO kenyataannya kan enggak gitu, toh diantara kita kan gaada apa-apa" tambahnya lagi.

Kita kan gaada apa-apa....

Rea terdiam dan pura-pura mengiyakan perkataan lelaki itu. Sebetulnya sakit benar hatinya mendengar itu. Air matanya bahkan hampir menetes tetapi tertahan oleh keberadaan Arga disana. Kalau saja dia sendirian sudah dipastikan dia akan terisak.

"-dan satu lagi Re," Rea yang menunduk seketika memandang wajah Arga dan dengan terpaksa menatap matanya.

"-setiap orang yang sedih, kecewa, kesepian. Pasti selalu butuh pelarian gak sih? Bukan dalam artian sempit seperti gebetan atau pacar baru. Bisa jadi teman, sahabat, atau bahkan hobby" lanjut Arga secara tiba-tiba mengakhiri percakapan mereka.

Satu kata yang tertangkap Rea malam itu dan membuat hatinya menjadi sesak.

Jadi aku adalah bagian dari...

Pelarian.

INDEPENDENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang