"Re, lu gimana sama Arga?" satu pertanyaan terlontar dari gadis cantik yang sedang duduk di sebelah Rea. Malam-malam begini memang paling mengasyikan adalah bertukar cerita dan nongkrong di sebuah cafe.
"Gimana apanya? Orang dia bilang gue sama dia gaada apa-apa"
"Anjirlah brengsek banget dia"
"Hush, ngomongnya loh."
"Ya coba sih, lu pikir-pikir aja" balasnya kesal. Matanya berputar kesamping dan kemudian tangannya meraih es coklat untuk meredam kekesalannya. Sedangkan Rea, ia hanya duduk bersandar pada kursinya. Sesekali dia menyeruput es coklat dan melahap kentang gorengnya.
Ting. Ting. Ting. Ting.
Obrolan kedua gadis itu kemudian terpotong karena suara dari ponsel yang tergeletak di atas meja. Rea, memberikan isyarat kepada gadis di sampingnya untuk segera memeriksa. siapa tau itu berasal dari ponsel miliknya dan itu penting.
"Hmm.. Punya lu Re bukan punya gue" jawab gadis yang sudah memeriksa ponselnya.
Dengan cepat Rea mengambil ponselnya, dan benar saja ia mendapat satu pesan dari Arga.
"Arga ini, Bil"
"Baru juga diomongin, panjang umur amat" gerutunya sambil menyedot es coklat yang mulai habis.
"Apa katanya?" tanya Nabila yang seketika kepo dengan isi pesan Arga.
"Dia, ngajakin ke 0 jam 11 nanti"
"Ampun deh, yaudah anter gue balik. Lu hati-hati perginya nanti"
***
Banyak hal yang membuat pikirannya berkecamuk. Terlalu banyak melamun di jalan pulang membuat Rea bahkan tidak sadar jika ia sudah berada di depan gerbang kos miliknya. Ternyata, di depan gerbang sudah ada Arga. Motor Rea kemudian terhenti didepannya dan Arga hanya nyengir melihat kehadiran Rea.
"Aku masukin motor dulu, kamu tunggu disini" Masih sambil nyengir Arga mengangguk tanpa menjawab.
Setelah memasukkan motor kecil miliknya, Rea berlari menyusul Arga yang sudah menunggu di depan gerbang. Dengan menepukkan tangan ke jok motor dan menurunkan tumpuan kaki, Arga memberikan isyarat kepada Rea untuk segera naik. Tanpa berbicara Rea pun segera menurut.
Pukul 11.00 P.M udara kota Jogja seketika mendingin. Dalam perjalanan pun tidak banyak obrolan yang tercipta. Rea hanya melihat jalanan mulai sepi dan lengang. Beberapa lesehan pun sudah mulai kehabisan pelanggan, bahkan ada yang sudah membongkar tenda.
"Re, beli minum sama snack dulu ya" kata Arga yang demi Tuhan malam ini sangat wangi. Kalau begini caranya logika Rea pun tidak akan dengan mudah dapat berjalan.
"Iya!" jawab Rea singkat serta sedikit condong ke depan dan berteriak agar terdengar oleh Arga.
***
Satu botol susu dan satu botol kopi telah berada di genggaman masing-masing. Rea yang tidak suka kopi memilih susu, dan Arga yang suka es teh manis, entah kenapa membeli kopi di malam itu.
Mereka berjalan berbanjar, Arga berada didepan dan Rea mengekor. Sekarang mereka berada di suatu tempat, orang-orang menyebutnya titik nol. Bagi Rea, cukup menyebutnya 0. Sebab ia selalu merasa, setiap pikirannya berkecamuk, separah apapun emosinya, ketika mengunjungi tempat ini, semua terasa kembali ke nol. Namun, mungkin tidak di malam itu.
"Re, duduk disini aja ya." celetuk Arga tiba-tiba. Ia duduk terlebih dahulu di sebuah bangku panjang dan membuka botol kopinya. Rea yang sedari tadi mengekor ikut duduk pula di sana.
"Kenapa ya, ramai banget, aku kan cari tempat yang sepi buat ngobrol. Nggak yang kaya gini" matanya melihat ke sekeliling dan memang benar banyak sekali orang berlalu-lalang.
Entah kenapa malam itu nol ramai sekali. Bahkan semakin ramai ketika menunjukkan pukul 12.00 P.M. Bahkan banyak komunitas motor yang bolak-balik memamerkan motormya dengan berbagai macam modifikasi.
"Ar, kenapa sih sama cowo, kenapa suka banget nge-gas motor kenceng sampe knalpotnya bunyi gitu?"
Arga hanya tertawa, "ya keren ga sih? Apalagi kalau knalpotnya diganti knalpot racing trus motornya 250cc"
"Enggak. Brisik."
"Lebih keren lagi RX King ga sih? Kalau di kopling suaranya hilang trus habis itu buat ngagetin orang langsung gas-pol" Arga tertawa terbahak-bahak setelah mengatakannya. Rea bahkan hanya bingung dan heran menanggapi lelucon itu.
"Enggak. Bising, kaya kaleng rombeng"
03.00 A.M. Arga tidak pernah sedikit pun merasa bosan untuk membahas tentang otomotif. Dinginnya malam pun sepertinya tidak berpengaruh. Apalagi berbagai komunitas motor sesekali lewat di depan mereka.
Arga kemudian menyenderkan kepalanya pelan ke pundak Rea. "Re, aku ngantuk"
"Ngantuk ya tidur" Rea hanya menjawab seadanya. Ia kaget tiba-tiba Arga nyender begitu saja. Copot sudah jantungnya kalau seperti ini.
Tangan Arga lalu menengadah. "Sini, Re"
Dengan perasaan bingung Rea menjawab, "Sini apa?"
"Tanganmu" tanpa menunggu persetujuan dari Rea, Arga langsung mencari tangan Rea.
Oh my.. Aku harus gimana kalau kaya gini. Aku makin tidak mengerti sama kamu Ar.
"Ar, tadi siang aku denger dari Nisa"
Arga menjawab sambil memejamkan mata, "denger apa?"
"Katanya Tio, Tio yang sahabatnya Yana itu, udah tahu tentang kita"
"Hah, maksudnya?" mata Arga bahkan masih terpejam dan ekspresinya santai seperti biasa.
"Iya, dia bilang dia tahu tentang kita yang kata dia lagi deket, tapi dia diam"
Arga tidak menjawab, tampaknya dia berpikir sejenak sambil terus mengganggu tangan Rea dan bersandar di bahunya.
Astaga rambutnya wangi.
"Enggak apa-apa lah, toh ya emang kita enggak ada apa-apa nggak sih" respon Arga yang masih pada posisinya.
***
Pukul 05.00 A.M mereka baru beranjak untuk pergi dari titik nol. Sisa-sisa malam yang dingin masih terasa di pagi itu. Arga membawa pelan motornya menuju kos Rea.
"Re.. " panggil Arga pelan.
"Kenapa?"
Tanpa menjawab, tangan Arga menuju ke bangku belakang dan mencari tangan Rea. Setelah berada di genggamannya, ia melingkarkan tangan Rea ke pinggangnya agar Rea berpegangan.
Malam itu, untuk sekali lagi perasaan Rea bercampur aduk. Meski begitu, satu kalimat yang terus terngiang di kepalanya seolah menjadi sebuah lagu.
Ya emang enggak ada apa-apa nggak sih.
KAMU SEDANG MEMBACA
INDEPENDEN
RomanceSuatu saat akan ada waktu, dimana mereka merasa sudah baik baik saja, lalu perlahan melupa kepada kamu, atau siapa-siapa saja yang membuatnya bangkit. Dalam sekali hentakan maka kamu mau tidak mau harus rela, dan mulai terbiasa.