Part 1

37 3 2
                                    

"Kakak kapan ayah dan ibu pulang?"

Aku menoleh ketika Vincent, adik kecilku yang baru berusia 5 tahun menguap lebar. Mata yang bulat sudah setengah terpejam. Krayon di tangan kecilnya sudah tergeletak di atas buku gambarnya. Gambar mobil yang di buatnya baru setengah jadi, tapi sepertinya Vincent sudah menyerah untuk menyelesaikannya malam ini.

Seperti biasa, kami berdua sedang menunggu ayah dan ibu pulang bekerja. Ayah kami seorang kepala kepolisian, sedangkan ibu kami bekerja sebagai dokter di rumah sakit pusat kota. Mereka orang tua yang super sibuk, walaupun begitu mereka tetap menghubungi kami sesekali. Apalagi ketika lembur seperti saat ini.

"Baiklah, ayo aku akan menemanimu tidur."

Kami berdua bergandengan tangan menuju kamar. Meninggalkan ruang tengah yang lantainya berserakan krayon milik Vincent.

Masih dengan mengantuk Vincent mengikuti langkahku dengan kakinya yg kecil. Kami berjalan ke lantai atas sebelum akhirnya berbelok ke lorong kamar.

"Kak, lampunya bisa di nyalakan? Gelap sekali. Vincent takut,"

"Kenapa takut kan ada kakak di sampingmu. Ayo lekas tidur,"

Aku menyibak selimut, memberi celah untuk Vinsent masuk ke dalamnya. Tapi bocah kecil itu tidak kunjung menaiki kasur.

"Vincent harus gosok gigi, lalu cuci tangan dan kaki dulu. Ibu selalu bilang begitu,"

"Baiklah. Ayo kakak temani,"

Aku berdiri di depan pintu kamar mandi yang terbuka. Mengamati Vincent yang sedang asyik
mengosok giginya di depan cermin besar. Mulutnya penuh busa. Tangan kecilnya menggengam sikat giginya dengan kuat.

Dia anak yang mandiri. Usianya baru 5 tahun, tapi Vincent lebih dewasa untuk anak seumurannya. Dia bahkan ingat apapun yang ibu katakan. Contohnya seperti sekarang ini.

Aku mengerjap, saat Vincent tiba-tiba sudah turun dari bangku kecil tempat pijaknya lalu menghampiriku.

"Aku sudah selesai." ucapnya riang sambil memamerkan giginya yang ompong tapi bersih.

Dia menggandeng tanganku, lalu melepasnya ketika hendak menaiki ranjang. Ia berbaring kemudian menepuk tempat disampingnya.

"Katanya mau tidur?" tanyaku heran sambil memperbaiki letak selimutnya.

"Kak,tolong bacakan aku dongeng sebelum tidur,"

" Mau di bacakan yang mana?"

Aku bangkit sedikit sambil memilah-milah buku dongeng di atas ranjang. Vincent suka sekali dengan dongeng menjelang tidur. Jadi setiap hari dia akan memintanya dariku.

Dia juga anak yang punya rasa ingin tahu yang tinggi, jadi hal apapun yang menurutnya baru atau berkesan pasti akan dia tanyakan.

"Kak Neverland itu di mana?" ucap Vincent tiba-tiba membuat menoleh.

'Ah, dongeng itu. Peter Pan!'

Sebisa mungkin aku jawab walaupun aku juga tidak tahu 'Neverland' itu di mana. Dan apa benar ada?
Tapi membuat wajah adik kecilku yang bersemangat, jadi kecewa gara-gara aku tidak memberinya jawaban bukanlah hal yang membahagiakan tentunya.

"Em, Neverland itu ada di ... suatu tempat," kataku tapi sepertinya tidak terdengar meyakinkan Vincent. Ingat, dia itu bocah berpipi gembil yang tidak mudah di bohongi.

"Maksudku bukankan Neverland tempat tinggal para peri? Jadi mungkin hanya peri dan Peterpan yang tahu." jawabku pada akhirnya, walaupun aku sendiri tidak mengerti apa yang kukatakan.

"Jadi begitu ya kak?" ucap Vincent teryakinkan. "Bagaimana cara menemukannya? Berarti kita harus bertemu peri dulu?"

"Yap begitulah,"

"Bagaimana cara bertemu peri? Apa harus kita panggil atau bagaimana?" tanyanya lagi semakin ingin tahu. Nah kalau sudah sampai tahap ini aku akan angkat tangan.

"Kakak tidak tahu. Tapi yang jelas hanya anak baik yang dapat melihat peri,"

"Aku baik. Berarti aku bisa bertemu peri dan pergi ke naverland bersama Peter Pan kan?"

"Begitulah. Kamukan anak baik, jadi ayo lekas tidur," jawabku lalu ikut berbaring di sampingnya.

"Tapi aku ingin di bacakan dongeng dulu,"

"Baiklah."jawabku mengerling sambil mencubit pipinya yang montok dengan gemas.

Bocah itu mengangguk mantap, bersiap mendengarkan.

Rambutnya bersinar sewarna daun maple di musim gugur,
Matanya yang hijau bagaikan zamrud yang terasah dengan sempurna.Tajam sekaligus mempesona.

Dialah pahlawan.

Panggil namanya dan dia akan datang.

'PETER PAN!'

Belum cukup. Sekali lagi.

'PETER PAN!'

Maaf tapi panggilanmu hanya menyerupai bisikan di telinganya. Ribuan suara membuatnya bingung siapa yang harus ia kunjungi terlebih dulu. Kamu hanya perlu memanggilnya sekali lagi , untuk meyakinkannya.

'PETER PAN!'

Maka dia akan muncul. Tunggu dan lihatlah secara nyata. Pahlawan pemberani akan mendatangimu lewat jendela kamar. Dengan iringan para peri dan cahaya menyilaukan akan membuat matamu enggan berkedip.

Mata hijau mempesona itu akan kau kenali dalam sedetik.

Dialah Peter Pan.

"Hai. Akhirnya aku menemukanmu. Mari ikutlah bersamaku ke Naverland."

GREK!

Aku berjingkat kaget. Suara desisan angin dari luar terdengar berisik. Di luar sepertinya ada angin kencang, mungkin badai sebentar lagi datang.

Rupanya aku lupa menutup jendela kamar. Pantas saja Vinsent sedari tadi sudah tidur dengan membekap erat selimutnya.

Di bawah temaram ruang kamar yang tersiram cahaya bulan, aku berjalan hendak menutup jendela. Perasaan waspada tiba-tiba datang menyelinap. Mungkin adrenalin terpacu karena angin diluar terus menerus mendobrak jendela. Membuat bunyi yang menakutkan, membuatku ciut dalam suasana yang mencengkam.

Diluar jendela ranting pohon di depan rumah melambai-lambai mengerikan seperti hendak menampar apapun di sekelilingnya.

Secara misterius perasaan ini kembali muncul. Aku lupa tapi amat mengenalinya. Terasa melekat erat di kepala, membuatku pening tanpa alasan yang jelas.

Ketakutan yang tidak aku mengerti membuatku tercekat. Sesak dan menyakitkan. Paruku serasa meledak.
Dan semuanya mengabur tepat bersamaan dengan luruhnya tubuhku di atas lantai dingin. Seberkas cahaya menyilaukan memaksaku menutup mata dan akhirnya berhenti terjaga.

'Aku menemukanmu.'

---

















NaverlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang