Ahmad Muzakki Al-A'dhom

11 1 0
                                    

Ku tatap wajah tua itu. Sungguh tak dapat ku ungkap rasa sayangku padanya. Dia abah. Sosok yang amat aku kagumi.
"Dhom, tolong kamu badali masmu dulu mengajar sore ini." ucapan ayah membuyarkan lamunanku.
"Memangnya Mas Zain kenapa bah?"
"Masmu ada acara keluarga di rumah istrinya"
"Baiklah, kalau gitu biar A'dhom siap-siap dulu bah." lantas aku beranjak menuju kamarku. Abah adalah seorang kyai. Beliau mendirikan pondok pesantren 30 tahun lalu. Bertepatan dengan lahirnya Mas Ulum. Kakak ke duaku. Sedangkan Mas Zain adalah kakak tertua kami. Usianya terpaut 3 tahun dengan Mas Ulum. Santri di sini tidak terlalu banyak. Hanya sekitar 800 santri. 500 untuk santri putri dan 400 untuk santri putra. Jumlah itu sudah terhitung banyak untuk sebuah pondok yang terletak di pelosok.
Mas Zain dan Mas Ulum sudah berkeluarga. Keduanya telah memberikan 3 keponakan yang menggemaskan. Usiaku menginjak 25 tahun. Abah telah beberapa kali bertanya kapan kiranya aku menikah. Dan pertanyaan itu, sukses membuatku mengingat kejadian 7 tahun lalu.

***

"A'dhom berangkat bah?" aku mencium tangan abah. Abah mengangguk.

"Ke mana nak. Kantor atau kampus?" tanya abah.

"Dua2nya bah."

Abah menggeleng. Putra bungsunya memang tampak berbeda dengan ke dua abangnya. Jika Zain dan Ulum lebih senang bermain aman. Kedua pria itu tak ingin direpotkan dengan urusan2 pekerjaan di luar urusan pesantren, tapi A'dhom memilih jalur yang berbeda. Putra bungsunya itu lebih terbuka dan humble pada semua orang. Tak apa. Abah tak pernah melarang hal itu. Yang penting ia tetap tau batasan 2 pergaulan di luar.

***********************************
Edisi belajar menulis.... Maaf.. Masih banyak banget typo..😅😅😅

TsuroyyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang