"Kamu beneran ini nanti dijemput sama Tian, Mer? Kok Abang kayaknya nggak yakin dan percaya sama kata-kata kamu ini. Kamu nggak lagi bohongin Abang kan, Mer?"
Tama setengah hati mempercayai gadis imut berpikiran sederhana ini. Entah mengapa ia merasa seperti ada yang salah di sini. Saat ini mereka berada di parkiran cinema. Film telah usai dan Karin ribut terus ingin hang out di club. Ia setengah hati antara percaya dan tidak dengan kata-kata Merlyn.
"Abang memang nggak boleh yakin dan percaya sama Mer, Bang. Mer 'kan bukan Tuhan. Nanti Abang jadi musyirk lho kalau Abang yakin dan percaya sama Mer," Merlyn nyengir lebar. Ia berusaha untuk meyakinkan Tama. Udah, Abang jalan aja sama Karin kalau mau ke club. Mer nunggu Bang Tian nya di sini aja. Cepetan jalan, Bang. Itu udah di klakson-klakson sama pengemudi lain. Hattop, Bang." Akibat terus saja di klakson-klakson oleh pengemudi lain karena menghalangi jalan, Tama pun akhirnya melajukan mobilnya dan meninggalkan Merlyn sendirian di tempat parkir.
Merlyn merogoh-rogoh tas besarnya mencari ponselnya saat mobil Tama meninggalkan tempat parkir. Ia bermaksud untuk memesan ojek online. Tetapi nasibnya sedang tidak baik hari ini. Ponselnya mati karena kehabisan daya. Sementara dia sama sekali tidak membawa power bank. Tetapi kalau dipikir-pikir, buat apa juga juga dibawa-bawa. Orang power banknya juga rusak. Ia heran, tiga kali ia membeli power bank, tiga-tiganya rusak terus. Mulai yang bentuknya kecil kayak stabillo, persegi panjang gede warna putih dengan tulisan SAMSU**, sampai dengan yang gambarnya boneka lucu. Semuanya rusak. Pada nggak ada yang bener ini pabriknya power bank. Apa perlu ia mengusulkan pada ayahnya untuk membuka pabrik power bank ya?
Merlyn bingung. Bagaimana ia mau pulang coba? Mana sudah mulai gerimis lagi. Apes banget bukan? Memang ya, karma itu cepat sekali datangnya. Baru saja sepuluh menit yang lalu ia membohongi Tama. Sekarang ia sudah mendapatkan balasannya. Nasib... nasib...
Suasana tempat parkir cinema semakin lama semakin sepi. Orang-orang yang tadinya ramai menonton telah pulang satu persatu. Ketika mobil terakhir juga akhirnya meninggalkan tempat parkir, ia makin ketakutan. Mau tidak mau ia harus berjalan keluar gedung untuk mencari taksi konvensional. Yang artinya ia akan berjalan cukup jauh dengan sepatu high heelsnya yang seruncing pensil.
Saat ia baru saja mencapai jalan raya dan bermaksud duduk sebentar di dalam halte yang kosong, ia dikejutkan oleh suara-suara teriakan yang saling bersahut-sahutan dan langkah-langkah cepat orang-orang yang sedang berlarian. Suara-suara tembakan terdengar satu dua kali. Demi Tuhan, ia ketakutan! Ini sebenarnya ada apa sih? Shooting film action? Tapi kok tidak ada kameranya? Terus tidak ada lagi yang mengucapkan kata, action, cut, atau istilah-istilah film lainnya. Satu lagi, ia sama sekali tidak mendengar kata-kata, ekspresinya mana? Harusnya jikalau sedang shooting, wajib ada kata-kata seperti itu 'kan?
"Anda telah dikepung, Rudi. Berhenti! Berhenti!" Terdengar beberapa kali suara tembakan lagi sebelum terdengar suara bruk seperti benda jatuh. Sumpah serapah dan desis kesakitan menyusul setelahnya.
"Berdiri dan angkat tangan Anda! Anda siapa? Kaki tangannya Rudi? Kalau begitu ikut kami ke kantor. Cepat berdiri!" Merlyn merasa dengkulnya lemas seketika saat ia dibentak-bentak dan dipaksa untuk berdiri. Saat ini posisinya sedang berjongkok dipinggir halte. Ia juga mengubur kepalanya dalam-dalam di atas lututnya karena ketakutan. Kedua tangannya gemetaran hebat sembari menutupi kedua telinganya. Ia kedinginan akibat derasnya hujan dan ketakutan mendengar suara bentakan demi bentakan di atas tubuhnya.
"Tersangka telah dilumpuhkan dan saat ini telah dibawa ke rumah sakit dengan mobil patroli, Komandan. Kami semua akan segera kembali ke markas. Ada perintah lagi, komandan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess Oneng VS Abang Polisi (Tamat)
HumorNotes. Untuk pembelian PDF Original hubungi 082165503008 Admin Nana. Merlyn Diwangkara-si Princess irit dengan tingkat keonengannya yang hakiki-ingin lepas dari bayang-bayang nama besar Diwangkara's. Kehidupannya yang selama ini bagaikan burung dal...