SUICIDE

1K 151 22
                                    

Haechan sudah berdiri diatas sebuah bangku yang cukup tinggi dengan tangannya yang menggenggam seuntai tali yang sudah disimpul sedemikian rupa saat Mark masuk ke kamar apatermen kecilnya yang berantakan. Laki-laki yang menjadi senior di kampusnya itu melihat Haechan dengan satu alis yang terangkat. Di tangan kanannya bungkusan plastik menggantung. Tas ransel kesayangannya juga masih menempel pada punggungnya. Sepertinya laki-laki itu baru saja pulang dari kampus.

Tapi bukan itu fokus Haechan saat ini!

Haechan sedang fokus mengutuk dirinya sendiri karena dengan bodohnya ia tidak mengunci pintu kamarnya ketika ia berniat bunuh diri. Kalau sudah seperti ini, ia tidak tahu harus bagaimana menghadapinya.

Haechan memang berniat mengakhiri hidupnya malam ini. Ia merasa sudah sangat tidak bisa menahan semua beban yang menghampirinya. Orang tuanya terus saja bertengkar. Mengancam satu sama lain untuk pengajuan gugatan cerai. Sementara hyung-nya menjadi semakin tak terkendali, mabuk-mabukan dan bermain judi. Bahkan hyung yang enam tahun diatasnya itu telah menghamili mantan kekasihnya dan sekarang ia kabur entah kemana. Belum cukup sampai di sana,  para rentenir sialan itu  mengejar ia dan ibunya untuk menagih hutang yang dibuat oleh ayah dan hyung-nya. Entah apa yang mereka lakukan- yang pasti uang yang ditagih para rentenir itu cukup besar untuk ukuran keuangan mereka yang sedang kacau.

Puncaknya adalah beberapa minggu lalu saat yayasan kampusnya mengiriminya surat mengenai beasiswanya yang ditarik penuh tanpa alasan yang jelas. Frustasi dan putus asa langsung menghantamnya hingga titik yang paling bawah. Selama ini ia mencoba bertahan diantara galaknya masalah yang menimpah keluarganya. Ia berpikir mungkin ia harus menjadi berhasil dengan tangannya sendiri tanpa bantuan mereka. Bertahun-tahun hidup dalam kerja keras dan belajar mati-matian demi menjadi yang terbaik. Nyatanya,  semua dihempas dalam sekejap seakan perjuangannya tak pernah berharga.

Sejak saat itu Haechan hanya mengurung diri di kamarnya. Meratapi segala hal yang menimpahnya begitu sial. Ia tidak pergi bekerja part time dan tidak pergi ke kampus. Bukan tak ingin,  tapi untuk sekedar membayar transportasi bus pun ia sudah tidak punya cukup uang. Makan? Haechan bertahan dengan roti yang ia beli beberapa minggu lalu. Beberapa bagian sudah berselimut jamur,  namun apa pedulinya? Haechan sudah tidak punya harapan. Tidak makan juga bukan masalah,  tuh.

Tidak dipedulikan dan tidak berharga,  apalagi yang ia harapkan di dunia ini? Haechan pun memilih mengakhiri hidupnya. Lebih baik berjumpa neraka dari pada merenung dalam frustasi yang bisa membuatnya menjadi gila.

Oh ya,  Haechan memang sudah gila. Ia ingin gantung diri. Sekarang. Malam ini. Yah,  mungkin memang harus.

Tapi entah suatu kesialan atau bukan, Mark malah mengunjunginya setelah beberapa minggu tak memperlihatkan dirinya dihadapan Haechan. Parahnya, Mark ada di saat tak tepat.

Haechan masih bediri di tempatnya. Tubuhnya membeku seketika Mark mendapatinya dalam situasi yang memilukan. Manik Mark menatap dari ujung tali yang menjulur dari cela asbes yang rusak. Mark yakin Haechan mengikat tali itu pada rangka kayu di balik asbes.  "Kau ingin gantung diri?" tanya Mark dengan suara heran. Haechan tidak menjawab. Ia tidak tahu harus berlaku seperti apa.

"Kau sudah mengundang malaikat pencabut nyawanya?"

-What?

"Atau malaikat pencabut nyawanya sudah berada di sana?" tanya Mark sambil menunjuk sudut ruangan dekat jendela dengan satu tangannya yang bebas. Haechan mengerut dengan pertanyaan Mark. Kepalanya malah ikut menoleh pada arah yang Mark tunjuk. Di sana tidak ada apapun selain kain gorden putih yang sudah tidak putih lagi.

SUICIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang