"Alhamdulillah... akhirnya keterima juga yah kamu." Hari itu, akhirnya keinginan kedua orangtuaku terwujud. Hari dimana mereka sangat bahagia, terkecuali aku. Mereka ingin agar aku bisa berkuliah di perguruan tinggi negeri yang tak terlalu jauh dari rumah karena mengingat mahalnya biaya perguruan tinggi swasta serta biaya hidup jika aku terlalu jauh merantau. Tapi hari yang menurutku sangat menyedihkan, karena aku merasa aku berada di jurusan yang bukan aku minati, akuntansi. Dan aku ingin kembali ke Jakarta. "Mama sama papa udah deg-degan banget. Aduh kalo kamu gak bisa kuliah gimana ya nak... mama sedih." Aku hanya bisa tersenyum kecil saat itu. Aku senang mereka bahagia tapi aku juga sedih menerima kenyataan bahwa aku gagal memasuki perguruan tinggi favoritku. Ditambah jurusan ini bukan passionku. "Duh! Gue bakalan kesusahan nih disini." Batinku. Kemudian mereka memelukku, membuyarkan lamunanku. "Alhamdulillah selamat ya nak. Sekarang kita ke Malang yuk. Kita cari kos-kosan sekalian jalan-jalan ya." Kata papa. Aku sempat berpikir sebelum aku mengiyakan ajakan papa, "Tapi gimana pa, kalo aku gak bisa nyelesaiin kuliahnya? Papa tau kan aku tuh bego di matematika. Apalagi diterima di Malang, aku kan maunya balik ke Jakarta, pa. Aku gak suka pa disini. Papa tau kan, ide masukin nilai di kampus ini dan yang milih jurusan pun semuanya mama yang nentuin. Aku gak tertarik. Aku pasti gak akan lulus disini." Setelah mendengar apa yang telah aku katakan, raut wajah bahagia itu seketika memudar. Menjadikannya sebuah ekspresi yang entah, aku sendiri tidak bisa menggambarkan bagaimana jelasnya. Sedih? Mungkin. Kecewa? Mungkin. Intinya, kurang lebih seperti itu. Kini aku sadar, aku telah melukai hatinya. "Nak.. jika kita selalu melibatkan Allah saat kita ingin mengambil keputusan sekecil apapun itu, insyaAllah itu akan menjadi yang terbaik. Apa yang kamu sangka buruk, bisa jadi baik untukmu begitupun sebaliknya. Mama dan papa gak pernah berhenti berdoa untuk kamu, nak. Jujur, mama dan papa sangat bangga kamu bisa diterima di kampus ini dengan jurusan terbaik. Tapi semua tergantung kamu, kamu mau gak kuliah disini?" Belum sempat aku menjawab, kemudian papa menambahi perkataan mama "Papa dan mama gak akan maksa kamu. Kalau kamu gak mau, baiklah. Kita bisa cari kampus lain. Bagaimana?"
"Lia pikir dulu ya, lia butuh waktu....."
*****
Bimbang. Hanya itu yang aku rasakan. Saat semua teman-temanku mengetahui aku sudah mendapatkan satu bangku di salah satu kampus, banyak dari mereka yang memberiku selamat. Banyak juga dari mereka yang sudah membuat rencana-rencana untuk kami yang senasib menjadi anak rantau di kota yang sama. "Gilaaaa keren banget anak akuntansi cuy sekarang!" "Selamat ya bel!" "Enak banget sih udah diterima, aku masih gatau mau kuliah dimana." "Asikk kita sama-sama anak malang! Ngekos bareng yuk." Dan masih banyak respon-respon lainnya. "Harus gue balesin kayak gimana nih? YaAllah apa yang harus hamba lakukan sekarang." Tak lama, mama mengetok pintu kamarku.
"Lia, mama boleh masuk?"
"Iya ma, masuk aja..."
Mama berjalan menghampiriku, kemudian duduk disebelahku. "Sudah 2 hari kamu ngurung diri di kamar. Waktu daftar ulang sebentar lagi. Jadi gimana? Kamu mau gak kuliah disitu?" Mendengar pertanyaan yang terus menerus berulang, aku merasa sedikit kesal. "Mama sama papa selalu nanya aku mau gak kuliah disitu, kan aku bilang aku butuh waktu. Ma, emangnya aku kuliah itu buat main-main? Aku tuh cuma takut ma kalo nanti aku gak lulus gimana? Sama aja kan bikin mama sama papa sedih! Karena aku tau kemampuanku dibidang itu sangat gak memungkinkan untuk aku terjun kesana!" Aku menangis. "Kata siapa kemampuanmu gak memungkinkan? Buktinya kamu keterima kan? Apa ada teman-teman kamu yang diterima juga? Itu berarti kamu bisa, nak. Udah-udah jangan nangis, mama tau ini sulit. Yaudah mama keluar dulu ya, gak usah dipaksa." Mama tersenyum sebelum meninggalkanku pergi. Belum sempat mama melangkahkan kakinya untuk keluar, tiba-tiba bunyi notifikasi handphone ku berbunyi menandakan ada satu pesan masuk dan saat kulihat pesan tersebut pesan itu dari sahabatku, Rafly namanya. Aku baca sekilas pesan itu yang isinya adalah ucapan selamat untukku. "Yaampun bel selamat ya! Seneng kamu keterima tapi aku gagal masuk nih bel. Aku udah 7x ketolak. Duh sampe pusing aku sekarang." Sebuah pesan singkat yang merubah hatiku saat itu juga. Aku memberhentikan langkah Mama yang sudah berada didepan pintu,
"Mah!"
"Iya, nak?"
"Yuk kita ke Malang. Lia mau liat-liat kampus baru."
"Ok, mama kasih tau ke papa dulu ya..." Mama tersenyum, lalu meninggalkanku.*****
"Yaudah Lia, mama sama papa tinggal dulu ya? Kamu baik-baik kuliah disini. Nanti setiap sabtu-minggu pulang ya, kan deket kalau naik kereta cuma 2 jam aja." Kata Mama. "Sekarang tinggal sendiri disini, harus bisa mandiri dan jaga diri baik-baik ya. Udah mau dewasa. Papa sama mama percaya sama kamu." Sambung Papa. "Siap pa!" Aku mulai belajar menerima kenyataan bahwa mulai sekarang hingga beberapa tahun kedepan aku akan tinggal di kota ini dan menimba ilmu ditempat yang awalnya tidak aku sukai. Aku sadar bahwa hanya ini satu-satunya cara yang dapat aku lakukan untuk membahagiakan mereka, Mama dan Papaku. "Gue kuat! Gue harus bisa!" Batinku. "Tenang aja om, bely kan sama saya. Walau kita beda kampus tapi sesama anak rantau kan sama aja hehe. Kamu kalo ada apa-apa ke kamar aku aja ya bel." Salah satu sifat Putri yang aku suka, dia ramah dan sangat mudah membaur. Padahal ini adalah pertama kalinya dia bertemu kedua orangtuaku. "Ok put!" Putri, salah satu teman baruku saat itu. Asalnya dari depok. Dia anaknya baik dan asik. Baru sebentar kami kenal tapi dia tidak pernah menunjukkan rasa asing atau canggungnya terhadapku, seolah-olah kami adalah dua orang yang sudah bersahabat lama. Bely adalah nama panggilan yang diberikan oleh teman-teman untukku. Sedangkan Lia, adalah panggilanku dari orang rumah dan keluarga besarku. Setelah mama dan papa kembali pulang ke Sidoarjo, aku dan putri memutuskan untuk menyiapkan hal-hal yang harus dibawa untuk besok saat OSPEK (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus) dimulai.
*****
Semenjak hari pertama ku sebagai seorang mahasiswi dimulai dan hingga saat ini aku mulai menglangkahkan kaki ke semester dua, aku sadar bahwa hal-hal yang harus dilakukan dalam hidup setelah kita mengambil sebuah keputusan karena Allah adalah bersyukur. Syukuri nikmat sekecil apapun yang Allah berikan kepada hambanya, karena itu adalah bukti kepedulian dan kasih sayangnya. Jujur, aku sempat menyesal karena dulu pernah meragukan apa yang telah Allah berikan untukku, bahwa kuliah ditempat ini adalah sesuatu yang buruk. Andai waktu dapat diputar kembali, saat itu aku tidak akan membiarkan sedikitpun raut sedih atau kecewa terlukis diwajah kedua orang tuaku. Aku ingin menjadi anak yang membanggakan dan anak yang berbakti. Kasih sayang Allah kepadaku membuat-Nya tak henti-henti memberikan nikmat-Nya kepadaku. Seperti kemudahanku dalam belajar, kemenanganku dalam suatu olimpiade, teman-teman yang baik dan selalu ada, dan masih banyak hal lain yang membuatku merasa bahwa masa-masa transisi dari remaja menuju dewasa adalah sesuatu yang indah jika kita bijak menyikapinya. Allah maha baik dalam segala kehidupan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untukmu, Sang Pemilik Hati
Non-FictionDemi mendapatkan ketenangan dalam hati dan pikiranku, akan kuceritakan tentang bagaimana perjalanan hidupku untuk memantaskan diri dihadapan Rabb-Ku.