Suara adzan magrib berkumandang, membuatku harus berhenti dari aktivitas sebelumnya.
Aku menutup laptop yang tadi sempat kupakai. Kemudian melangkahkan kaki menuju masjid pesantren ini. Alhamdulillah, Allah. Maha Adil, Dia memberikan kesempatan untuk aku untuk bisa mengajar di pesantren ini padahal aku bukan alumni dari tempat ini.
Kata umi, pelajar sangat banyak tapi kami gurunya yang kurang. Jadi kalau tidak mengambil orang luar bisa kewalahan guru di sini.
Setelah selesai menunaikan salat magrib, ketua yayasan yang biasa kami sapa sebagai umi, dia memanggilku duduk di sampingnya—diruang tamu, ditempat itu kami duduk bertiga bersama Amira, teman seangkatan denganku.
Aku dan Amira duduk berdampingan. "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, umi," salamku bersamaan dengan Amira. "Kenapa aku dan Amira di panggil Umi? " tanyaku.
Umi tersenyum menatap kami berdua. Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. " Umi menjawab salam kamj berdua. "Sebenarnya ada yang umi ingin katakan kepada kalian berdua. "
"Apa itu Umi? " tanya Amira. Dia memang tipikal perempuan kepo, tapi semacam kepo yang halal—bukan kepo dengan urusan pribadi orang lain.
"Umi hanya mau bilang, siapa yang ingin menikah dengan seorang Hafids 30 Jus." Umi, menatap aku dan Amira secara bergantian. "Kamu Syahila atau Amira? " lanjut umi.
Saat itu aku hanya diam. Kudengar suara di sampingku yang langsung menyebut namaku, siapa lagi kalau bukan si Amira.
Kaget? Pastinya. "Kenapa harus aku? Mana bisa aku menjadi calon istri seorang hafis. Akhlak kami beda jauh. Mungkin kamu Amira yang bisa, kamu juga seorang hafidzhah dan cocok jika bersanding dengan Hafids juga. Sementara aku belum bisa sampai ke level itu." Mungkin aku terlalu merendah, tapi ini kenyataannya.
Amira tersenyum. "Saya belum siap kalau harus menikah sekarang, Syahila. Kamu, kan, pernah bilang mau menikah di usia mudah? Seharusnya kamu terima ini, ini adalah peluang besar untuk kamu," kata Amira.
Ya, memang aku pernah bilang seperti itu tapi kok rasanya aku tidak siap, ya?
"Sudah-sudah tidak usah berdebat seperti itu, Seorang Hafids yang umi kenalkan kepada kalian itu tidak menginginkan kalian harus bisa menjadi hafidzhah atau menjadi calon istri yg berakhlak baik dan sebanding dengan laki-laki itu. Hanya saja laki-laki itu meminta syaratnya terpenuhi untuk bisa dia jadikan pendamping hidupnya."
Amira yang tadi duduk diam di sampingku, langsung berbicara, "Apa itu Umi persyaratnya?"
"Persyaratannya itu, dia menginginkan istrinya untuk tidak keluar rumah. Tidak menginginkan istri yang bekerja diluar rumah juga, dia hanya menginginkan istrinya untuk tinggal diam di rumah melayani suaminya dan mengurus anak-anaknya kelak. Kamu tahu bagaimana wanita mulia itu? Rasulullah pernah menanyakan hal itu ke sahabatnya, dan akhirnya sahabat Rasulullah saat itu berlomba-lombah mencari jawabannya, termasuk Ali.
Tapi saat itu Ali mendapatkan jawabannya dari istrinya, Fatima. Ketika di rumah Fatimah berbisik kepada Ali, 'Wanita yang paling mulia adalah wanita yang tidak pernah melihat laki-laki, juga tidak pernah dilihat laki-laki. ' dan tahu tidak perkataan Fatimah saat itu mampu membuat pipi Ali memerah," Jelas umi.
"Nah, itu sangat cocok buat Syahila, Umi. Kalau untuk saya, saya tidak bisa, bukannya saya menolak menikah ya Umi tapi saya merasa tidak sanggup dengan syaratnya itu. Ya dia memang seorang hafis, tapi syaratnya sangat sulit buat saya Umi. Terus tentang wanita mulia itu, saya punya masa lalu yang kelam umi, saya pernah pacaran."
"Bagaimana menurut kamu Syahila? " Umi beralih bertanya kepada aku. "Dia seorang hafis lo. "
"Kalau Amira tidak mau y-" Amira memotong perkataanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Taaruf, Ukhty?
SpiritualCover belum tersedia. ●_● Bismillah, cerita ini adalah kisah nyata. Colab bersama Ratna. 💕 Berjalanlah di sampingku agar kita bisa beriringan bersama untuk kesurga-Nya. Saling menasihati di saat ada yang salah dan saling melengkapi di saat ada yan...