Gelap malam kini tengah memeluk ku, dengan kesunyian yang mengiringi. "Menusuk" kata itu yang tengah aku rasakan, sebuah rasa yang dapat aku gambarkan. Rasa dingin kini tengah menusuk kulit putih ku, menembus kulit lalu menghampiri tulang. Rasa sakit pun kini tengah menghampiri. Sebuah penghianatan dan ketidak adilan. Ketika diri ku berpikir mengumpamakan kehidupan ku seperti serangga dan bunga yang saling menguntungkan, tapi ternyata itu salah ketika aku telah mengetahui segalanya, perumpamaan itu menjadi sebaliknya, seperti pohon dan benalu. Aku menjadi pohon dan orang itu menjadi benalu. Beginilah hidup. Sebuah ketidak adilan menjadikan aku untuk pergi dari perusahaan dan membuang ku kepada cabang yang ada di kaki gunung, sebuah desa yang entah ada di mana.
Roda ban mobil menapaki permukaan jalan. Jalanan yang tidak dilapisi batu atau pun aspal, yang dikelilingi pohon pohon di sampingnya, jalanan yang hanya dilapisi oleh tanah kering. Sepi. Suasana di jalanan ini sangat sepi, seperti tidak ada tanda tanda kehidupan. Aku sesekali berpikir ingin kembali saja, tapi hal itu aku urungkan. Keluarga yang menanti kehidupan layak kini tengah menunggu di rumah, menjadi penyemangat untuk diri ku, untuk tetap melanjutkan perjalanan ini. Roda mobil terus berputar dalam kesunyian, terus berputar menyingkirkan kegelapan malam yang berganti menjadi sang fajar.
"Ah, sial. Kenapa harus mogok segala sih ni mobil?," gerutuku sambil memukuli stir kemudi, lalu menempelkan dahi di atasnya.
Aku pun segera mencoba menyalakan kembali mesin mobilnya, tapi nihil, tak ada kemajuan.
'JBLUG'
Suara pintu dibanting keras. Tas ransel kini tengah berada dalam gendongan ku, berada di depan dan belakang. Seperti kura kura tengah hamil mungkin? Maybe. Aku pun segera berjalan menyusuri jalanan yang ada.
Kaki terus melangkah. Sebuah langkah yang semakin menjauhi mobil yang tadi dinaiki sampai tidak terlihat. Tetesan keringat semakin deras membasahi tubuh ku. Hembusan nafas semakin tidak beraturan. Kaki pun mulai lemas untuk di langkah kan kembali.
Sebuah mata memandang kejauhan. Sebuah desa kini yang terlihat. Kaki semakin cepat melangkah. Rasa letih terasa pudar sedikit demi sedikit ketika bertemu dengan desa ini. Berharap ada seseorang yang menyapaku dan memberi tahu dimana posisi ku berada. Senyum kini terukir indah dalam bibir ku.
"Permisi pa,"sapa ku kepada salah seorang penduduk yang ada di sini.
Tak ada jawaban dari bibir laki laki tua ini. Matanya terus memandang kepada diri ku. Aku merasa aneh dengan sikap yang dimiliki oleh bapak tua ini. Aku pun menyapanya kembali.
"Bapa boleh saya bertanya? Saat ini saya berada di mana ya pa?,"
Dua kali. Tak ada jawaban. Laki laki tua ini lalu merubah pandangannya, terlihat sinis kali ini. Sebuah tatapan tak suka dari sorot matanya. Aku pun segera pergi meninggalkan bapak tua ini, lalu mencari lagi orang, orang yang bisa diajak berbicara.
'Tok tok tok' aku mengetuk pintu rumah salah satu warga di sini. Tak ada jawaban lagi. Lalu aku kembali mengetuknya lagi, berpikir mungkin tadi tidak terdengar oleh orang yang ada di dalam.
'Srett' sebuah kertas keluar dari sela sela pintu, aku pun membawanya. Ketika aku melihat goresan tinta yang ada di atas kertas, aku merasa heran. Sebuah tanda tanya '?' dari goresan itu. Aku merasa heran dan bingung. Kenapa tidak ada yang mau berbicara dengan ku.
Aku pun mencoba kembali kegiatan yang tadi, kembali mengetuk pintu rumah warga di sini. Tetap sama, tidak berbeda. Sebuah tanda tanya dalam kertas yang didapat. Aku merasa bingung harus berbuat apa. Ketika bertemu langsung dengan penghuni desa ini aku mendapatkan tatapan tidak suka dan tidak ada sepatah kata pun yang keluar, lalu ketika menghampiri rumah hanya mendapatkan kertas yang memiliki goresan tinta berbentuk tanda tanya di dalamnya. Oh, Alloh aku tertarik dengan desa ini.