Mommy!

130 31 9
                                    

Menikah lalu bercerai, itu bukan inginnya. Hal yang tidak terpikirkan saat ia melamar kekasihnya yang sudah menjalin hubungannya selama 2 tahun. Inginnya kisah cinta itu akan berakhir layaknya dongeng.

Happily ever after. Begitulah kesimpulan yang kerap ia temukan dalam cerita bergambar yang sering ia bacakan untuk Han Soo.

Siapa yang menduga, kisah itu bahkan tak bertahan lama. Tepatnya hanya 3 tahun—hampir. Setelahnya, jari manisnya kembali hampa. Tak ada ikatan atau benda sakral yang melingkar. Mengartikan ia sebagai milik orang lain.

Beruntung ia tidak benar-benar sendiri. Ada Han Soo, putranya. Pendukung sekaligus alasan buatnya memiliki impian baru.

Walau kenyataan tak seindah rancangan di benaknya. Menjadi single parent, menjadi tantangan lain untuknya. Bukan karena ia tidak bersyukur ada kedua orang tuanya yang sering membantunya, melainkan sikap orang di sekitarnya yang kerap menjadi dogma yang tidak sejalan.

Bahwa mereka mempertanyakan alasan ia menuntut hak asuh Han Soo yang menurut mereka akan lebih baik diberikan pada mantan istrinya—Ibu Hansoo. Atau mempertanyakan kecakapannya selaku pria yang membesarkan anak pada saat ia juga dituntut menjadi pekerja di salah satu perusahaan.

Semua hal yang ia lakukan selalu dipertanyakan. Hal yang kontras terjadi pada keluarga yang memiliki suami istri—lengkap. Meski belum tentu yang mereka lakukan lebih baik darinya, tetap saja ... pandangan itu selalu tertuju negatif padanya.

Sedikit yang memuji perjuangannya. Walau memang ia juga tak mengharap semua pujian tersebut.

"Ayah ... di mana Ibu?"

Pertanyaan yang normal. Untuk seorang Han Soo yang tidak pernah melihat sosok wanita lain dalam kesehariannya—kecuali sang nenek— suatu kali mempertanyakan perbedaan yang dikenali antara dirinya dengan teman-temannya. Saat mereka dijemput hangat oleh orang tua mereka—dominasi perempuan—Han Soo mulai bertanya eksistensi wanita yang tidak pernah disebutnya  'ibu'.

Pria kecil dengan pipi bulat di wajah kecilnya, kala itu akan berusia 4 tahun. Ucapannya bisa dikatakan cukup jelas dan ia pun mulai mengerti hal yang terjadi di sekitarnya.

Han Soo juga sering bertanya, "Apa tidak memiliki ibu itu buruk?"

Kadang hati Hae In geram. Tak jarang merasa pilu.  Sebanyak apa ia mencoba melindungi putranya, dunia selalu berusaha menyakitinya—Han Soo—dengan berbagai cara.

"Han Soo punya Ibu. Sayangnya, Ibu tidak bisa bersama dengan kita sekarang."

"Apa Ibu sibuk? Kenapa tidak pernah mengunjungi Han Soo?"

Merendahkan badan, Hae In ingin menyamakan tingginya layaknya Han Soo. Menatap kedua bola mata milik putranya, ia turut menyelami kepolosan putranya yang terluka akibat keegoisan orang dewasa.

"Ayah selalu ada untuk Han Soo. Menemani dan akan menjadi teman Han Soo. Jadi, putra ayah yang tampan ini tidak akan pernah merasa sedih lagi."

Yang ia punya adalah kesabaran. Juga memiliki cinta yang bisa dibaginya untuk Han Soo. Menjadi ibu sekaligus ayah, peran itu coba dilakoni walau sulit.

⏳⏳

Inilah yang menjadi rutinitas keduanya. Saat pagi mulai menyapa, keduanya terlihat gembira hanya karena mandi bersama. Lalu ia akan menyiapkan bekal dan baju ganti Han Soo di dalam tas. Sebelum akhirnya pergulatan itu terhenti ketika ia harus mengantarkan putranya ke sekolah.

"Cepat, Ayah! Nanti kita terlambat!"

Cuma kali ini agak berbeda. Han Soo terlihat lebih ceria dari sebelumnya. Entahlah ... yang jelas ia begitu bersemangat ingin ke sekolah.

Sangat menuntut.

Sejak semalam—sebelum tidur—Han Soo berceloteh tanpa henti. Mengatakan betapa ia tak sabar ingin lekas pagi. Bahwa ia ingin segera ke sekolah. Sekolah kini menyenangkan.

Sifat yang membuat Hae In sebagai ayahnya turut senang. Wajar, kan? Putranya riang, bentuk bahagia sederhana yang selalu dirapal dalam doa.

Tangan kecil putranya masih menarik Hae In untuk bergerak lebih sigap dibandingnya. Meski sebenarnya, langkah ayahnya tetap lebih mudah mengejar ketertinggalannya.

"Han Soo-ya!"

Semudah itu pula Han Soo melepaskan tautan dari jemari Hae In. Kalah oleh sebuah suara ramah yang menyapa Han Soo; beberapa langkah sebelum tiba di sekolah.

"Ibu!"

Hae In tersentak. Bukan karena Han Soo terlihat tengah mengkhianatinya hanya karena seorang wanita. Melainkan sahutan yang membuatnya tercengang. Kata polos yang lama tak terlontar dari mulut putranya.

"Aigo ... uri Han Soo!"

Wanita itu lantas memeluk Han Soo yang mendekatinya. Jemari gemulainya memegang tangan Han Soo yang terlihat sudah memutuskan pilihan—mengikutinya.

"Yak! Apa Ayah baru saja dikhianati?"

Tawa kecil terdengar di antara ketiganya.

"Maafkan Han Soo, Songsaenim. Maaf membuat Anda tidak nyaman dengan ucapannya." Hae In membungkuk sebagai permintaan maaf.

"Tidak apa-apa, Tuan Jung. Han Soo sebelumnya sudah meminta izin padaku. Dan aku sama sekali tidak keberatan. Sebaliknya, aku merasa terhormat bisa dipanggil seakrab ini oleh anak semanis Han Soo. Dia membantuku mengurangi kecemasan sebagai guru baru di sini."

Wanita bernama Kim So Hyun itu begitu ramah. Setidaknya Hae In masih mengingat jelas namanya. Dan sekarang, akan lebih mengingatnya setelah yang Han Soo lakukan.

"Ayo kita masuk ke dalam kelas."

Han Soo berubah. Ia pun terlihat penurut. Baru dia wanita pertama yang sepertinya menarik perhatian Han Soo.

Bohong kalau ia tidak merasa bahagia. Melihat Han Soo banyak mengumbar senyum, wajar Hae In merasa tenang. Tidak ada yang lebih penting selain melihat putranya terlihat begitu.

"Ibu, ya?" gumamnya pelan sambil mengamati punggung wanita yang menggenggam tangan putranya. Terbit senyum simpul yang membuatnya merasa geli.

**

Tbc

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 28, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GRAVITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang