POV

23 1 1
                                    

"Bukan gitu, yang. Kamu salah paham. Dengerin aku dulu dong, yang. Yang ? Sayang ? Halo ?"

"Kiko ?"

"Siapa lagi cewe yang gue panggil 'sayang' kalau bukan dia ?"

"Yelah, tinggal jawab iya atau bukan aja ribet banget. Pemborosan kata tau !"

"Mon maap, crazy rich jiyong menolak hemat"

"Sok banget lu. Emang dasarnya anda tuh bacot. Paham ga anda ?"

"Yodalah, gua bacot juga cuma sama elu ini. Chaerin, paling istimewa buat gua"

Kesalahan pertama, dia menggunakan kata istimewa. Kesalahan kedua, dia mengatakannya dengan senyuman paling manis ditambah dia mengunci tatapan mataku. Selamat Jiyong, sahabatku itu berhasil membuat diriku semakin terpesona padanya.

Ada satu hal yang paling menyedihkan dalam persahabatan antara pria dan wanita, saat salah satunya kalah. Dikalahkan oleh perasaan cinta.
Itu aku. Menyedihkan sekali.

Kalian pasti sudah bisa menebak, bukan ? Ya, ini adalah cerita aku yang mencintai sahabatku sendiri, yang sialnya telah memiliki kekasih. Dan jika dia tidak punya kekasih, bukan berarti aku memiliki kesempatan. Yang paling sulit dari mencintai sahabatmu adalah dia tidak pernah melihatmu sebagai seorang pria atau seorang wanita.

Aku menyedihkan, sudah setengah mati memendam perasaanku dengannya. Sialnya insting seorang wanita memang kuat, Kiko kekasih Jiyong terus cemburu padaku karena merasa bahwa aku mencintai kekasihnya. Oh shit, kamu memang luar biasa, Kiko.

Tapi sebenarnya dia tidak perlu khawatir akan keberadaanku. Aku tidak akan pernah mengancam posisi dia di hati Jiyong. Tidak akan pernah bisa. Kenapa ? Karena Jiyong hanya jatuh cinta pada satu wanita, Kiko Mizuhara. Selamanya. Hanya ada Kiko di hatinya. Jangan meragukan pendapatku, karena aku yang selalu mendengar curahan hatinya. Aku melihat sendiri bagaimana kedua mata Jiyong selalu berbinar-binar saat ia menceritakan kekasihnya.

Lagipula, aku bukan seorang wanita yang tega merebut kekasih orang lain. Aku terlalu bermartabat.

"Kiko marah banget ?"

"Hmm.. mungkin"

Jiyong berusaha tidak perduli. Cih. Mau menipuku ?

"Sini biar gue yang jelasin ke dia kalau kita cuma sahabatan aja"

"Enggak usah. Udah buru bayar tuh buku lu. Pulang yuk, udah malem. Besok masuk kerja, cuyyy"

"Beneran nih gue gaperlu bantu jelasin ?"

Dia hanya menggeleng dan mendorongku agar segera pergi ke kasir.

Sepanjang perjalanan pulang kami hanya diam, tidak ada yang mengeluarkan sepatah katapun. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku yang khawatir dengan Jiyong, dan dia yang mengkhawatirkan kekasihnya. Nice.

"Thank you" aku menyerahkan helm tapi tidak segera diambil oleh Jiyong. Ia sibuk berkutat dengan ponselnya.

Karena pegal, aku sedikit meninju lengannya dengan helm tersebut
"serius banget sih. Ada apa ?"

"Kiko minta putus"

Dasar gila. Entah ini kali kesekian perempuan itu minta putus pada Jiyong. Dia selalu begitu tiap kali cemburu padaku. Sungguh kekanak-kanakan.

"Sini biar gue yang ngomong sama dia" aku selalu mengatakan itu.

"Enggak perlu" dan Jiyong selalu mengatakan itu juga.
"Lu masuk sana. Gue balik yee. Bye jones"

POV (Chaerin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang