"Makan yuk. Babi panggang kesukaan lo itu. Ato kue. Terserah lo deh. Gue traktir."
Aku mendongak sambil mengangkat alisku dan mendapati Koko Jae menatapku dari balik kacamatanya. Tetanggaku si pegawai ahensi yang sudah jarang terlihat karena kebanyakan lembur dan dari jaman aktif komsel dulu terkenal pelit tiba-tiba mau mentraktir aku pulang gereja?
"Lo ga kepentok, Ko?"
"Halah, bawel," dia tertawa dan mengambil tempat duduk di sebelahku, di pinggiran tangga batu di selasar gereja. "Sekarang kan jarang juga kita ketemu walau rumah seberangan. Mau lo sia-siain kesempatan ini?"
Aku nyengir. "Nggak lah. Eh tapi boleh ke Jakarta gak? Gue udah lama ga ke Jakarta. Please? Ini satu-satunya libur gue di weekend sampe akhir bulan."
Dia memutar mata, menatapku dengan nyolot selama dua detik. Lalu dia tertawa lagi.
"Iya, boleh. Mumpung gue lagi baik. Lo mau nyetir ato gue aja yang nyetir?"
***
Sejujurnya aku kaget waktu kubilang mau makan di Bakerzin dan Ko Jae setuju saja. Dia langsung menyetel GPS untuk mencari Bakerzin terdekat dan menyalakan musik begitu duduk di mobil, tangan kanannya mengendalikan setir.
"Ih Ko, lo beneran ga kepentok ato kerasukan gitu?"
Dia memutar mata. "Stephanie, honey, kita baru dari gereja. Mana ada setan tahan di gereja?"
"Ya kalo tidur selama kebaktian kaya elo mungkin tahan?"
Si Koko menggeplak gue ringan. "You knew full well I didn't today."
Aku hanya meringis. Hari ini Ko Jae dan keluarganya duduk dua baris di depanku, dan kepalanya tegak selama kebaktian. Satu alasan lagi yang membuatku bingung karena tidak biasanya dia sekonsen itu selama ibadah.
Selanjutnya, untuk beberapa menit, kami hanya diam. Aku menatap jalan yang ramai mobil dengan perasaan senang. Jakarta always fascinates me. Mungkin karena aku lebih banyak hidup di Tangerang Selatan (kerja juga di sini!) dan Papa yang benci kemacetan bikin aku jarang ke Jakarta. Berbeda dengan Ko Jae yang anak gaul Jakarta, yang mencari nafkah dan membuang uang pun di ibukota. Bahkan kalau dipikir-pikir, aku lebih sering ke Jakarta dengan tetanggaku satu ini dibanding dengan keluargaku.
Betul, kami tetangga. Dia pindah ke rumah seberang rumahku waktu aku kelas 4 SD. Sejak itu dia seolah jadi kakak beda orangtua bagiku; mungkin karena dia cuma punya kakak perempuan yang beda umur jauh darinya. Kami jadi dekat karena setiap ada kegiatan gereja, dia menyeretku ikut. Aku bukan orang yang tekun beragama (mungkin karena pengaruh Mama yang Katolik, yang sangat selow dalam menjalankan ibadahnya?) sementara Ko Jae sangat rajin ke gereja dan baca alkitab walau pas khotbah banyak tidurnya juga, tapi kami berdua suka terlibat dalam kepanitiaan acara besar seperti Paskah dan Natal. Dia di bagian musik dan aku di bagian dekorasi. Aku selalu diijiinkan rapat sampai malam kalau pergi bersama dia, dan entah sejak kapan 'pergi rapat bersama Ko Jae' berkembang jadi 'pergi jalan bersama Ko Jae.' Dari McD, museum, bahkan kunjungan pertamaku ke Monas juga sama dia.
Kami jadi agak jarang bertemu sejak dia mulai kuliah, dan lebih jarang lagi saat tahun depannya aku juga kuliah ke luar kota. Lalu lebih jarang lagi saat dia mulai bekerja dan aku mulai koas daerah. Kami tetap banyak ngobrol, tapi lewat LINE dan personal message media sosial. Dia sering mengomentari kegiatan koasku ("Gila lo, ngobok-ngobok pantat sapi begitu!") sementara aku lebih sering minta traktir ("Ko, ajak gue makan sana pas pulang dong :(")
Setelah aku mulai kerja di klinik hewan dekat rumah, yang liburnya cuma sehari seminggu dan jarang di weekend, kami jadi nyaris tidak bertemu. Paling hanya sapa singkat di Minggu pagi saat dia berangkat gereja dengan keluarganya dan aku, yang jadi lebih sering ke gereja Mama karena ada ibadah paginya, berpapasan saat aku mengeluarkan motor untuk pergi bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Easier
General Fiction"I wish you had it easier." Dia tertawa hambar dan mengangguk. "I wish i had it easier." Aku menoleh dan menatap siluetnya dari samping. Koko gerejaku, yang senantiasa menyeretku untuk jadi panitia acara anak muda gereja setiap Natal dan Paskah kare...