Chapter one

7 1 0
                                    

Aku senang bermain di halaman belakang rumah dengan ibuku, di halaman belakang rumahku terdapat taman yang lumayan luas, dan beberapa ayunan, ada kolam ikan, jembatan kecil, dan perosotan! Agak jauh dari tempat bermain, terdapat tembok tinggi dan lebar yang membatasi rumah kami dengan tanah lapang dibelakangnya.

Aku yang waktu itu masih berumur 4 tahun pernah mendekati tembok itu dan melihat ada satu jendela berukuran sedang diantara tanaman rambat di tembok itu, sebelum akhirnya aku dipanggil dan diberi tahu untuk tidak main main dekat situ. Karena masih terlalu kecil untuk merasa janggal, jadi aku iya iya saja saat diberi tahu tidak boleh main disana, sampai akhirnya aku yang berumur 15 tahun kembali memberanikan diri untuk mendekat kembali pada jendela yang sudah tertutup tanaman rambat dengan sempurna.

'untuk apa ada jendela ditembok ini? menghadap ke tanah lapang di belakang kah?' pikirku saat itu.

Lagipula jendela itu hanya satu satunya jendela yang ada disitu, aku mencoba menyingkirkan tanaman rambat yang menutupi jendela itu, saat tanaman rambat itu sudah berhasil aku singkirkan, aku yang memang sudah memegang kain lap basah, perlahan membasuh kusen jendela itu dengan kain lap. Kaca jendela itu sudah sangat buram, sehingga saat aku membersihkannya pun tidak berguna karena kaca bagian dalam jendela itu sangat amat buram sehingga aku tidak bisa melihat kedalam sana, karena jujur saja aku sendiri pun belum pernah melihat tanah lapang di belakang rumahku.

Sempat berpikir untuk membuka jendela itu namun jendela itu seperti sudah menjadi satu dengan tembok saking tidak pernah disentuh sejak lama, frustasi, akhirnya aku mengambil batu yang cukup besar dan melemparkan batu tersebut pada kaca jendela tersebut dengan tenaga yang aku miliki, aku diam, jangankan pecah, retak-pun tidak, aku memiringkan kepalaku, bingung.

Suara ibu yang memanggil dari teras halaman belakang membuatku menoleh dan menghampirinya, dengan langkah gontai akhirnya aku meninggalkan jendela itu dan berlari kecil menuju ibuku.

"ada apa?" tanyaku pada ibu, ibuku selalu terlihat cantik bahkan dengan pakaian rumahnya.

"ah tidak, sedang apa kamu disitu Ji? Ibu ingin minta tolong padamu" Ibu menyerahkan sebuah bento yang sudah dibungkus dengan rapih padaku.

"mau diberikan kemana?" tanyaku memandangi bungkusan di tanganku.

"tolong antarkan ini pada keluarga Jeon ya, katanya Jungkook sedang sakit"

"ah, baik" aku baru saja melangkah masuk kerumah untuk menuju rumah keluarga Jeon.

"Hm Minji, ada yang ingin ibu katakan padamu, tapi ibu akan menunggu waktu yang tepat" ucap ibu tersenyum padaku.

"kalau begitu, katakan saat waktunya sudah tepat. Aku berangkat" aku lalu melanjutkan langkahku untuk segera ke kediaman Jeon.
.
.
Aku sudah sampai di depan kediaman Jeon, sedetik sebelum aku memencet bel, aku melihat cahaya yang sangat terang menembus kaca kamar Jungkook yang menghadap kedepan, aku menghentikan tanganku yang sudah terangkat untuk memencet bel, sedikit memundurkan tubuhku agar aku bisa lihat apa yang terjadi di kamar Jungkook, tapi ternyata aku tidak bisa melihat apapun, cahaya itu sudah hilang.

Akhirnya aku memberanikan diri untuk memencet bel rumahnya.

Bel pertama.. tidak ada yang membukakan pintu
Bel kedua.. masih sama
Bel ketiga.. aku sempat berpikir untuk membawa bungkusan ini pulang dan berkata kepada ibu bahwa keluarga Jeon tidak ada.

tapi akhirnya aku memutuskan untuk kembali menekan bel.

'terakhir' pikirku.

Saat aku menekan bel, terdengar suara knop pintu dibuka dan munculah nyonya Jeon. Dilihat dari wajahnya seperti tertekan namun memaksakan seulas senyum saat melihatku.

"Selamat siang bibi, saya mau memberikan titipan dari ibu, ini untuk Jungkook. Katanya sedang sakit ya?" tanyaku hati hati.

"ah kau Minji, mari masuk. Ibumu itu repot repot" Nyonya Jeon membukakan gerbang untukku, lalu dengan senyuman hangatnya menggandengku untuk masuk.

'Tanya tidak ya' batinku terus mengulang kata yang sama semenjak aku penasaran apa yang telah terjadi di kamar Jungkook. 'tidak usah Minji, kau tidak perlu ikut campur urusan orang' aku mengingatkan diriku sendiri.

"Kau keatas saja, dia sangat bosan katanya karena tidak bisa main keluar" kata bibi Jeon, mengambil bungkusan dari tanganku dan mendorongku pelan kearah tangga.

Aku naik perlahan dan akhirnya sampai di depan pintu kamar Jungkook, karena memang aku sudah akrab dengan keluarga Jungkook jadi aku rasa, aku tidak perlu lagi mengetuk pintu kamar Jungkook, jadi aku langsung membukanya.

"kau ini punya sopan santun tidak? masuk ke kamar orang harusnya ketuk pintu kan?" cecar Jungkook begitu aku melangkah masuk.

"cerewet" balasku mendudukan diriku di pinggir tempat tidur Jungkook.

"kau datang karena mengkhawatirkanku ya?" goda Jungkook.

"kalau mau bicara dipikir dulu bisa tidak? aku kesini karena ibu menyuruhku untuk membawa bingkisan untukmu" ucapku melengos, dan memukul pelan kaki Jungkook yang tertutup selimut.

"kalau kau tidak khawatir padaku kan kau bisa saja menolak dan membiarkan ibumu yang datang kemari" Jungkook tetap menggodaku.

"ya! aku bukan anak pembangkang sepertimu"

Jungkook hanya terkekeh. Lalu hening, tidak ada yang memulai pembicaraan.

"Manusia sepertimu bisa sakit juga ya, kau sakit apa?" tanyaku menatap Jungkook datar.

"hey, wajahmu itu, aku tau kau orang yang datar tapi setidaknya jenguk aku dengan senyum"

"itu bukan jawaban dari pertanyaanku"

"kau senyum dulu baru kujawab"

"ah terserah"

Kami berdua menoleh saat Nyonya Jeon membawakan satu piring penuh biskuit juga kue dan 2 minuman untuk aku dan Jungkook..mungkin?

"Bu, suruh pulang sajalah anak ini, dia tidak mau tersenyum padaku" ucap Jungkook mengadu pada ibunya.

"kau mau dihantam ya?" ucapku.

"lihat bu, aku yang lagi sakit begini saja ingin dihantam olehnya"

Nyonya Jeon hanya menggeleng sambil terkekeh melihat tingkah kami berdua.

"belum saja kalian berdua aku jodohkan" ucap Nyonya Jeon.

"Ide yang bagus bu" Jungkook mengarahkan kedua jempolnya pada ibunya.

"lebih baik aku jadi perawan tua dibanding menikah dengan Jungkook. Jangan tersinggung ya bibi, tapi Jungkook terlalu tidak waras untukku" jawabku menatap Nyonya Jeon.

Nyonya Jeon tertawa lepas.

"Bukan hanya untukmu, dia juga tidak waras untukku" ucap Nyonya Jeon.

"ah.." Jungkook membalikan badannya menghadap tembok. Ngambek.

"yasudah bibi, karena Jungkook sepertinya sebal denganku, jadi aku pamit pulang ya bi"

Nyonya Jeon sudah keluar.

Aku baru saja ingin berdiri dari pinggir tempat tidur Jungkook, tiba tiba tangan Jungkook menahanku.

"siapa yang mengizinkanmu pulang?" Jungkook akhirnya duduk.

"terus kau mau aku menginap disini?" tanyaku membual.

"bukan ide buruk, menginap saja yaa? temani aku, katanya nanti Oppa-mu dan Tae Hyung mau kesini juga" ucap Jungkook menjelaskan panjang lebar.

"tidak" jawabku singkat dan berdiri, berjalan kearah pintu sampai Jungkook menawarkan sesuatu yang tidak bisa aku tolak.

"Bagaimana kalau 1 pack Oreo dan 5 Susu pisang hanya untukmu?" dia mengatakan itu dan menekankan kata 'hanya untukmu'

Aku berbalik, menyipitkan mata dan menatapnya. Jungkook tersenyum miring.

"deal, tapi aku pulang dulu, mau izin pada ibuku. Nanti aku kemari dengan Jimin oppa saja ya" ucapku sambil melahap kue yang dibawa oleh Nyonya Jeon.

"baiklaahh" ucap Jungkook menyetujui ucapanku dan ikutan menikmati kue.


Gimana? wkwk

best regards,
tata

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 17, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hidden Window • JjkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang