Bandung.
Kota berhawa sejuk yang katanya penuh ketenangan. Tapi bagi Osi, tak ada tempat yang cukup dingin untuk membekukan luka yang diam-diam membusuk di tubuh mungilnya. Sudah sebulan berlalu sejak malam itu—sejak darah menggantikan peluk hangat ibunya, dan rasa dingin menempel di kulit bukan karena udara, melainkan karena kehilangan yang terlalu besar untuk didefinisikan.
Kini ia tinggal di sebuah rumah sederhana bersama Alden, kakak kandungnya, dan Pak Suryo—pria yang mengaku sebagai kerabat ayah mereka. Rumah itu asing. Terlalu sunyi untuk disebut tempat tinggal, dan terlalu aman untuk disebut rumah. Osi tidak benar-benar tahu siapa Pak Suryo, selain fakta bahwa ia datang di pagi buta dan membawa mereka menjauh dari kematian.
Osi baru berusia lima tahun. Tapi matanya menyimpan luka yang tak bisa diceritakan. Dan malam itu, luka itu berubah menjadi sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang belum bisa ia mengerti.
Tubuhnya panas. Seluruh kulitnya seperti terbakar dari dalam. Ia terbaring lemas, berkeringat, matanya berat, tapi pikirannya kacau. Pak Suryo sedang tidak di rumah. Yang ada hanya Alden, satu-satunya orang yang selalu ada untuknya.
"Osi... kenapa? Kamu sakit, ya?" suara Alden terdengar panik saat ia mendekati tempat tidur. Dahi Osi basah, pipinya merah padam. "Panas banget..."
Alden segera mengambil kain dan semangkuk air dingin. Ia menempelkan kain itu ke dahi Osi, tapi sesaat setelah tangannya menyentuh kulit adiknya, tubuh Osi menegang.
Mata Osi terbuka lebar. Ia tak bisa bicara. Tubuhnya kaku. Napasnya tercekat.
Dalam kepalanya, gambar-gambar aneh mulai bermunculan—terang, cepat, menyakitkan.
Alden kecil sedang memukul temannya hingga berdarah hanya karena rebutan mainan. Alden mencuri susu stroberi milik Osi dan menyembunyikannya di bawah tempat tidur. Alden melempar penghapus pada gurunya karena tak mau dinasehati. Alden diam-diam mengambil koin dari dompet ibunya untuk membeli sebuah beli permen.
Semuanya begitu jelas. Dan semuanya terasa begitu... nyata.
Osi terlonjak dan menepis tangan abangya dengan panik. "Jangan sentuh aku!"
Alden terkejut. "Kamu kenapa?"
"Aku lihat sesuatu," suara Osi bergetar. "Aku lihat abang mukul orang. Aku lihat abang nyolong susu aku. Aku lihat abang ngumpat guru."
Alden membeku. Tak bisa bicara. Ia hanya menatap adiknya yang kini memeluk diri sendiri seperti takut disentuh lagi.
"Kamu... ngigo ya?"
"Nggak bang," bisik Osi. "Aku lihat semuanya pas abang nyentuh aku."
Sunyi. Hanya suara detak jam di dinding yang terdengar. Malam itu, tak ada yang benar-benar mereka mengerti, tapi sejak saat itu... Osi tahu bahwa tubuhnya menyimpan sesuatu yang bukan miliknya.
*****
Keesokan harinya, Osi tetap ke sekolah. Ia tak tahu harus bilang apa. Yang ia tahu hanya satu hal: dia tidak mau ada yang menyentuhnya.
Saat istirahat, seorang temannya, Lena, menarik tangan Osi begitu saja untuk bermain kejar-kejaran. Kontak yang sangat singkat. Tapi cukup untuk menampilkan dosa-dosa Lena seperti layar besar yang diputar dalam kepala Osi.
Lena menendang kucing kecil hingga mati. Lena mengambil uang dari dompet ibunya diam-diam. Lena mencuri bros kakaknya dan menyembunyikannya di bawah pot bunga.
Osi langsung mundur. Wajahnya pucat.
"Eh, kamu kenapa?" tanya Lena.
"Enggak... nggak apa-apa. Maaf ya, aku kehausan tadi," ucapnya cepat. Ia tersenyum tipis, tapi senyuman itu tak bisa menutupi ketakutannya.
Hari itu, Osi sadar. Apa yang ia lihat bukanlah ilusi. Dan semua itu terjadi... karena sentuhan.
Sejak saat itu, ia mulai menjaga jarak. Ia tetap tertawa, tetap menjawab pertanyaan guru, tetap bercanda dengan teman-temannya. Tapi tidak pernah mau disentuh.
"Osii...Aku lagi sedih banget... Aku boleh peluk kamu gak?" tanya Lena pada suatu hari.
"Enggak boleh," jawab Osi cepat.
"Kenapa?"
"Aku alergi," katanya singkat, lalu terkekeh. "Alergi sama tangan orang lain."
Mereka tertawa, mengira Osi hanya bercanda. Tapi Osi tahu... itu bukan lelucon.
*****
Di rumah, ia duduk di balkon bersama Alden.
"Abang..." panggilnya pelan.
Alden yang sedang membaca buku menoleh. "Kenapa?"
"Aku udah nyoba banget buat nggak nyentuh siapa-siapa. Tapi kadang susah banget. Kadang aku harus salim sama guru. Kadang mereka narik aku pas aku diem. Terus... aku lihat hal-hal yang aku nggak mau lihat."
Alden menutup bukunya. "Kayak apa?"
"Ada guru yang mukul anaknya sampai lebam, Bang. Ada yang suka nonton hal aneh di hp. Ada yang korupsi uang sekolah. Aku tahu itu dosa. Tapi kenapa aku yang harus tahu? Aku cuma anak kecil. Aku nggak berminat untuk tahu hal-hal seperti itu"
Suaranya pecah. Ia berusaha menahan tangisnya sendiri.
"Aku takut sama orang, Bang. Tapi aku juga gak mau sendirian. Aku masih pengen punya temen, tapi aku juga gak mau tahu hal-hal kotor tentang mereka. Aku capek harus pura-pura baik-baik aja tiap kali bersalaman. Aku harus pura-pura gak ngelihat apa-apa."
Alden menatap adiknya lama. Mata Osi berkaca, tapi ia menahan.
Ia mengambil sarung tangan dari kursi dan memakainya. Lalu ia mengusap kepala Osi dengan lembut.
"Aku tahu kamu nggak minta semua ini, Osi. Tapi kamu gak sendiri. Kamu punya aku. Dan aku bakal selalu jaga kamu, apapun yang terjadi."
Osi mengangguk kecil. Pelan, tapi mantap.
Ia tahu bahwa dunia tak akan pernah jadi tempat yang ramah. Tapi selama masih ada satu tangan yang menyentuhnya tanpa dosa... mungkin, ia masih bisa bertahan.
Karena sejak hari itu, Osi hidup di dunia yang sama, tapi berjalan dalam dimensi yang berbeda.
Ia melihat senyum palsu, tawa penuh kebohongan, dan tangan-tangan yang tampak bersih, tapi menyimpan aib hitam dalam diam.
Dan dalam hatinya, ia bertanya—
Apakah ini hadiah dari Tuhan?
Atau hanya kutukan karena ia berhasil selamat... malam itu?
*****
Huaaaa, gimana menurut kalian part ini? Di helleaven versi lama aku gk sempat jelasin gimana pertama kali saat Osi tau dia bisa ngeliat dosa manusia, jelasin sih tp mungkin gk detail kaya sekarang.
Semoga kalian tetap suka dengan Helleaven reborn ini ya hihiih.. BTW aku juga udh banyak nulis cerita lain loh, kalian boleh cek works aku ya, dan semoga kalian suka juga :"))

KAMU SEDANG MEMBACA
HELLEAVEN [REWRITTEN]
Teen FictionOiris Salden Iswara selalu merasa hidupnya dipenuhi dengan kesialan, terlebih setelah ia mengetahui satu hal; ia bisa melihat dosa manusia hanya lewat sentuhan. Namun memutuskan pindah kerumah baru hanya menambah beban sialnya semakin besar, seperti...