bagian satu untuk na

139 12 2
                                    

"Na, kenapa?" suara itu menyeruak ke indra pendengaranku. Suara yang selalu terdengar familiar sampai aku bisa tahu betul tinggi rendahnya nada suara si pemilik.

Kepalaku masih tertunduk di atas meja, menghiraukan pertanyaan itu. Sebab suara tadi mungkin hanya ada di dalam pikiranku. Mengangkat kepalaku dan menaruh ekspektasi bahwa pemilik suara yang sering membuatku berhalusinasi mendengarnya sepanjang hari tidak mungkin ia tiba-tiba muncul dan melontarkan pertanyaan yang susah payah aku hindari. Aku sudah menanamkan pikiran itu baik-baik dalam otakku, agar tiap kali aku mendengar suara itu, tidak akan ada lagi kecewa-kecewa yang lainnya.

"Na, apa kabar?"

Aku masih terdiam. Suara itu lagi. Aku mengesah. Lalu menenggelamkan kepalaku lebih dalam di atas meja, berupaya menutup telingaku dengan kedua tangan sebab suara itu tidak kunjung lenyap dari pikiranku.

"Na?"

"Pergi..." ucapku pelan dengan suara bergetar. Lenganku sudah basah dengan air mata, dan suara-suara itu tidak kunjung lenyap. Sepuluh detik berselang, seseorang menarik lenganku, memaksaku untuk mengangkat kepala.

Pemuda berambut ikal itu menatapku lamat-lamat. Ia seolah sedang mengintrogasiku lewat kedua bola matanya, dan sekira-kiranya aku berbohong otomatis ia dapat mengetahui segalanya dan aku lantas kehilangan garis batas yang kubangun sendiri. Aku berupaya menghapus bekas air mataku, lalu mengucapkan sebuah nama yang sudah lama tidak pernah aku sebut sekalipun, sebuah nama yang menyebabkan luka-luka tak kasat mata itu masih tetap sama, "Za."

Pemuda itu tersenyum tipis. "Iya, aku Za. Apa kabar, Na?"

Lutut-lututku seolah kaku pada saat itu, mataku justru semakin terasa panas. Terlebih lagi dadaku seperti ditimpa oleh sesuatu, sesak, sebab tidak ada yang lebih buruk daripada bertemu seseorang yang setiap hari kau dengar suaranya di mana pun dan kau tahu dia tidak mungkin muncul di tempat-tempat yang kau kunjungi.

Aku segera bangkit dari dudukku, membereskan buku catatanku dan meraih dompetku. "Aku sudah selesai, Za. Kau bisa duduk di mejaku."

Tapi pemuda itu kemudian menahan lenganku sambil berkata, "bentar, Na. Ada yang mau aku omongin. Sebentar aja?"

Suhu yang sudah terlampau dingin malam itu seolah kembali menurun drastis. Hujan yang tadinya mengetuk-ngetuk kaca jendela dengan sopan kini tak lagi bersahabat. Aku duduk kembali, melepaskan tangan Za dari lenganku lalu menatap kaca jendela kosong, menghindari tatapan pemuda itu. Kadang hidup lucu juga ya? Seseorang yang membuatmu berbicara tentang banyak warna akhirnya juga bisa membuatmu berbicara hanya tentang hitam dan putih kembali. Seseorang yang membuatmu mencoret daftar konstelasi bintang favoritmu dan menggantinya dengan namanya akhirnya juga bisa membuatmu tidak lagi menatap langit malam. Orang yang pernah membuatmu jatuh cinta sejatuh-jatuhnya, akhirnya juga bisa membuat kacau sekacau-kacaunya dari yang pernah kau bayangkan.

Za melepaskan jaket hitamnya. Aku makin tidak yakin penurunan suhu di ruangan ini berlaku untuk semua orang, atau justru hanya berlaku terhadapku. "Kamu belum menjawab dua pertanyaanku, Na. Kenapa? dan Apa kabar?"

Lampu-lampu berwarna kuning serupa lampion menggantung di langit-langit tiba-tiba seolah hidup, namun ia sama membekunya denganku yang menerima pertanyaan itu. Rak-rak kayu berisi wine-wine yang hanya dijadikan pajangan oleh pemiliknya seolah memaksaku untuk segera menjawab pertanyaan itu, meja-meja kayu masih diam dan menunggu, sedangkan rak-rak buku yang hampir menutupi seluruh dinding kafe ini memandangku dan Za lamat-lamat seolah sedang menonton pertunjukkan seru. Ah rak-rak buku itu pasti penyebab Za tiba-tiba datang dan menemukanku di sini, sendiri.

Aku membetulkan posisi dudukku. "Maksud pertanyaanmu dengan kenapa tuh apa, Za? Apa kabar? Pretty good, I guess."

Za terdiam cukup lama. Ia memanggil seorang pelayan lalu menyebutkan pesanannya. Kopi susu lagi, seperti biasa, ujarku dalam hati. Usai pelayan itu pergi, mata Za kembali terfokus padaku, kali ini mata itu tidak menyimpan ragu dan takut lagi, ia seolah sudah siap dengan apapun yang akan ia lontarkan kemudian. Tatapan Za kini merupakan tatapan yang sama yang membuatku jatuh cinta berkali-kali pada seorang Za.

REWINDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang