bagian dua untuk za

55 6 1
                                    

Kalau seseorang bertanya apa yang aku pikirkan, mudahnya aku hanya akan menjawab, banyak. Banyak yang aku pikirkan, dari politik, ekonomi, hubungan sebab-akibat, dan isu-isu lainnya yang kalian temukan di internet. Salah satu pikiran yang menganggu aku dua tahun belakangan ini adalah tentang, Na. Orang-orang biasanya memanggilnya Nam, tapi aku tidak mau sama dengan kebanyakan orang, maka aku panggil gadis itu Na. Gadis berambut ikal dengan kulit sawo matang, aku jadi sering teringat deskripsi Hazel di novel Heroes of Olympus-nya milik Rick Riordan. Gadis itu duduk di pojok kafe, aku duduk di dalam ruangan dengan kaca satu arah memandangnya lamat-lamat. Ruangan milik Gana si pemilik kafe yang merupakan temanku. Aku sudah duduk berjam-jam di ruangan ini, jauh sebelum gadis itu duduk di sana dan melamun. Sesekali ia hanya akan menatap kosong kaca jendela, entah memperhatikan pantulan wajahnya atau justru memandang hujan yang sibuk mengetuk-ngetuk kaca jendela di hadapannya.

Ini sudah kali yang kesekian aku menciptakan rutinitasku sendiri mengunci diri di ruangan Gana sebab pemuda itu lebih suka meracik kopi di dapurnya. Satu hal yang membuatku sadar selama beberapa tahun bersama dengan Na, sebagai seorang sahabat ataupun lebih dari itu, gadis itu penuh dengan rasa bersalah dan ketidakpercayaan diri. Karena sifatnya itu pada suatu waktu ia hanya akan diam sepanjang hari, kemudian di hari lainnya ia bisa cerewet minta ampun. Tapi, Na kadang tidak sadar, ia punya banyak kelebihan dalam dirinya, ia tidak mudah menyerah, kalau ia bilang ia tidak pandai berbicara, coba kau dengar sekali ia menjelaskan sesuatu, aku bisa mendengar suara gadis itu sepanjang hari.

Seorang pemuda menghampiri meja, Na. Ia menepuk bahu gadis itu. Na tersenyum saat pemuda itu menyapanya, senyum yang sudah jarang aku lihat saat aku dan Na sama-sama lagi tidak berupaya membuat hubungan kami berjalan. Na pergi menjauh, dan aku saat itu sudah terlalu letih untuk mengejar. Na adalah cuaca yang tidak menentu, dan aku adalah manusia yang harus memahaminya. Mereka berbincang sebentar sampai akhirnya si pemuda pamit, tatapan gadis itu kembali kosong.

"Za, lo gila ya. Tuh cewek di sana, ga kemana- mana dan lo masih aja ngumpet di sini? Sok-sok jadi pemerhati jarak jauh lo?" Gana muncul di ambang pintu sambil menyilangkan kedua tangan di dadanya. "Lo nggak mau memperbaiki semuanya, Za?"

Aku menghela napas berat memandang Gana di ambang pintu. "Gue selama ini cuma buat dia sakit, harus apa lagi gue Gan? Dia yang pergi, dia yang mau semua ini berhenti. Dia yang bilang kalau mengakhiri sesuatu harus baik-baik, dia sendiri yang mengakhirnya dengan cara yang nggak baik-baik aja. Harus gue tanya alasannya, Gan? Nggak ada jaminan dia mau ngejawab kalaupun gue tanya."

"Harus, Za. Biar lo tau jalan lo ke mana. Lo nggak mau apa pertanyaan-pertanyaan lo terjawab?"

Aku terdiam sebentar, memandang gadis itu kembali. Ia menundukkan kepalanya di atas meja. Terdiam cukup lama. Entah ia tertidur atau hanya ingin mengistirahatkan pikirannya seperti yang biasa ia lakukan. Aku bangkit dari duduk, menghampiri Gana di ambang pintu lalu menepuk bahunya.

"Good luck, Za. Gue tau lo cengeng kata nyokap lo, jangan sampe nangis."

"Sialan."

Dan kemudian langkah kakiku tiba di meja bernomor delapan itu, duduk di hadapan seorang gadis yang ingin sekali aku rengkuh kemudian berkata padanya kalau semua baik-baik saja dan perasaanku pun masih sama, tidak pernah beralih ke sesiapa.

Dalam diam aku memandangnya lamat-lamat, dalam jarak sedekat ini aku sadar bahwa aku sangat merindukan gadis ini. Hilangnya gadis itu secara tiba-tiba, saat itu membuatku kacau karena aku benar-benar tidak bisa memahami cuaca milik Na. Pikiran Na terlalu rumit dan aku yang kemudian memutuskan untuk tidak lagi ingin membuat gadis itu menangis, dengan cara berhenti mengejarnya.

"Na, kenapa?" Pertanyaan itu tiba-tiba saja terlontar dari mulutku. Sadar gadis itu bergeming, aku kembali memanggil namanya pelan. Nama yang selalu kuulang karena aku terlalu suka memanggil Namira dengan panggilan Na.

REWINDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang