2

30 2 0
                                    

"Belajar berjalan untuk tersungkur"

Balita mungil berusaha mengangkat bokongnya dari lantai. Berpegang kuat pada dipan kasur yang sudah reot sambil mengejan. Kedua kaki kecilnya bergetar, alisnya menyatu, keningnya berkerut.

Perlahan lutut itu menegak dan untuk kesekian kalinya dia memberanikan diri untuk melepas pegangannya. Bola mata itu membesar, berbinar, mengalirkan energi yang memberinya dorongan untuk nekat.

Berdirilah Ia di atas kedua telapak kakinya sendiri. Kaki kanannya mulai digerakkan ke depan. Langkah pertamanya pun terjadi, disambut dengan huyungan kedepan dan berakhir dengan pendaratan wajah  di atas obat nyamuk bakar spiral.

...

"Kenapa tiba-tiba kamu mau urus Viza lagi?"

"Ya..., karena saya ibunya."

"Jadi lima tahun terakhir ini kamu bukan ibunya?"

"Buk, saya kan cuma titipkan dia ke Ibuk. Ibuk juga tau kan alasannya apa!"

Rina mulai gemas menghadapi ibunya sendiri. Dia tidak berencana menghabiskan waktu lebih lama lagi di gubuk itu.

"Sudahlah Buk, Viza juga senang di rumah saya, main sama kakak dan adiknya. Saya mau ambil baju dan buku-bukunya saja lalu pergi."

Mbah Yat menghela napas dan menatap lesu. "Tunggu disini, biar Ibuk ambilkan," lalu masuk ke dalam. Selang lima menit, Mbah Yat sudah kembali dengan satu kantong plastik hitam berukuran sedang dan satu kardus berlambang mie instan. "Buku-bukunya Ibuk tata disini semua, ini bajunya."

Rina mengernyit memungut kantong plastik itu lalu membukanya. "Cuma ini baju dia?" Ekspresi sinis di wajahnya seketika luntur saat melihat reaksi datar Mbah Yat. Sedikit banyak dia sadar bahwa kebutuhan primer V adalah mutlak tanggung jawabnya. "Ya sudah, biar saya belikan baju baru saja buat dia, yang ini biar disini, barangkali nanti dia kangen tidur di gubuk ini, jadi tidak usah bawa baju dari sana." Rina mengusung kardus itu lalu pergi.

...

V berdiri di depan pintu kamar yang terbuka.  Kecanggungannya tergambar jelas di langkah kaki. Terpana dia memandang sebuah kasur di sudut kamar. Rina dan Helen mendampingi V di belakangnya.

"Itu kan kasur bawah aku, Mah" kata Helen, bingung.

"Kasur bawahnya buat kak Viza aja ya, kan kamu pakai yang atasnya aja" jelas Rina, merayu.

Helen tidak keberatan, tidak juga merelakan. Dia menatap V, menanti reaksinya.

"Aku bobok disini, Buk?"

Rina mengangguk cepat. "Ibuk nggak ada uang buat beli kasur baru, pake kasur bekas aja, masih bagus". Rina heran melihat tatapan kosong V. "Kenapa? Kamu nggak suka pakai kasur bekas?" ucapnya sinis.

V menggeleng pelan. "Disini terang. Rumah Embah lampunya kuning."

Saraf yang tegang di wajah Rina seketika mengendur dan mulai memerah. Sebuh tamparan mendarat di hati kecilnya.

"Mah, kok Mamah nggak punya uang? Kan hari ini kita mau beli Hoverboard yang tiga juta, Mamah udah janji lho."

Pandangan polos tanpa prasangka di mata V semakin menyakiti hati Rina. Helen terus memaksanya untuk mengakui bahwa dia lebih rela membuang uangnya untuk membeli mainan Helen ketimbang kebutuhan dasar V. Rina pun menggandeng Helen yang masih merengek-rengek menagih janji yang memang akan ditepati. Hanya saja sulit untuk mengungkapkan itu di hadapan V.

V masuk ke kamar barunya. Senyumnya perlahan mengembang menjadi sebuah tawa tanpa suara. Berjingkat dia menuju pintu kamar untuk memastikan tidak ada orang di sekitarnya. Perlahan V menutup pintunya seperti maling, begitu pelan sampai tidak menimbulkan suara sedikitpun. Dia ingin mewujudkan cita-citanya yang belum tercapai, melonjak-lonjak di atas kasur yang memantul.

" Viza!"

Teriakan ibunya menghentikan kebahagiaan sesaat yang sedang dia nikmati. Bergegas V berlari menghampiri ibunya. Nampak jelas dimatanya bahwa ibu dan adiknya sudah siap meninggalkan rumah. 

"Kamu jaga rumah ya, Ibu sama Helen pergi sebentar," disambut dengan anggukan oleh V.

"Ayo Mah, buruan!" Helen menarik-narik lengan Rina lalu berlari menuju taksi online yang sudah siap di depan gerbang rumah.

Rina melangkah meninggalkan V yang terus memperhatikan mereka memasuki mobil. Pergerakan Rina terhenti akibat sebuah pemikiran melintas di kepalanya. Dia turun dari mobil sambil merogoh tasnya untuk mendapatkan kunci rumah. "Kamu ikut! masuk mobil, duduk di depan!" lalu menutup pintu rumah dan menguncinya.

V bingung harus berbuat apa untuk mengalihkan perhatian Rina dari pintu. Ingin rasanya dia bilang ke ibunya kalau dia belum beralas kaki, namun bibir mungil itu tak mampu berkata-kata. Di sudut teras ada sepasang sandal jepit lusuh yang ukurannya tiga angka lebih besar dari  kakinya. Tanpa pikir panjang, V menggunakan sandal itu dan segera berlari ke mobil, melaksanakan perintah Rina.

Nasib sandal itu berakhir nahas di tong sampah lobby utama mall yang  mereka kunjungi. Ditambah dengan omelan dan cacian yang sulit disaring di telinga V. Kaki telanjangnya mengikuti langkah ibu dan adiknya sambil tertunduk malu. Rina melangkah lebih cepat karena geram. Genggaman tangannya ke Helen juga mengeras sampai akhirnya Helen memilih untuk jalan sendiri.

Setelah berhasil mendapatkan hoverboard, Helen merengek meminta kartu yang akan membawanya ke suasana hutan digital bertabur lampu warna-warni. Rina pun memberikan kartu itu lalu meninggalkan Helen sendiri.

"Mulai sekarang, kamu belajar jalan pake sepatu tinggi! Minggu depan kamu ikut kelas modelling Tante Sarah" ucap Rina sembari memilah-milah high heels . Dari sekian banyak kata yang Rina ucap, hanya kalimat awal itu yang terdengar oleh V, sisanya samar. V terlalu bahagia mengetahui dia akan mendapat pakaian baru dan tidak hanya satu. 

Bersama Embah, ritual belanja hanya bisa dilakukan di pasar tradisional. Sekedar menambah koleksi kaus kutang dan celana dalam yang mulai sempit atau malah sudah terlalu longgar. Saat Embah ada rejeki lebih, barulah V mendapat jatah satu potong pakaian. Ketika hari itu datang, V akan sangat berbahagia mengenakan pakaian barunya dengan rumus CKP, cuci-kering-pakai.

Kakinya sudah tidak telanjang lagi. Pakaian alakadarnya itu sudah berganti balutan kaus dan jeans yang masih harum pabrik tekstil. Di tangannya terjinjing beberapa paperbag berisi barang-barang baru yang dapat diklaim sebagai miliknya. Baju berbagai model, celana & rok dari yang panjang sampai yang pendek beragam warna, berbagai aksesoris berupa perhiasan imitasi, jam tangan, pernak-pernik rambut, topi, sabuk, termasuk peralatan sekolahnya, dan masih banyak lagi. Semua itu Rina belikan sekaligus dengan tujuan agar tidak perlu ada hari yang dia sisihkan bersama V untuk sekedar berbelanja.

***

"Katanya Haviza daftar sekolah di SMA kita ya?"

"Sumpah lo?"

"Haviza siapa sih?"

"Ish, yang model itu lho beb! Masa lo gatau sih?"

"Model ngapain sekolah disini deh?"

"Kerjain Ci! Lo kan anak OSIS, sikat!"

"Hmh, abis dia!" 



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 15, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Where's My MindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang