"Alya, kamu udah siap? Ayo buruan berangkat!" seru bunda dari dalam mobil. Aku segera keluar membawa skateboard.
Aku Olivia Malyanaliza, biasa dipanggil Alya. Umurku 16 tahun. Hobiku dance, membaca komik, dan bertengkar dengan kakakku. Tahun ini ayahku mengajukan perpindahan ke Yogyakarta agar ayahku tak terlalu jauh untuk menuju ke tempat kerjanya. Aku hidup dikeluarga kecil bersama ayah, bunda, dan kakak laki lakiku yang sangat menyebalkan. Dan pagi inilah kami melakukan perjalanan ke rumah baru kami.
"Ya ampun! Kamu itu perempuan, kok baju kamu kayak begitu? Bunda kan udah bilang berulang kali!" Yah, lagi lagi bunda mengomentari penampilanku. Maksudku, apa yang salah? Aku hanya memakai kaos lengan pendek, celana pendek, hem yang kuikat di pinggang, topi hitam dan sepatu ket putih. Lagipula, aku masih terlihat seperti perempuan dan aku suka itu.
"Bunda, aku ini Alya. Bukan Alya kalo aku itu feminim," jelasku dengan pandangan sayu lalu masuk ke dalam mobil. Sementara itu bunda terlihat menghela nafas panjang, sedangkan ayah hanya tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala dengan pandangannya padaku dan bunda.
Segera setelah aku menaruh skateboard di bagasi, aku masuk ke dalam mobil. Kakak laki lakiku sudah duduk di dalam dengan telinganya yang dia sumbat dengan earphones. Tiba tiba, sepercik ide licik muncul di dalam benakku.
"Kakak goblok, o'on, belum mandi, pacarnya jelek, badannya bau, budek."
"Alya! Kamu ngapain sih? Nggak boleh gitu, dia kan juga abang kamu," kata ayahku dengan pandangan ke arah jalan.
"Nggak apa apalah, yah! Lagian kakak juga nggak mungkin denger. Liat tuh telinganya di sumbat sama golok. Ya kan kak?" Aku menengok ke arah kakak laki lakiku itu meskipun aku tahu dia tidak akan mendengarnya. Tapi, dugaanku yang sok tahu itu ternyata salah. Dia berbalik menatapku lalu tersenyum kesal sambil mengarahkan layar smartphone miliknya ke arahku.
"Lagunya belum nyala lho bro."
Bisa kulihat daftar musik dengan tanda play di tengahnyanya yang itu artinya lagu itu belum diputar. Sedetik kemudian aku terdiam dengan mulut ternganga.
Mampus gue.
"Eh, Kak Panji ganteng deh, wangi lagi. Hari ini mandinya tiga kali ya kak?" ucapku sambil tersenyum. Aku sudah tahu jika Kak Panji bisa menebak kalau senyumanku itu terpaksa.
"Apa apaan lo? Tadi ngehina kalo gue bau, belum mandi, sekarang malah bilang gue mandi tiga kali."
Aku langsung mengalihkan pandangan ke arah ayah sambil berlagak kepo kepo-an. "Yah, ehmmm... , tadi kata ayah rumah baru kita dimana? Kompleks gitu ya?"
"Lu jangan coba coba ganti topik deh!" Kak Panji menarik rambutku lalu mengunci leherku dengan lengannya sambil menjitak kepalaku berulang kali.
"Akhhh... , sakit o'on!"
"Heh, jangan ribut gitu dong! Ini lagi di mobil, bentar lagi nyampek lho," ujar ayah sambil mengemudi.
"Apa yah?" Aku langsung melepaskan lengan Kak Panji lalu duduk tegak sambil tersenyum.
"Yaelah, gitu aja nggak denger. Padahal tadi bilang kuping gue disumbat ama golok, telinga lo tuh kesumbat teng baja. Dasar budek!"
"Lo tu yang budek!"
"Biasa aja dong nggak usah nge-gass!"
"Gue nggak nge-gass, lo tuh yang nge-gass!" Aku memelototinya dengan suara yang mengeras.
"Loh, itu kalo nggak nge-gass apa terusan? Nada gue woles lho ini."
"BO-DO A-MAT!!!" Kualihkan pandanganku ke arah luar jendela.
Yah, seperti inilah keseharianku dengan kakak yang sangat and super duper menyebalkan. Saat di meja makan, menonton TV, dan di tempat dimana ada dia. Kami selalu beradu mulut dan tidak akan berhenti sampai salah satu dari kami ada yang kehabisan kata kata. Sering kali tetangga protes karena suara kami yang sudah diluar garis merah.
Mobil kami mulai berhenti di depan rumah sederhana bertingkat dua dengan taman yang luas. Tidak terlalu mewah seperti rumahku yang dulu, tapi rumah ini lebih baik dari pada rumahku yang dulu.
Suara mesin yang tak mau berjalan, mobil kami mogok. Padahal sudah di depan mata.
"Alya! Panji! Dorongin mobil dong, nggak mau jalan nih soalnya."
Apa daya kami, mungkin memang ini ujian sebelum masuk rumah baru, semoga ujian ini membawa berkah. Kami keluar lalu menuju ke belakang mobil. Tanganku dan Kak Panji sudah mengambil ancang ancang mendorong.
"Ayo dorong, Ya!" teriak Kak Panji.
Entah ini benar atau hanya perasaanku saja, tapi mobil ini terasa sangat berat untuk di dorong. Sampai sampai aku harus mengeluarkan tenagaku besar besar.
"Terus! Dorong terus! Sedikit lagi! Yang kuat!" seru Kak Panji.
Saat di depan garasi, aku melepaskan dorongan lalu melihat Kak Panji, telunjuk kirinya memegang mobil dan tangan kanannya ia kantongi sambil melihat lihat sekeliling rumah.
"Ohhh, lo tadi nggak dorong mobil kan? Ngomong doang ya lo, tega banget sih jadi kakak!"
"Loh, Alya baru nyadar ternyata. Syukurlah kalo gitu." Kak Panji menjulurkan lidahnya lalu berlari masuk ke rumah. Aku tak kuasa mengejarnya karena tenagaku sudah habis untuk mendorong mobil tadi. Kulihat sekeliling rumah. Halamannya ternyata tak terlalu luas, meski begitu mereka tampak hijau sehingga sejuk dipandang. Tak lama pandanganku tertuju pada rumah di samping. Di jendelanya terlihat seorang pria berkacamata tengah memantau kehadiran kami. Mata kami bertemu, dia melambai kecil padaku lalu tersenyum.
Pria berkacamata.
Guk!!! Tiba tiba seekor anjing berlari melintas sambil menggonggong. Spontan aku tersentak karena kaget.
Buset, itu anjing dateng dari mana sih? Ngagetin aja, nyari mati aja sama gue.
Kulihat pria berkacamata di depan jendela itu sudah tidak di sana, dia menghilang. Aku tak ambil pusing, lalu masuk ke rumah untuk membereskan barang barangku.
Dia bukan hantu kan? Kok gue tiba tiba merinding ya? Mampus gue kalo ternyata punya tetangga hantu T_T
***
Story baru coy! Moga pada suka ya!!
( 0 0)
<3Jangan lupa like dan comennya, aku tunggu selalu :-)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomboy Vs Culun
Teen FictionArya Baskara. Dia temenku. Padahal kami baru bertemu dihari perpindahanku. Kami berada di sekolah yang sama tapi berbeda kelas. Namun, karena ulahku suatu tragedi besar menjadi bom atom bagiku sendiri, bom yang dalam sekejam menyeretku dalam gerbang...