Lisa mematut dirinya di depan cermin. Dia sudah cantik—kata uminya. Penampilannya jauh lebih rapi dan anggun ketika uminya memberi tahu bahwa akan ada lagi calon peminang yang datang.
Tanpa sadar, ia menghela napas panjang. Perempuan yang telah berumur dua puluh tiga tahun itu bukannya tidak suka kalau ada calon peminang yang datang ke rumah. Toh, usianya sudah matang untuk menikah.
Hanya saja, yang membuat Lisa malas adalah, si calon peminang itu pasti berpikir dua kali untuk melamarnya setelah mereka melihat adik perempuan Lisa yang hanya bertaut tiga tahun darinya. Mereka dengan jujur lebih memilih untuk meminang si adik, dan rela menunggunya menyelesaikan pendidikannya di salah satu kampus ternama di luar kota.
Memang sih, Lisa juga tidak memaksakan diri harus menikah. Tapi keadaan yang seperti itulah yang kini membuatnya minder saat mendengar ada lagi calon peminang. Sudah dua kali, loh, kejadiannya begitu. Bagaimana dia tidak insecure, ketika ada laki-laki datang ke rumah dengan embel-embel tujuan ingin melamar, namun ujung-ujungnya si laki-laki bakalan memilih Alin, adik perempuannya.
Tapi Lisa juga tidak akan menyalahkan Alin. Dari sudut pandang Lisa sendiri, Alin memiliki lebih banyak kelebihan daripada dirinya.
Menurutnya, Alin itu cantik, ramah, dan tidak memilih-milih dalam berteman. Dalam artian, tidak peduli laki-laki atau perempuan, selama ia suka, Alin akan berteman dengannya.
Berbeda dengan Lisa, yang memiliki sangat sedikit teman. Perempuan itu tidak mudah bergaul dengan orang seusianya. Dia lebih suka bergaul dengan anak kecil, atau orang yang lebih tua sekalian.
Selain itu, Alin juga termasuk orang yang santai. Tidak seperti Lisa yang lumayan sensitif.
Dan kalau dalam lingkungan sekolah dulu, Alin jelas lebih tenar daripada dirinya. Kalau Alin tipe perempuan populer, maka Lisa adalah tipe orang yang ada atau tidak ada, tidak akan mengubah keadaan.
Itulah beberapa nilai plus yang dimiliki Alin—menurutnya. Lisa tidak heran kalau laki-laki yang tadinya ingin melamarnya, begitu melihat Alin akan langsung berubah pikiran.
Pintu kamarnya kembali terbuka, dan Lisa menatap pantulan uminya di cermin yang membawa kerudung untuk melengkapi penampilannya. Dengan senyum tertahan, ibundanya itu menghampiri Lisa yang masih duduk di depan cermin, tidak bergerak kemanapun sesuai perintahnya sebelum beliau keluar—yang ternyata mengambilkan kerudung untuk Lisa.
"Udahlah, Mi. Nggak usah repot-repot dibikin macem-macem," ujarnya pada uminya. Namun, uminya itu tidak menjawab dan dengan telaten memasangkan kerudung yang ia bawa tadi pada Lisa.
Wanita paruh baya itu tampak fokus saat menarik kain kerudung kesana-sini seraya memakaikan jarum pentul agar tidak terlepas. Sudah pasti, uminya itu tidak akan memercayakan hal berpakaian pada Lisa. Karena kalau Lisa sendiri yang mengerjakannya, dia hanya akan memakai gayanya yang biasa.
Beberapa menit kemudian, penampilan Lisa sudah lengkap dengan hijab biru dongker yang barusan dipakaikan uminya. "Nah. Udah," ucap uminya, sambil memperbaiki sedikit lipstik yang agak belepotan di sudut bibir anak perempuannya itu.
"Mi," suaranya pelan saat ia memanggil ibu tersayangnya. Kegelisahan terlihat di wajahnya.
"Apa, Nak?"
Lisa menggigit bibir bawahnya, sedikit ragu. "Gimana kalo orangnya nungguin Alin lagi?" perempuan itu berusaha mengingatkan lagi uminya tentang kejadian terakhir. "mending Lisa nggak usah ikut keluar aja, deh. Alin aja, ya?" Lisa memasang tampang memelasnya.
Uminya itu tersenyum dan menyentuh pipi Lisa dengan lembut. "Jodoh itu nggak ada yang tau, Lisa. Kalo misalnya yang ini mau sama Alin juga, ya berarti namanya bukan jodohmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh. (One Shoot Story)✓
Short StoryAlisa Shafakila Nurrahmah, perempuan yang berusia 23 tahun, lagi-lagi kedatangan calon pelamar untuk yang ketiga kalinya. Awalnya Lisa tidak mau berharap banyak, karena dua calon pelamar sebelumnya justru lebih memilih untuk menunggu sang adik meny...