True story
Mukhamad Amin Gina Utomo Diah Dinda Di dosbing paling kejam
Karya : Habsyi Bin AlisyahSapaan si kunti
Di tengah malam yang semakin larut, aku masih sibuk memainkan jempol di layar hp,
"Dek, malam mulai turun. Enaknya bahas apa yah?". Aku yang mulai kehabisan bahan bercerita, meminta bantuannya memberi ide.
" Mungkin kalau bahas setan gitu seru kali yah bang?" jawabnya.
Aku yang memang besik senang sama hal-hal gaib dengen segera menyambut ajakannya
" Bagaimana kalau abang menceritakan pengalaman abang tahun 2010, itu pertama kali abang melihat kuntilanak " sambutku bahagia.
"Ayo bang" jawabnya singkat.
"Gini ceritanya dek" sambil mulai menarikan jemari di atas layar handphone.
Sayup-sayup gema takbir merasuk kedalam gendang telinga tertiup angin
Allahu Akbar!... Allahu Akbar!... Allahu Akbar!..."Nila...! Kiki...! Ebit...!"
Satu persatu nama di panggil oleh seorang lelaki jangkung, mata merah dibawah pengaruh minuman keras yang di teguknya dari sore.
"Bangun cepat, antar papa ke kuburan adikmu!" pintanya dengan nada yang mengeras.
" iwghk aku takut, pa." jawab mereka dengan nada yang memelan karena takut akan di marahi.
Aku yang sedari tadi mendengarkan keributan di dalam rumah tetap melanjutkan kegiatanku, memasak ketupat di dapur kayu yang sengaja aku buat untuk memasak air.
"Bhob! Sini!."
aku menambahkan kayu, sengaja biar nyala api tetap terjaga lalu segera menuju ke arah suara yang memanggilku.
"Iya, pa?" mendekati papaku yang berbaring di depan tv.
"Pakai bajumu, kita ke kuburan" teriaknya lagi tanpa melihatku.
aku yang sangat takut menolak permintaan papa segera menuju kamar. Baju panjang berlapis jacket buluku, serasi dengan jeans panjang berwarna biru dongker.
"Ayo pa, kita berangkat. Aku sydah siap" ajakku dengan nada yang sengaja dibuat agak keras, biar terdengar oleh papa yang terbaring dilantai.
Papahku berdiri dari duduknya, menarik baju yang ada di sampingnya lalu kami segera berangkat melalui jalan dibelakanjalannya.
Kami berjalan beriringan dengan papa menjadi penunjuk arah, hanya bermodalkan cahaya rembulan kami menyusuri jalan setapak ditengah kebun jambu mete. Papa lalu berkisah kenapa dia melakukan hal ini.
"Papamu ini punya nazar, sebelum lebaran papa harus mengunjungi kuburan adikmu" tanpa mengurangi kecepatan jalannya.
Papa tiba di kampung sore tadi sekitar jam 5, belum juga papa melepas tas yang sedari tadi menghiasi punggung teman papa mengajak untuk menikmati kameko ( minuman keras khas sulawesi ), mungkin di saat sedang menikmati minuman kerasnya dia mengingat nazar yang pernah di ucapkan sewaktu di Jakarta.
Pantulan cahaya rembulan tepat diatas nisan yang berdiri kokoh menyadarkanku ternyata kita sudah akan sampai dikuburan. Sesampai di kuburan, aku langsung mengambil posisi kiri sisi kuburan dan bersandar di dekat nisan adikku dan papaku mengambil di posisi di sebelah kanan.
Kita hanya terdiam, aku yang mulai menikmati suasana kebun yang tanpa penerangan lampu sama sekali, hanya cahaya rembulan menyelip masuk disela daun jambu mete.
" guk!!!guk!!!guk!!!" anjing menggonggong dengan garang.
Aku terkejut, ternyata 3 ekor anjing tepat di belakangku siap menerkam, kalau - kalau aku bergeser dari tempat duduk. Papa tetap tenang, menutup mata dan menikmati sandarannya.
"Jangan takut, dia hanya menggertak" mengingatkan ku tanpa membuka matanya.
Tiba-tiba saja anjing itu lari ketakutan, papaku segera membuka mata dan bertanya.
"Bhob, kamu hafal ayat kursi?" memperbaiki posisi duduknya.
" iya" jawabku singkat.
"Kamu baca itu terus sampai papa suruh hentikan" dengan nada santai seperti tidak terjadi apa-apa.
Tanpa berpikir panjang ayat kursi mulai bergema di hatiku, papaku melanjutkan baringnya dan menutup mata. Aku yang dari tadi kebingungan sebenarnya apa yang terjadi mengelilingkan mata mencari sesuatu yang aku pun tidak tahu apa yang kucari. Kiri, kanan, muka, belakang terus ku gerakkan kepalaku mencari sesuatu, ku pandang lekat rumpun bambu yang berjejer di pinggir kuburan tapi tak kutemukan apapun. Ku pindahkan pandanganku ke atas, betapa terkejutnya aku seorang wanita bermuka hancur, tak dapat ku ungkapkan dengan kata. Berbaju putih, rambutnya lurus terurai sepinggang bergelantungan di pohon cendana melihat dari ciri-cirinya aku langsung mengambil kesimpulan kalau itu kabuna hutan (kuntilanak) yang terkenal kejam semakin terlihat menakutkan dikarenakan sinar rembulan yang menyirami seluruh tubuhnya.
Sungguh suasana ini membuatku ingin berlari segera meninggalkan tempat ini, tapi aku lebih takut lagi kalau papa tersadar dan tidak menemukanku disini, berbekal doa yang sedari tadi ku lantunkan walau mungkin sudah tidak karuan di karenakan rasa takut yang berlebih ku beranikan diri untuk tetap di posisiku.
Entah doa apa yang baca papa, tetapi itu berhasil mengusir kabuna itu. Perlahan kabuna itu menjauh meninggalkan kami tanpa pamit, mataku terus mengikutinya hingga dia menghilang di dalam hutan.
Papaku membuka mata lalu mengajakku untuk pulang, tanpa aba-aba aku segera berdiri dari tempat dudukku, meninggalkan kuburan. Di sela-sela perjalanan menyusuri setapak yang kita lalui saat datang tadi, tiba-tiba papaku berkata.
"Sembunyi bhob" sambil menunduk dan meraba-raba tanah mencari batu.
Aku yang bingung apa yang terjadi, juga menunduk melihat ke depan. Tetapi tak aku tak melihat apapun. Papaku melempar batu yang ada di tangannya, ke sisi kiri dan kanan setapak.
"Sebenarnya apa yang dilakukan papaku?" batinku dalam hati.
Tidak lama waktu berselang setelah papaku melemparkan batu ke-3 aku mendengar suara yang semakin mendekat.
Dari balik pohon asam yang sudah tua dan menutupi setapak, muncul mama dan 4 adikku.
"Apa yang kau lakukan Al?" teriak mamaku yang perlahan semakin dekat dengan tempat persembunyian kita.
Papaku lalu berdiri, melanjutkan perjalanan tanpa berkata sekatapun dan aku membuntutinya.
Di perjalanan pulang aku mulai berkisah kepada mama, apa yang aku lihat saat duduk di kuburan. Papa yang sedari tadi diam mulai membenarkan semua pernyataanku.
"Ternyata papa tahu semua, padahal dia tertidur" aku membatin sambil memperhatikan jalan yang aku pijak.
KAMU SEDANG MEMBACA
sapaan si kunti
Horrormenceritakan tentang pertama kali penulis bertemu dengan kuntilanak,