M a t a h a r i sudah mulai membakar kulit putih seseorang yang sudah sedikit banyak mengeluarkan bulir-bulir keringat. Mata bulatnya ia tutup dengan tangan, sekarang malah menyesal karena tidak menggunakan kaca mata.
Tangan lainnya tengah sibuk menghubungi kontak yang diberi nama "Mas Sableng". Sudah empat kali panggilannya tidak diangkat, ia menahan kesal. Jangan-jangan sepupunya itu lupa kalau hari ini dirinya pulang atau yang lebih parah, orang itu masih molor.
Kakinya sudah pegal berdiri di pelataran stasiun. Matanya meneliti jejeran tempat duduk yang tak jauh dari ia berdiri, berharap ada kursi kosong, namun sayang sekali keberuntungan belum berpihak padanya. Beberapa kali didatangi oleh kang ojek dan supir taksi, namun ia menolak karena masih percaya dengan sepupunya yang akan datang, walaupun orangnya agak sableng.
Pekan awal libur panjang membuat stasiun lebih padat dari biasanya. Dari ia turun dari kereta, tubuhnya langsung terhimpit oleh tubuh-tubuh yang lain. Sudah setengah jam ia menahan sesak. Apalagi sekarang ia sedang menggendong tas ransel yang lumayan besar dan membawa koper yang ia letakkan di sisi tubuh. Pandangan sesekali melirik ke benda itu, berpikir untuk duduk di atas koper, tapi sayang itu koper tua.
"DIK!"
Jarinya yang hendak menyentuh ikon telepon terhenti ketika matanya menangkap sosok yang ia tunggu tengah berlari dari parkiran ke arahnya. Bahkan suara nafasnya terdengar oleh gadis itu.
"Huh huh, Dik Lisa, maaf. Mas telat."
Tangannya bertumpu pada lutut, berusaha menetralkan napasnya yang tidak teratur. Gadis yang dipanggil Lisa itu melihat masnya terengah-engah hanya bisa meringis, ia lalu memberikan botol air miliknya yang tersisa setengah.
"Pelan-pelan minumnya." Lisa mengingatkan, ketika laki-laki yang menyebut dirinya Mas mulai meminum dengan rakus.
"Hmm, maaf ya tadi Mas ketiduran. Dyo nggak bangunin Mas sih." adunya.
Lisa menerima botol air yang sudah tandas lalu memasukkan kembali ke dalam tasnya, hanya bisa menghela napas. Ia sudah tidak ada tenaga lagi untuk mengomel.
"Iya, ok, ayo Mas Nino kita pulang."
Nino yang melihat wajah lelah adik sepupunya tersenyum tipis, tangannya mengusak lembut kepala Lisa. Setelah itu ia langsung mengambil alih ransel dan koper. Berjaga-jaga jika adiknya yang satu ini hilang kesabaran dan melempar benda berat itu ke wajahnya yang tampan.
Setelah itu, mereka berjalan menghampiri kendaraan dan keluar dari stasiun menuju rumah kediaman keluarga Brianto.
***
"Aakhh, akhirnya selesai!"Dyo menatap keseluruhan ruangan mbaknya ini dengan bangga bercampur lelah. Setiap sudut sepertinya sudah bersih, seprai dan bantal sudah ia ganti, Dyo bahkan membersihkan kulkas mini dan sempat menjemur bantal dan guling di balkon. Untung saja camilan yang kadaluwarsa hanya beberapa saja. Pendingin ruangan pun sudah ia nyalakan, membuat si bungsu itu sangat ingin merebahkan diri ke kasur yang sudah ia bersihkan itu.
"Kok jadi ngantuk?" matanya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 10:27.
Sekitar satu jam lagi mbaknya akan tiba di rumah. Ia kembali memusatkan perhatiaannya ke kasur empuk berseprai abu-abu itu. Menimang-nimang untuk berbaring sejenak seraya menunggu si empunya datang.
Lantas karena tidak tahan, Dyo menjatuhkan tubuh dan tenggelam dalam dinginnya permukaan kasur. Tidak menunggu waktu lama sampai pandangannya menghitam, Dyo pun terlelap.
***Sementara itu di rumah yang berbeda, terdapat remaja laki-laki tengah berbicara dengan telepon rumah yang khusus pemiliknya berikan untuk berkomunikasi dengan penghuni dari berbagai kamar ini.
"Baik, Ummi. Noa setelah ini cek Dyo di kamar Mbak Lisa."
"...."
"Sama-sama, Ummi dan Abi hati-hati di sana."
Pemuda yang menyebut dirinya Noa itu mengembalikan gagang telepon pada tempatnya dan menoleh pada pemuda lain yang baru saja menghampirinya dengan membawa cangkir.
"Ummi sama Abi kenapa?" pemuda berkaos putih itu duduk di sebelah Noa seraya menyeruput air es.
"Nggak kenapa-kenapa. Kata Ummi, Mbak Lisa pulang hari ini dan minta tolong cek Dyo. Dia kebiasaan banget-"
"HAH! MBAK LISA PULANG HARI INI??" kepalanya langsung menoleh pada Noa, menuntut penjelasan atas apa yang baru saja pemuda berwajah kalem itu katakan.
Noa menutup matanya sejenak saat mendengar teriakan sosok di sebelahnya.
"Dam! Suara...." telinganya ia usap beberapa kali. Tahu sih suaranya bagus tapi jangan teriak juga di samping telinganya 'kan?
"SIAPA YANG PULANG HARI INI??"
"HAH, MBAK LISA PULANG??!"
Dua sosok pemilik suara yang tidak kalah mengejutkan berjalan menghampiri Noa dan Dama dengan tergesa-gesa. Noa menghela napasnya lelah, ia sudah menduga beberapa saat setelah mendapat telepon dari Umi akan terjadi keributan dalam rumah ini.
Belum menjawab pertanyaan dari ketiga temannya, datanglah penghuni lain dari arah dapur dengan membawa kucing jenis Scottish Fold di pundak.
"Sssttt! Tuan Muda lagi tidur jadi kebangun anjir. Ada apaan sih?"
Nah, ini baru empat orang yang muncul, bagaimana dengan penghuni yang lain?
"Sini, Leo ikut." tangan Noa memindahkan kucing gendut itu ke dalam gendongannya.
Noa kemudian beranjak hendak menuju kediaman Abi, namun satu tangan ditahan oleh anak laki-laki pembawa kucing itu.
"Jawab dulu, heh!"
Noa menatap keempat temannya, Iyon yang matanya kini sudah seperti akan keluar. Raehan dan Sukma, yang ekspresinya tidak kalah menyebalkan dari Ion. Serta Dama yang sangat menunggu kepastian darinya.
"Iya, teman-teman. Mbak Lisa pulang hari ini," dengan paksa, Noa menyentak genggaman tangan Iyon, "Sekarang, Saya izin undur diri."
Sebelum ketiganya mengeluarkan suara, Noa dengan segera berjalan cepat keluar indekos.
"...."
Beberapa saat terjadi keheningan di ruang keluarga rumah ini. Sebelum salah satu dari keempat pemuda itu memecahnya dengan celutukan.
"Wow, Mas Bayu harus tau ini!" remaja yang memakai kaos bola itu lantas menuju lantai atas.
Dama menoleh ke arah berdirinya Raehan yang kini sudah berlari ke belakang, "GUE HARUS MANDI DULU, BYE!"
"PANTESAN BAU. PERASAAN TADI PAGI UDAH DIBUANG DEH SAMPAHNYA!" Iyon membalas teriakan Raehan yang kini sudah menutup kamar mandi dengan penuh semangat.
"Bang Yon, gue pinjam kamar mandinya ya!" Dama dengan cepat berlari ke lantai atas tanpa menunggu jawaban dari Iyon.
Iyon yang melihat kelakuan mereka hanya memasang wajah julid. Kini tersisa hanya dirinya seorang, tubuh ia tegakkan dan tangan dengan telaten merapikan rambut. Hidungnya dengan reflek mengendus-endus badan dan area ketiak. Tidak lupa mencium aroma mulutnya sendiri.
"Hm, wangi banget walaupun belum mandi BUAHAHAHA," tawanya melebar.
Setelah memastikan kondisinya oke, Iyon segera berjalan keluar indekos menuju rumah utama. Tidak sabar menyambut seseorang yang sudah lama tidak terlihat di rumah keluarga Brianto.
tbc.30-05-21
Gimana? Gimana?
Ada yang bisa nebak pemain baru yang muncul?
Fyi, mbak Lisa pulang mau solo~
KAMU SEDANG MEMBACA
HELLADAYS
FanfictionHELLADAYS (Lisa ft. SilverBoys) Saat orang tuanya meninggalkan ia untuk perjalanan bisnis, Khaisar Dyo Brianto mengira hidupnya akan sedikit bebas. Namun, kenyataan mbaknya yang galak itu pulang kampung membuat angannya melayang sia-sia. Jelas, boca...