Demi Tuhan, aku lebih memilih di maki maki oleh bang Ian daripada di diamkan seperti ini. Untuk beberapa saat aku berpikir untuk membuka suara terlebih dahulu.
Tapi sepertinya hal itu tidak mungkin.
Wajah yang biasanya memasang tampang jahil sekarang malah digantikan dengan muka semasam mangga yang aku makan kemarin.
Ekspresif sekali bukan? Dasar mahkluk alay.
Aku sangat memahami bang Ian. Secara kami dekat sejak kecil dan pernah "dekat".
Tunggu saja, sebentar lagi dia akan mengeluarkan kemarahan dan mengomel tidak jelas. Selalu seperti ini, menyebalkan.
"Kenapa diam? Sadar diri kalau salah?" Sarkasnya.
Akhirnya, aku selamat dari acara diam mendiamkan. Ayo, maki saja aku bang!
"Maaf Eca ninggalin abang tadi, eca gak maksud bikin abang kesel kok. Cuma niatnya becanda aja." Ujarku tanpa memandangnya. Jujur saja, aku tidak berani memandangnya sekarang, terlalu beresiko.
Kenapa dia malah tambah gila?! Mobil yang dikendarai tiba tiba melaju tanpa peduli jalanan yang lumayan ramai.
Maaf maaf saja, kalau dia niat mati bersamaku, aku tidak mau.
Kalau bisa aku mau hidup mati dan menikah dengan seorang pangeran dari inggris atau dari negara manapun. Lalu kita hidup bahagia, punya anak dan aku akhirnya menjadi ratu.
Tapi sepertinya impian itu harus ditunda dulu, aku harus bertindak sok takut agar dia memberhentikan mobil.
Sepertinya bang Ian tidak tau kalau aku suka membawa motor dengan kecepatan tinggi. Satu satunya rahasia yang aku simpan darinya selama ini.
Jadi ya, tentu saja aku terbiasa dengan kecepatan tinggi. Hehe.
"Bang! Berenti udah, Eca takut!"
Ckitttt
Sial, gak ngerem mendadak juga Suprapto!
Rasanya aku ingin menyuarakan pikiran ku barusan, tapi sepertinya harus mengalah dulu. Setelah menenangkan diri dari "surprise" yang bang Ian beri, aku memberanikan diri memandang wajahnya.
Double sial, rahangnya mengeras dan dia mencengkram erat setir di tangannya. Ntah tidak bisa melampiaskan marah atau malah menahan marah. Aku benar benar merasa takut sekarang.
Bercanda ku kelewatan mungkin? Pikirku.
"Lo tau masalahnya bukan bercanda, Reesa" dia mengusap muka, " Bukan itu masalahnya" Geramnya.
Dasar ceroboh, Apakah barusan aku menyuarakan pikiran aku? Tapi, Apa lagi selain itu? Dia ngira aku bohong kali ya?
Aku memiringkan kepalaku tanda heran, lalu membuka suara. "Eca gak bohong kok, Eca betulan ketemu dia disitu."
"Sejak kapan gue ngajarin lo untuk dekat dekat dan berduaan sama cowok? Lo mau jadi apa?" Ujarnya tajam.
Oh, bukan marah yang biasa ternyata. Marah yang ini. Rasanya hampir setahun aku tidak melihat dia marah marah seperti ini.
Seperti hiburan tapi mengerikan.
Aku memejamkan mata lalu menyandarkan diri mencoba terlihat santai dan tidak takut."Terus lo gak cowok? Lo kira populasi cowok di dunia ini cuma lo seorang?" ujarku santai.
"Tetap aja dia cowok! Lo tau gue gak suka liat lo dekat sama cowok, berduaan gitu. Emangnya wajar duduk berdua dengan alasan BELAJAR?" Jawabnya sambil menekankan kata belajar.
Perdebatan tanpa ujung, selalu seperti ini. Inilah alasan kita sebenarnya tidak pernah cocok.
Dia mencintai pikiran egonya dan aku membenci pikirannya. Salahkah aku?
Tanpa bisa menyembunyikan kekesalan yang memuncak sekarang, aku memberanikan untuk bicara sambil menatap matanya. "Lo tau ini gak ada ujungnya, ini gak pantas dan gak guna untuk dipermasalahkan."
"Gak pantas? Gak guna? Lo tau ini perjanjian kita dari dulu, Reesa!" Teriaknya sambil tetap menatap mataku.
Sialan, aku tidak suka diteriaki. Kenapa tidak menyelesaikan sesuatu dengan baik baik saja sih? Lagipula..
"Perjanjian itu udah lama gak berlaku! Lo tau kita gak ada hubungan lagi, bang!" Ujarku, air mata mulai menggenang. Aku benci membahas masa lalu, selalu.
Dia memukul setir dengan keras tanda ia tak terima dengan pernyataanku barusan atau sebenarnya dia tau bahwa itu benar dan kesal bahwa itu benar. "Tetap aja ada perasaan diantara kita Reesa, persetan dengan kesalahan kita di masa lalu" Geramnya.
Aku mendelik tidak setuju, kita? "Apa lo bilang? Kita? Lo yang selingkuh kok kesalahan kita? Gue gak suka bahas ini. Ini masa lalu, bang!"
"Lo sering dekat sama cowok!"
"Demi Tuhan, mereka itu sahabat sahabat gue bang! Lo juga tau itu sejak dulu!" Ujarku frustasi. Aku tidak mau berkelahi tentang masa lalu, tidak ada guna nya.
"Dan gara gara itu gue selingkuh! Lo gak pernah ngehargai gue sebagai cowok lo!"
Sekarang aku benar benar kesal, sangat. "Setidaknya gue main sama sahabat sahabat gue di depan lo. Dan lo selingkuh di belakang gue!"
Bang Ian menggeram tidak setuju, emangnya kapan dia setuju? Sebelum dia sempat bicara, aku keluar dari mobil.
Aku mencoba menetralkan perasaan yang mendesak ingin menamparnya sekarang. Tapi tidak bisa, aku terlalu kesal, terlalu...
"Tapi tetap aja lo yang salah, Res! Sadar!"
Muak, aku muak dengan perdebatan. Aku muak mengakui bahwa aku masih kesal tentang masalah ini.
"Reesa, masuk ke dalam mobil sekarang!" Teriak bang Ian tegas, tidak mau dibantah.
Persetan, aku sedang mau sendiri sekarang. "Gue pulang sendiri. Lo pergi aja" Balasku sambil jalan menjauh dari mobil.
Biasanya kalau di film, pemain utama cowok akan mengejar si pemain utama cewek lalu meminta maaf kan?
Sayangnya ini cerita cacat dari hidupku, Dia malah melajukan mobil dan pergi meninggalkan ku sendiri. Di tepi jalan.
Aku hanya tersenyum lalu tertawa hambar. Hidupku patut di tertawakan. Semenjak dia, aku tidak pernah jatuh cinta lagi.
Semenjak dia, aku takut untuk percaya dengan orang.
Semenjak dia, aku takut dengan laki laki.
Semenjak dia...
Air mataku terjatuh tanpa aku minta saat memikirkan perdebatan barusan. Rasanya bersama dia memang membahagiakan, sosok dia sebagai "teman" sekarangpun cukup membahagiakan.
Sesak rasanya, pikirku sambil berusaha menghapus air mata. Semenjak dia, aku berharap hanya ada dia kapanpun.
Hatiku tambah sakit, dia meninggalkanku sendirian disini.
Memangnya kapan seorang Ian yang sempurna benar benar peduli kepadaku yang bukan siapa siapa?
HAIII!!❤️ Maafkan baru sempat update sekarang. Banyak hal yang tydac terduga terjadi:") Salam sayang untuk kalian semwah!✨❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
About: - Her life -
RomanceTentang cerita seorang anak remaja yang harus berhadapan dengan hal yang selama ini dihindarinya, Jatuh hati dan mempercayai orang orang lain selain teman dekatnya. Bisakah orang disekitarnya "memperbaiki" atau malah "menghancurkan"?