Bab 7. Ujian Berat

106 35 56
                                    

"Kamu sehat Pras, kamu baik-baik saja, kan?"

"Ya, Ma. Pras sehat, Mama jangan khawatir ya, adik mana Ma? Pras kangen sudah lama enggak dengar suaranya."

"Adik ikut kegiatan pramuka, ada kemah di sekolahnya. Papa juga belum pulang kerja. Untungnya ada Bibi Asna di sini, jadi enggak begitu sepi rumahnya."

"Pras sudah enggak lama lagi pulangkan, Ma?" tanya Pras, nada bicaranya serak, air matanya mengalir. Namun diusahakan tidak sampai terdengar melalui ponselnya. Sejak berada di Medan, Pras sengaja menghubungi Ibunya tanpa vidio call, alasannya cukup jelas, pemuda itu tidak ingin sedih dan begitu pula sebaliknya. Ia tahu Ibunya tidak kuasa menahan rindu. Di sisi lain tidak kuat melihat dirinya menderita atau tersiksa paling tidak hanya lewat suara mereka dapat melepas rasa rindu.

"Mama kira sampai masa cuti kuliah kamu selesai, kenapa? Kamu enggak betah di sana."

"Bukan begitu Ma, Pras sudah enggak sabar mau kuliah lagi."

"Pras yakin sudah siap, kamu baru dua bulan di Medan. Harus banyak belajar bicara dengan yang lebih tua, menghargai orang lain dan belajar menjadi orang asing. Nah, disitulah kamu akan mandiri. Walaupun tanpa bantuan Papa kamu bisa menjaga diri."

"Ya, Ma."

"Pras!!! Makan yuk!" seketika Prasraya langsung mematikan handphonenya, melihat asisten Pak Samsul datang secara mendadak. Restu sudah mengakhiri percakapan mereka secara paksa.

"Restu tidak boleh tahu, aku baru menghubungi Mama."

"Telfon siapa Pras, serius betul sampai lupa waktu."

"Biasa, orang tuaku rindu anaknya yang ganteng ini."

"Oh, orang tua kamu di Bali. Kalau boleh tahu orang tua kamu kerja apa, Pras?"

"Pekerjaan ayahku serabutan. Yah, yang penting bisa makan," balas Pras. Tidak mau dicurigai, menjawab pertanyaan dengan wajah datar.

"Kalau Ibu?"

"Ibu rumah tangga." Restu menganggukkan kepala. Ternyata sukses seorang Pras mengelabui Restu kali ini.

***

"Pak Robi satu minggu lagi datang, jadi kamu sudah enggak terlalu repot kerjanya," kata Pak Samsul bicara pada Prasraya di ruang kerjanya.

"Itu artinya aku jadi tukang buat bata lagi atau jangan-jangan jadi tukang bersih-bersih kebun," batin Pras sedih.

"Jangan khawatir Pras, aku jamin kamu tidak akan buat bata lagi," kata Pak Samsul sambil tertawa karena melihat ekspresi pemuda di depannya tampak sendu.

"Iya, Pak. Saya takut sakit lagi," timpal Pras membalasnya dengan senyum sumringah.

"Kata Restu kamu sekolah menengah kejuruan ambil jurusan arsitek, jadi kamu bisa bantu-bantu saya di kantor."

"Terimakasih, Pak." Mata Prasraya berbinar-binar seperti baru mendapatkan juara kelas. Memang itu keinginannya untuk bekerja sesuai bidang dan bakat, akhirnya tersalurkan juga.

"Restu!? Mana kopinya!" seru Pak Samsul membuyarkan keasikan asistennya itu yang sedang bermain game di salah satu komputer yang ada di kantor Pak Samsul.

"Ya, Pak." Restu menghampiri bosnya dengan tersenyum.

"Kopi, kopi," lanjut Pak Samsul dengan nada kesal campur gregetan.

"Kopi pahit atau rasa cappucino," usul Restu untuk meredam kejengkelan Pak Samsul.

"Rasa Mocca saja dua gelas."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 02, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Black and White My Adventure LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang