Maaf ya pendek, lagi pengen update tapi males ngetik hehe. Coba aja isi otak gue bisa dicopy paste ke sini, ada kali tiap hari gue ngupdate. Anyway, enjoy this short chapter yaw. Bye.Lisa menatap lekat wajah gadis yang terbaring lemah di depannya. Matanya tak berkedip saat menatap sepasang bibir merah muda yang pernah ia cicipi. Belum lagi dadanya yang naik turun seiring dengan hembusan napasnya yang tenang.
Lelaki itu menyandarkan dirinya ke sandaran kursi, melipat kedua lengannya di depan dada, dan kedua kaki yang diluruskan ke depan, saling bertumpukan.
Sesekali ia memandang ke sekitar, kamar yang tertata rapi itu pernah menjadi miliknya. Tempat dimana Lisa kecil tidur dengan ibunya.
Ceklek
Mendengar bunyi pergerakan gagang pintu, Lisa menoleh, mendapati neneknya yang tersenyum kepadanya sambil membawa segelas susu cokelat hangat.
"Minum lah dulu, nak." Lisa mengangguk dan meneguk susu kesukaannya itu perlahan. Nikmat. Ucapnya dalam hati.
"Apa dia selalu seperti ini?" Tanya Lisa tak beralamat.
"Jennie sepertinya kelelahan. Dia bekerja sangat keras akhir-akhir ini." Jawab Nyonya Lee menatap perawat cantiknya sendu. Pandangannya kemudian berpindah pada Lisa yang masih menatap Jennie dengan wajah datarnya.
"Aku turut berduka atas kepergian ayahmu, Lisa-ya."
"Terima kasih, nenek. Mohon maafkan kesalahannya semasa ia hidup ya nek." Lisa menoleh pada sebuah foto besar yang terpampang di kamar itu. Wanita yang pernah ia sayangi. Tanpa sadar tangan Lisa mengepal, bayangan masa lalu seenaknya berlalu di kepala Lisa.
Nyonya Lee menyadari hal itu, dengan lembut ia pun mengusap punggung tangan pemuda itu.
"Maafkan juga kesalahan ibumu, Lisa-ya." Ucap nyonya Lee dengan sorot mata memohon. Lisa hanya menatap sebentar dan kemudian melepaskan kepalan tangannya.
"Akan kucoba."
"Hggg.." Keduanya menoleh pada sumber suara. Nyonya Lee langsung berjalan dan mendudukan diri di samping gadis yang kesadarnya kini mulai kembali.
"Ughh dimana aku?"
"Jennie, kamu di rumahku, nak." Nyonya Lee membantu Jennie untuk duduk dan bersandar pada kepala tempat tidur. "Ini, minum dulu." Jennie menerima segelas teh hangat dan langsung menghabiskannya dalam sekali tegukan.
"Maaf merepotkanmu, Nyonya." Ucap Jennie memegang kepalanya yang masih sedikit berdenyut.
"Aish jangan bicara begitu. Kau tidak merepotkan siapa-siapa, tapi untung saja ada Lisa yang membawamu kemari."
"Lisa?" Tanya Jennie bingung.
"Ya, itu Lisa." Nyonya Lee mengarahkan pandangannya pada Lisa yang mulai mengerti dan berdiri sambil menyodorkan tangannya.
"Aku Lisa." Ucap Lisa.
Jennie menatap lama pada tangan itu, bergantian ke wajah cucu majikannya, mencoba menghilangkan bayangan-bayangan lelaki itu pada hari terkelamnya.
Melihat Jennie tak merespon, Lisa menarik tangannya lagi sedikit canggung. Ia berharap hal tersebut tak terlihat aneh oleh neneknya yang masih tersenyum ke arah keduanya.
"Ehm." Lisa terbatuk, mencoba untuk menenangkan dirinya. Ia kembali duduk ke kursinya di sudut kamar, menghilangkan rasa bosannya dengan ponsel yang sedari tadi ia matikan.
"Jennie, kamu istirahat lah dulu, aku akan berada di luar jika kamu membutuhkanku."
"T-tapi nyonya Lee, aku ha—"
"Sudah tidak apa-apa. Di rumah ini ada beberapa orang, kau tidak perlu mengkhawatirkan ku, kesehatanmu lebih penting." Ucap Nyonya Lee memotong Jennie. Sungguh Jennie ingin mengeluarkan segalanya dan berkata bahwa kehadiran Lisa lah yang membuatnya khawatir.
Tak butuh waktu lama, tinggal lah Jennie dan Lisa di kamar yang luas itu, dengan pintunya yang masih terbuka lebar, cukup untuk Jennie keluar dari sana.
Gadis itu mencoba bangkit, selagi lelaki bejat itu disibukkan dengan koper besarnya.
"Ack!" Lisa menoleh ke arah Jennie yang tersungkur di samping tempat tidur sambil menyentuh keningnya yang memerah, terkena ujung nakas.
"Kalau belum sehat, jangan banyak bergerak." Ucap Lisa mencoba memegang lengan gadis itu untuk membantunya berdiri.
"Lepaskan!" Jennie menepis lengan kekar Lisa sambil menatap tajam pada lelaki kota itu.
"Aku hanya ingin membantu, Nona!" Ucap Lisa penuh penekanan.
"Tsk." Jennie mendengus, menertawakan sikap pria itu di dalam hatinya. Lupakah ia siapa wanita di depannya itu? Lupakah ia hal bejat apa yang telah ia lakukan kepada Jennie? Jennie tak bisa berkata-kata lagi.
"Terserahlah. Urus lah dirimu sendiri." Lisa berjalan cepat kembali ke tempat dimana kopernya tergeletak. Ia kembali mengeluarkan satu demi satu pakaiannya dan memasukkannya ke dalam lemari tua kosong itu.
"Kenapa masih disitu?" Tanya Lisa memperhatikan Jennie yang masih bersimpuh, menatapnya seakan Lisa adalah hama yang harus dibasmi.
"Kamu, aku tidak percaya kamu orangnya." Jennie menunjuk Lisa dengan jari telunjuk yang bergetar. Keringat membasahi keningnya, mengalir hingga ke lehernya, dan menghilang ke dalam pakaian perawatnya. Lisa menelan ludah kasar, bahkan hal sekecil itu membuatnya terangsang.
"Aku juga tidak percaya kamu gadis yang beruntung itu." Lisa melipat kedua tangannya dan dada yang dibusungkan. Tak tahu kah ia betapa Jennie ingin merobek mulutnya saat ia tanpa malunya mengucapkan kata tersebut?
"J-jangan mendekat!" Jennie memperingatkan disaat Lisa dengan sombongnya berjalan ke arah Jennie. Pria itu kemudian berjongkok di samping Jennie dan mendekatkan wajahnya ke wajah cantik Jennie yang kini bergetar hebat, mata terpejam dan tangan yang mengepal kuat.
Lisa mendekatkan bibirnya pada daun telinga Jennie, membisikan kata demi kata dengan penuh penekanan. "Jangan sampai nenekku tahu, hal yang telah kita lakukan berdua!"
"Hal yang kamu lakukan padaku!" Bentak Jennie pada Lisa.
"Diamlah!" Lisa balas membentak, menyebabkan Jennie tersentak dan terkejut dengan dinginnya nada suara Lisa.
Jennie mulai terisak, teringat dengan semua kata-kata kotor yang keluar dari mulut Lisa saat menyetubuhinya. Dia benar-benar takut, takut akan apa yang masa depan punya untuknya. Dengan dia yang telah berjanji akan merawat nyonya Lee, Jennie kini terjebak dalam nerakanya sendiri.
"Kalau kamu membuka sedikit saja mulutmu tentang hal itu, aku akan bilang pada nenek kau telah menggodaku!" Lisa menarik rahang Jennie kasar, menghadap padanya. "Kamu dengar tidak?"
Dengan air mata berlinang, Jennie menatap nanar Lisa yang masih memerah dengan urat-urat bermunculan di pelipisnya.
"Apa kamu tuli?!" Bentak Lisa lagi sambil mencuri pandang pada pintu kamarnya, khawatir ada yang mendengar pembicaraan mereka.
Jennie tidak menjawab dan memilih untuk menarik wajahnya menjauh hingga pegangan Lisa pada rahangnya terlepas.
Dengan segala tenaga yang tersisa, Jenniepun berdiri dan keluar dari kamar tersebut sambil mengusap air matanya kasar.Baru saja Jennie ingin melupakan kejadian itu, namun sepertinya takdir tak mengizinkan karena neraka Jennie baru akan dimulai hari itu.
Ya Tuhan, tolong jaga aku. Bisik Jennie lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembang Desa, Kim Jennie
RomanceJennie Kim, perawat muda yang ramah kebanggaan desanya. Desa kecil di pulau Jeju. Lalisa Manoban, anak kota berandal yang suka terlibat dalam masalah sekaligus pembuat masalah. Bagaimana jika keduanya dipertemukan dalam keadaan yang sulit? "Aku suda...