HAZEL YUDHA

83 24 23
                                    

Pemuda itu menatap pantulan dirinya di cermin, rambut silvernya seakan memberi kesan misterius yang kontras dengan iris mata hazelnya yang tak terlihat hidup. Hazel memutuskan mewarnai rambutnya di tahun ajaran baru ini. Ia yakin sekolah elit itu tidak akan mempermasalahkan hal ini.

Hazel hanya merasa warna rambutnya yang sekarang sangat cocok dengan dirinya, abu-abu. Helaan napas terdengar dari orang di samping pemuda itu, Hazel melihat orang di sampingnya. Keningnya berkerut kala menyadari orang itu ada disini.

"Lo mau jadi anak bandel?"

"Apa?" tanya Hazel tak paham

Orang itu mengusap wajahnya lelah, kemudian menatap Hazel iba. "Hazel denger gue! Ini udah 5 tahun, dan lo masih belum ikhlas? Bahkan sekarang lo makin keliatan gak baik dengan rambut baru lo,"

"Gue lebih nyaman kayak gini,"

"Bodo ah, terserah lo!" ucap pemuda itu pasrah, karena ia tahu adiknya ini sangat keras kepala dan susah untuk dibujuk.

Kejadian 5 tahun lalu telah banyak merubah hidupnya, Hazel yang ia kenal adalah adik yang ceria dan banyak tingkah. Namun, kini adiknya seperti kehilangan nyawa. Dia tidak banyak bicara, keras kepala dan lebih suka menyendiri.

Kehilangan sosok ibu telah merubah adik kesayangannya menjadi mayat hidup. Hazel merasa bahwa hanya dirinya yang sangat terpukul atas kematian ibunya. Sedangkan, keluarganya seolah menutup mata dan telinga, tidak peduli dengan kematian ibunya. Padahal, bukan hanya Hazel yang merasa terpukul dengan hal itu.

"Lo masih mau ngelamun Bang?" panggil Hazel

"Ahh, apa? Oiya. Ayo kita balik!" ucap kakaknya. Kemudian kakaknya melangkahkan kaki keluar dari tempat itu.

Hazel menatap kepergian kakaknya itu. Ia tahu semua orang merasa kasihan pada dirinya, dan Hazel benci itu.

"Bang Kris," panggil Hazel pada pemuda yang sudah menunggu dirinya di mobil hitam miliknya.

Kris Wu, kakak Hazel yang umurnya 4 tahun lebih tua darinya. Ia kuliah di Amerika dan tinggal disana. Sesekali ia pulang ke Indonesia untuk mengunjungi adiknya.

Seperti sekarang ini, Kris baru saja sampai di bandara dan langsung menemui adiknya yang sedang mewarnai rambutnya di barber shop. Jangan ditanya bagaimana Kris bisa tahu Hazel dimana, karena ia memiliki orang kepercayaan yang selalu mengabari kondisi adiknya selama Kris di Amerika. Orang itu adalah guru musiknya dulu, Pak Mamat.

Sekarang Pak Mamat menjadi guru di sebuah sekolah elit di Jakarta, tempat Hazel menimba ilmu. Jadi, sangat mudah baginya untuk mengetahui kabar adiknya melalui Pak Mamat.

"Langsung pulang?" tanya Kris

"Ke Aphrodite Music Studio dulu! Gue ada gladi bersih disana,"

"Main apa lo?"

"Piano, tapi mereka juga nyaranin gue main flute,"

"Wihh.. Kenapa ga main biola aja? Biola kan hidup lo,"

Kris merasakan aura yang tidak enak di dalam mobilnya. Ia melirik Hazel yang diam dengan tatapan lurus ke depan. Kris merutuki perkataannya barusan, tidak seharusnya ia membahas hal itu.

"Ehh, studionya dimana? Gue udah lupa. Biasa, kelamaan di Amerika jadi lupa jalan Ibu Kota." Kris mencoba mencairkan atmosfer kecanggungan di dalam mobilnya.

"Di depan belok kiri, sebelah Ledian Cafe." Hazel memberi arahan.

Mereka sampai di studio musik itu. Hazel tidak bicara sedikitpun, ia langsung turun dan masuk ke dalam gedung itu.

Nebula ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang