𝕆𝕟𝕖, 𝕋𝕨𝕠, 𝕋𝕙𝕣𝕖𝕖
𝕋𝕚𝕞𝕖 𝕥𝕠 ...***
"
21, 20, 19, 18...."
Jihoon terus berhitung mundur. Bukan untuk menunggu pergantian tahun tapi untuk menunggu sampai jam di mana Ibunya bilang wanita itu akan datang dan mengecek persiapannya karena sekarang lah hari itu.
Hari ulang tahun ayahnya sekaligus pertunangannya. Perayaan akbar dikediaman keluarga Lee, bukan main hebohnya. Bahkan dari kamarnya yang berada di lantai dua pun Jihoon masih bisa mendengar kegaduhan yang dibuat oleh para tamu, seolah ayahnya telah mengundang semua orang di alam semesta untuk menghadiri pestanya.
Atau mungkin memang begitu.
Pikiran tentang ribuan orang yang memenuhi rumahnya bak bahtera Nuh tersebut sayangnya mengalihkan Jihoon dari kesibukan menghitung mundurnya dan tiba-tiba saja ibunya sudah muncul tanpa mengetuk pintu, selalu, maka dari itu Jihoon menghitung mundur, agar tidak melonjak memalukan seperti sekarang.
"Ibu!" Jihoon berseru sambil memegangi dadanya yang hampir meledak.
"Apa ini? Kenapa rambutmu belum dirapikan? Di mana jas mu? Astaga Jihoon, kau bukan anak kecil lagi, tidak bisakah kau berpakaian yang benar tanpa harus diberitahu."
"Ib--"
"Aku akan kembali lima belas menit lagi." Ibunya kemudian menutup pintu dan hilang.
Momen itu Jihoon gunakan untuk membuat strategi kabur sekaligus bunuh diri dadakan. Mata Jihoon berlarian memindai sekitar. Tidak ada tali di kamarnya atau pisau, hanya ada ponsel jadi tidak ada pilihan yang lebih baik selain menghubungi seseorang. Penculik bayaran.
"Hoshi!"
Detik ketika Jihoon mengucapkan nama itu setelah soonyoung mengangkat telepon alih-alih mengatakan halo, pemuda itu tahu sesuatu sedang tidak berjalan dengan baik, tentu dalam kamus Jihoon. Dan sesuatu itu bisa berarti apa saja, serius, apa saja. Toilet yang tersumbat, tisu toilet yang habis, alergi udara dingin Jihoon yang sering kambuh, atau sembelit di pagi hari, sungguh, apa saja. Seolah Jihoon tidak memiliki puluhan orang yang bahkan siap menyuapinya setiap makan dan menggosok punggungnya ketika mandi kalau dia mau.
"Hoshi, Hoshi, dengarkan aku, apa kau mendengarkan aku?"
"Oh tidak, aku meletakan telingaku di suatu tempat dan sekarang aku tidak ingat dimana. Tidak Jihoon, aku tidak mendengarkan."
Sepenuhnya Jihoon mengabaikan. "Dengar, kau harus ke sini. Sekarang. Dan ini bukan melebih-lebihkan. Kau benar-benar harus ke sini SEKARANG! pinjam mobil siapapun untuk datang ke sini dan jangan lewat depan, kau harus lewat gerbang belakang." Jihoon melirik arloji di tangannya. "Dengar, aku akan kabur, dan kau akan membantuku. Kutunggu kau dalam 5 menit. Ajak wonwoo juga."
Tidak ada balasan dari seberang sana. Yang bisa Jihoon dengar hanya suara kegaduhan tidak jelas.
Jihoon mengusap peluh yang perlahan membanjiri pelipisnya. Semua masalah ini agaknya membuatnya gerah. "Young, jika kau masih mempermasalahkan aku yang tidak mengundang kalian berdua, aku minta maaf, sungguh."
"Jihoon, kami sudah ada di rumahmu. Ayahmu yang m--"
Tidak perlu menunggu sampai Soonyoung menyelesaikan kalimatnya demi memberi alasan kepada Jihoon untuk menutup sambungan telepon di antara mereka.
Tentu ayahnya. Siapa lagi yang akan melakukan sesuatu yang Jihoon sendiri tidak ingin lakukan?
Dengan embel-embel 'untuk kebaikanmu', Jihoon sepertinya tidak akan pernah diberi ijin untuk mengadili siapapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Childhood (JICHEOL)
Fanfiction"kau ingat Seungcheol?" Bagaimana Jihoon bisa lupa jika ibunya baru saja membicarakan masa kecilnya yang dibumbui penuh dengan nama itu. Seungcheol ini, Seungcheol itu. Seungcheol yang ini, Seungcheol yang itu. Seungcheol begini, Seungcheol begitu. ...