Perjalanan setelah senja

12 0 0
                                    

Pengalaman ini berdasarkan dari kisah nyata yang di ceritakan oleh Almarhum pak Olih, seorang penjual Oncom di daerah perkampungan Sumedang. Beliau saat itu berusia 52 tahun,saat di temukan pingsan oleh ronda yang sedang berkeliling kampung.

Pertengahan bulan Febuari malam selasa 1994.

Sebagai kepala rumah tangga yang harus mengidupi anak anak ku yang sebagian besar masih sekolah aku rela melakukan pekerjaan apapun buat mereka. Aku hanya seorang penjual oncom yang menjajakan dagangan dengan cara di tanggung,menjajakan dari kampung ke kampung tetangga dengan berjalan kaki dari jam 1 siang sampai jam 5 sore, karena pagi nya aku harus bantu istriku seorang buruh tani di sawah.

Seperti biasanya, hari itu aku berjualan ke kampung kampung tetangga.
"cooommm,,,, ooooonccccooommm" teriak ku untuk memanggil langganan yang setia setiap harinya menunggu oncom yang aku jajakan.
Tapi nihil rasanya, dagangan ku baru laku dua keranjang,dari 4 keranjang yang aku bawa, langkah ku semakin jauh, niat dalam hati menawarkan ke kampung lain yang jarak nya lumayan jauh dari jarak yang biasa aku lewati, namanya hidup di kampung jarak dari kampung ke kampung tuh harus melewati beberapa perkebunan warga yang luas atau kadang sawah sawah.

Alhamdulillah di kampung itu dagangan ku habis jam sudah menunjukan pukul 5 sore, seharunya jam segini aku sudah berkumpul dengan keluarga menikmati makanan sederhana yang istriku siapkan. Sudah terbayang di fikiran ku, ikan asin bakar,sayur asam, dan sambal dadak buatan istriku,rasa lapar di perut ku semakin terasa. Lelah rasanya perjalanan jauh hari ini yang aku tempuh demi menghabiskan dagangan ku. Ku minum air yang aku bawa dari rumah untuk mengganjal perutku yang lapar sambil melanjutkan perjalanan pulang.

Suara jangkrik mulai bersahutan, tinggal 1 kampung lagi yang harus aku lewati untuk sampai ke rumah. Namun, langkahku tertahan sepanjang jalan pohon pohon besar membuat jalanan begitu gelap, adzan magrib sudah mulai terdengar bersahutan aku merogoh tas plastik untuk menyalakan senter yang ku bawa, memang di kampung kampug listrik belum merata,hanya orang orang yang terbilang kaya saja yang sudah memasang listrik di rumahnya. Hembusan angin menusuk kulit kulit ku yang sudah mulai keriput.
Meski peluh membanjiri bajuku tapi angin ini masih saja mengalahkan rasa lelahku.
Dengan langkah cepat aku mulai meneruskan perjalanan, namun lagi lagi langkahku tertahan kali ini aku mulai merasakan, lemparan pasir halus mengenai kepalaku " saha( siapa) ?!!!! " teriaku sambil menyorotkan lampu senter ke arah belakang, hening hanya suara jangkrik dan hewan malam lain nya terdengar .
Hal yang konyol aku lakukan, padahal orang iseng mana yang magrib gini masih berkeliaran. Apalagi jalan kampung sini terkenal angker dan sepi. Sayup sayup suara burung hantu dari pohon dangdeur yang besar, konon kata orang tua jaman dulu, bahkan warga sekitar pohon ini di tunggu berbagai demit "iiihhhh amit amit gusti" aku bergidig di barengin bulu tengkuk yang meremang.
Tanpa aku fikirkan lagi aku segera melanjutkan jalan ku sandal jepit yang ku pake beradu dengan kerikil kerikil jalanan setapak. Namun seolah ada suara lain yang mengikuti jalanku di seblah kananku terdengar suara ranting ranting patah, langkah ku makin melaju setengah berlari, sambil dalam hati terus aku membaca lantunan surat surat pendek alquran.
"sssstttt sssstttt " terdengar desisan suara seperti orang menyuruh diam
Terasa hawa dingin seperti meniup telinga kanan ku, aku semakin menggigil ketakutan lantunan doa yang keluarpun sudah mencarcau ga jelas.

"kamana atuh mang mani rusuh (mau kemana kang, cepat gitu) hiii hiii hiii" suara derai tawa dari atas pohon rambutan membuat ku makin pucat pasi reflek aku menyorotkan senter ke arah suara itu "astagfirlllahaladzim" teriak ku ketika lampu senter menyorot sosok putih berambut acak acakan dengan muka nya yang setengah membusuk, nampak mata hidung sudah tanpa daging dan kulit aku lari sambil melemparkan tanggungan oncomku dan senter yang dari tadi di bawa. Derai tawa nya makin menjadi seolah menempel. Nafasku semakin sesak entah seberapa cepat lariku dengan kondisi badan yang sudah renta. Beberapa kali aku terjatuh,rasa sakit di kaki dan tanganku akibat tergores oleh kerikil-kerikil
"tulung..... Tulunnngggggg " teriak ku berharap ada warga yang mendengar sambil terus berlari namun yang kulihat sosok wanita tadi sekarang sudah terbang di atas ku sambil tertawa cekikikan

"rek kamana maneh, di bawa ku aing!! ( mau kemana kamu, mau saya bawa) " ucap makhluk itu dengan suara seperti orang tercekik
" ampun,,,tulunggg,,,," aku memberontak ketika ku rasa hawa dingin seolah mencengkram leher ku. Dengan nafas yang sudah berat aku masih mencoba ingat ayat kursi ku lantun kan di dalam hati
Semakin jelas wajah makhluk itu yang sekarang berdiri di depanku. Mulut nya menyeringai sambil cekikian begitu memekaan telinga. Badan rentaku pun semakin lemas pandangan mulai kosong dan aku tak sadarkan diri.

Hampir 2 hari lamanya aku tak sadarkan diri, hingga saat aku terbangun istriku langsung memeluk ku dengan tangisan di sisi lain ku lihat anak anak ku pun menangis haru, terdengar serentak suara warga yang lain mengucapkan hamdalah takala melihat ku sadar.

" Alhamdulillah bapak, bapak teh kunaon? ( babak kenapa?) " ucap istriku dalam isak tangisan nya.
"tos, ceu pasihan cai heula si amang na, ke deui di taros na karunya sina tenang heula (sudah,mbak kasih dulu air si mamang nya, nanti dulu di tanya-tanya biar tenang dulu) " pak Ustad menyodorkan air yang sudah di bacakan doa. Aku menyandarkan badan di ranjang kayu sambil istriku memberikan minum yang telah di kasih doa, tak lupa dia menyuapiku makan, leherku masih terasa sakit untuk menelan makanan itu. Kulihat tulang tulang lengan ku menonjol karena selama 2 hari aku tidak makan atau pun minum.
" karunya teuing mamang, di heureuyan ku si nyai,,, ke mah mun ka wengian di jalan mendingan ngantosan subuh wae, kulem di mesjid(kasian sekali mang, di ganggu sama si nyai,,, nanti kalau kemalaman di jalan, mending nungguin subuh saja,tidur di mesjid)" ucap pa ustad sambil mengusap usap pundak ku. Aku hanya tersenyum getir ketika mendengar ucapaan pak ustad pundak ku bergidik karena ku rasakan badan ku mulai meremang mengingat kembali pertemuan dengan makhluk yang kami sebut si nyai penunggu pohon dangdeur di perbatasan kampung ku dengan kampung tetangga.

**** tambahan *****
Jujur saja ketika aku menulis ini, badanku pun meremang, aku menulis ini jam 23.53 malam. Di luar kamar terdengar suara anak kecil seperti cegukan. Padahal yang aku tahu kosan aku itu ga ada anak kecil

Cerita ini aku dengar dari beliau langsung ketika aku yang masih berusia 5 tahun menemani Alm. Nenek ku saat membeli oncom yang mang olih jajakan di depan teras rumah, Karena cerita mang olih tak sadarkan diri sampai juga ke telinga warga kampungku
Semenjak kejadian itu mang olih hanya berjualan dari jam 6 pagi sampai 10 pagi.

Sekarang sih sudah tidak ada lagi pohon dangdeur pembatas kampung mang olih dengan kampung tetangga tapi suasana seram sepanjang jalan kampung itu masih terasa karena memang walau sekarang jalan sudah di aspal tetapi penerangan lampu jalan masih belum ada.

 Bayangkan kondisi malam hari seperti apa di tahun 94 masih tanpa ada penenrangan lampu jalan hanya nyala senter yang di bawa bawa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bayangkan kondisi malam hari seperti apa di tahun 94 masih tanpa ada penenrangan lampu jalan hanya nyala senter yang di bawa bawa.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 15, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MEREKA YANG TAK TERLIHATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang