Pak Sugik tertunduk lesu, "Astaghfirullah" Desisnya. Nafsu makannya hilang seketika. Telapak tangannya basah oleh keringat pertanda ia sedang gugup. Pak Sugik sadar ada sesuatu yang tak beres yang sedang berlangsung saat ini, sesuatu yang berada diluar nalar manusia! Dan ia sadar sesadarnya bahwa ia turut andil dalam kejadian ini! Dusun Harumsari dalam keadaan darurat, darurat mental.
Pak Sugik ingat betul dulu ketika Utami datang padanya mengadukan masalah rumah tangga, dimana sang suami, Suripto pergi tanpa pamit dan tiada kabar selama 3 tahun. Ketika itu Pak Sugik menatap Utami dari ujung rambut hingga ujung jempol, jakunnya turun naik dan berkata,
"Mi, kalau seorang suami pergi selama 6 bulan lebih sedang kamu tidak merasa ridho, maka kamu berhak mengajukan cerai"
"Tapi Pak...."
"Sudah cerai saja. Kasian kamu dan Ibumu digantung begitu" Kata Pak Sugik menggenggam tangan Utami, jakunnya makin turun naik "Nanti aku bantu prosesnya,ya?" Bisiknya dengan nafas memburu.
bret..bret..bruut...Suara motor butut Bu Sugik terdengar memasuki halaman.
"Paaak,bantu turunin belanjaan!!"
Pak Sugik tersenyum kecut, Utami pamit pulang.
Ditengah lamunannya tiba-tiba Pak Sugik tersentak, "Kang ini kopinya. Kok nasinya cuma dipandangin Kang? Gak dimakan?" Tanya Tante Cihuy menatap Pak Sugik keheranan, tangannya meletakkan cangkir kopi diatas meja.
"Iya Buk, nasinya kubawa pulang saja buat makan bebek. Berapa duit semuanya" Kata Pak Sugik sambil merogoh kantong uangnya, sebuah plastik bekas gula pasir ukuran 500gr.
"Nasi rames sembilan ribu, kretek sebatang seribu, kopi pahit dua ribu. Total dua puluh ribu Kang, sama service-nya"
Tanpa banyak omong Pak Sugik segera membayar dan pergi dari warung itu, koran bungkus nasi ia remas-remas dan dilemparkan ke atas perapian warung. Tidak ia pedulikan gumaman dan panggilan bapak-bapak yang memandanginya penuh tanda tanya. Sambil berjalan Pak Sugik terus berfikir keras. Ia ingin menemui Utami dirumahnya untuk membicarakan masalah pelik ini tapi rasanya tak mungkin, atau waktunya belum tepat karena menurut info terkini Utami mengurung diri bersama bayinya dalam kamar. Utami mengalami trauma dan depresi berat. Bahkan Ibunya gagal membujuknya untuk membukakan pintu sekedar memberi makan dan minum. 'Bagaimana ini?' Batinnya. Ia merasa gentar, khawatir jangan-jangan Suripto nanti juga akan berkunjung kerumah warga lainnya. 'Celaka duabelas! Tak bisa kubiarkan Suripto,jin,setan, genderuwo atau apalah itu membuka rahasiaku' tekadnya.
Dalam kebingungannya Pak Sugik memutuskan untuk pulang, ia mengambil jalan pintas untuk menghindari terik matahari yang sudah tergelincir kearah barat, melalui kebun karet dan jalan setapak dimana sungai kecil mengalir membelah desa. Disatu sudut kebun, dibalik pohon karet yang paling besar sekelebat bayangan nampak bergoyang-goyang. Sang pemilik bayangan mengarahkan matanya yang sayu kearah Pak Sugik, tanpa berkedip! Sosok tadi berjalan dengan berjinjit-jinjit mengikuti alur bayangan pohon karet, dengan pandangan yang tetap awas. Sesekali ia memutar sedikit untuk menghindari sinar matahari, dan menyeka keningnya untuk menghalau darah hitam yang menetes terus menerus. Ketika dirasa mendapatkan momen yang pas, sosok tadi membuka mulutnya lebar-lebar kearah Pak Sugik, telapak tangannya membuka seperti ingin menerkam, sett...sett...
"Pul? Mau kemana" Sapa Pak Sugik ketika berpapasan dengan seorang anak muda. Sosok tadi menurunkan tangan dan menutup mulutnya, wajahnya merengut kesel. 'Cancel dulu, berunthung khau Sughiiikk...' Ia meraung dalam hati.
"Mau kewarung Pak Bejo, Mamak sakit minta dibelikan kapur sirih dan buah pinang, tambah parah demamnya" Jawab Syaiful, seorang remaja tanggung yang duduk dikelas sebelas. Syaiful merupakan anak bungsu dari Mbok Ipah, anak kesayangan yang setia menemani dihari tua.
