8. Accidental Kiss

84 15 0
                                    


Momen Ketiga: Ciuman Tak Disengaja - Detik yang Mengubah Segalanya

Perpustakaan Universitas Hanbit adalah tempat suci bagi Tzuyu—dinding-dinding tinggi penuh buku, aroma kertas tua, dan keheningan yang menenangkan adalah dunianya. Malam itu, dia terjebak di sana untuk proyek festival kampus, dikelilingi tumpukan buku referensi dan catatan yang berantakan di meja kayu panjang. Cahaya lampu meja yang temaram jadi satu-satunya penerang, menciptakan suasana hangat namun sepi. Yugyeom, yang biasanya tak punya urusan dengan perpustakaan, entah kenapa jadi sukarelawan membantu Tzuyu—mungkin karena dia tak bisa menolak kesempatan untuk dekat dengannya, atau mungkin karena dia tahu Tzuyu akan menolak bantuan dari orang lain.

Hari sudah larut, jam di dinding menunjukkan hampir tengah malam, tapi mereka masih bekerja. Tzuyu duduk dengan postur tegak, jari-jarinya sibuk menulis catatan, rambut panjangnya terikat longgar dengan beberapa helai jatuh ke wajahnya. Yugyeom duduk di sampingnya, tangannya penuh buku-buku yang dia ambil dari rak atas untuk Tzuyu. "Kamu nggak capek bawa buku segini banyak tiap hari?" tanyanya sambil meletakkan tumpukan buku di meja, nadanya santai tapi ada perhatian yang terselip. Tzuyu meliriknya sekilas, lalu kembali ke catatannya. "Biasa aja," jawabnya singkat, tapi sudut bibirnya sedikit naik—senyum kecil yang Yugyeom anggap sebagai hadiah langka.

Mereka bekerja dalam diam yang nyaman, hanya sesekali terdengar suara halaman buku yang dibalik atau gumaman pelan Tzuyu saat membaca. Yugyeom, yang biasanya penuh energi di lapangan basket, tampak berbeda malam itu—dia lebih tenang, lebih fokus, seolah ingin membuktikan sesuatu pada Tzuyu. "Ini buku terakhir yang kamu minta," katanya sambil menyerahkan sebuah buku tebal, jarinya tak sengaja menyentuh tangan Tzuyu. Sentuhan itu singkat, tapi cukup membuat Tzuyu menahan napas sejenak sebelum mengangguk kecil. "Makasih," bisiknya, suaranya hampir tenggelam oleh keheningan ruangan.

Momen itu terjadi begitu cepat, namun terasa abadi. Tzuyu berdiri untuk meraih buku lain di rak tinggi di belakangnya. Dia berjinjit, tangannya merentang, tapi kakinya tersandung karpet tua yang sedikit terlipat di lantai. Tubuhnya kehilangan keseimbangan, dan dia jatuh ke depan dengan seruan kecil yang tak sempat dia tahan. "Tzu!" Yugyeom bereaksi cepat, bangkit dari kursinya dan menangkapnya. Tangan kekarnya melingkar di pinggang Tzuyu, menahannya agar tak jatuh, sementara tangan satunya mencengkeram meja untuk menjaga keseimbangan mereka.

Waktu seolah berhenti. Mereka terdiam, tubuh mereka begitu dekat sampai Tzuyu bisa merasakan panas dari tubuh Yugyeom yang masih memeluknya. Wajah mereka hanya berjarak beberapa inci—napas mereka bercampur, hangat dan sedikit tergesa karena kejutan. Matanya Tzuyu melebar, menatap Yugyeom dengan campuran kaget dan sesuatu yang tak bisa dia definisikan. Yugyeom, dengan jantung berdegup kencang, menatap balik—matanya penuh kekhawatiran tapi juga kelembutan yang dalam. "Kamu baik-baik aja?" tanyanya, suaranya rendah dan serak, hampir seperti bisikan di antara mereka.

Tzuyu mengangguk pelan, tapi sebelum dia sempat menarik diri, Yugyeom—entah disengaja atau murni refleks—memiringkan kepalanya sedikit untuk memastikan Tzuyu tak terluka di wajahnya. Gerakan itu terlalu cepat, terlalu alami, dan tanpa mereka sadari, bibir mereka bersentuhan. Lembut, hangat, dan tak terduga—ciuman itu singkat, hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk mengguncang dunia mereka berdua. Tzuyu membeku, matanya melebar lebih jauh, jantungnya berhenti sejenak sebelum berdetak kencang seperti genderang. Yugyeom, yang sama terkejutnya, menarik diri dengan cepat, wajahnya memerah hebat hingga ke telinga.

"A-aku… maaf, Tzu, aku nggak sengaja!" katanya tergagap, tangannya masih di pinggang Tzuyu tapi kini gemetar. Dia buru-buru melepaskan pelukannya, mundur selangkah, dan mengusap wajahnya dengan tangan yang tak tahu harus diletakkan di mana. Tzuyu tak bergerak, berdiri mematung dengan tangan memegang bibirnya sendiri, wajahnya panas seperti terbakar. Rasa bibir Yugyeom—lembut, sedikit asin karena keringat—masih terasa di sana, dan dia tak tahu harus bereaksi apa. "Nggak apa-apa," bisiknya akhirnya, suaranya hampir tak terdengar, matanya menunduk untuk menyembunyikan kekacauan di dalam dirinya.

Hening menyelimuti mereka, hanya ada suara napas yang tak beraturan dan detak jantung yang saling bersahutan. Yugyeom menatap Tzuyu lama, lalu tersenyum kecil—senyum yang gugup tapi penuh kelembutan. "Aku nggak nyesel, Tzu," katanya tiba-tiba, nadanya bercanda tapi ada kejujuran yang terselip. "Tapi aku janji, lain kali aku minta izin dulu." Dia tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan, tapi matanya tak bisa bohong—ada kilau harapan di sana, harapan bahwa Tzuyu tak benar-benar membencinya karena momen itu.

Tzuyu tak menjawab langsung. Dia kembali duduk, tangannya menggenggam buku dengan erat, mencoba menenangkan diri. Tapi di dalam hatinya, ada badai yang tak bisa dia kendalikan—perasaan yang selama ini dia tekan, yang kini meledak karena sentuhan tak sengaja itu. "Kamu… bikin aku bingung," katanya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri, tapi Yugyeom mendengarnya. Dia melangkah mendekat lagi, tak menyentuhnya tapi cukup dekat untuk membuat Tzuyu merasa kehadirannya. "Aku nggak mau bikin kamu bingung, Tzu. Aku cuma mau kamu tahu… aku serius sama kamu," katanya, suaranya rendah dan penuh keyakinan.

Tzuyu menoleh, matanya bertemu dengan Yugyeom dalam cahaya temaram perpustakaan. Untuk pertama kalinya, dia tak bisa membaca buku di pikirannya—yang ada hanyalah Yugyeom, senyumnya, dan rasa bibirnya yang masih membekas. Momen itu bukan hanya ciuman tak disengaja—itu adalah pintu yang terbuka lebar, membawa Tzuyu ke dalam perasaan yang selama ini dia takut akui. Dan bagi Yugyeom, itu adalah detik paling indah yang tak akan dia lupakan—saat dia merasa Tzuyu, untuk sesaat, benar-benar jadi miliknya.

Malam itu berakhir dengan mereka kembali bekerja dalam diam, tapi suasana sudah berbeda. Jarak di antara mereka tak lagi hanya fisik—ada benang tak kasat mata yang kini mengikat mereka, benang yang lahir dari ciuman itu, yang akan membawa mereka lebih jauh ke dalam cinta dan drama yang tak terelakkan.


To Be Continued...

Tangled Hearts (✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang