10. Melody That Burns

109 15 0
                                        


Awal Perasaan: Cahaya di Studio - Melodi yang Menyala

Studio musik Universitas Hanbit adalah tempat perlindungan I.N—dinding-dindingnya yang kedap suara, gitar tua di sudut, dan jendela kecil yang memandang taman kampus adalah dunianya. Di sana, dia bisa melarikan diri dari hiruk-pikuk kuliah, mencurahkan hati ke dalam nada-nada yang dia petik. Hari itu, sore menjelang senja, cahaya matahari masuk melalui celah-celah jendela, membentuk garis-garis emas di lantai kayu yang sedikit berderit. I.N duduk di kursi sederhana, gitarnya bertumpu di pangkuan, jari-jarinya memainkan melodi baru yang masih mentah—sebuah lagu tentang hari cerah yang dia tulis sambil memikirkan sesuatu yang tak bisa dia definisikan.

Pintu studio tiba-tiba terbuka dengan suara kecil, dan Yuna masuk—langkahnya ringan, rambutnya sedikit acak-acakan karena angin sore, dan senyumnya lebar seperti biasa. Dia membawa dua gelas es teh dalam plastik, tetesan air dingin menempel di tangannya. "Kak I.N! Aku bawa ini buat kita!" serunya ceria, suaranya memecah keheningan ruangan seperti lonceng kecil. I.N berhenti bermain, jarinya terselip di senar hingga mengeluarkan bunyi sumbang, dan dia menoleh dengan wajah sedikit kaget. "Yuna? Kamu dari mana?" tanyanya, tersenyum kecil meski ada rasa gugup yang tiba-tiba muncul.

"Dari kantin, Kak! Aku lihat Kakak masuk studio tadi, jadi aku buru-buru beli ini. Main gitar kan capek, harus segarkan tenggorokan!" jawab Yuna sambil melangkah mendekat, menyodorkan satu gelas ke tangan I.N. Jari-jarinya yang dingin karena es tak sengaja menyentuh tangan I.N saat menyerahkan gelas, dan ada detik hening di mana mereka saling pandang. Mata Yuna berbinar, penuh semangat seperti matahari kecil, sementara I.N merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari irama lagu yang tadi dia mainkan. "Makasih, Yuna," katanya pelan, suaranya lembut seperti bisikan, matanya tak bisa lepas dari senyum Yuna yang terasa seperti cahaya di ruangan itu.

Yuna tak langsung duduk—dia berputar kecil di studio, memandang alat-alat musik dengan rasa ingin tahu. "Kak, mainin lagu yang tadi dong! Aku cuma denger bentar, tapi kayaknya bagus banget," pintanya sambil akhirnya duduk di kursi di depan I.N, tangannya memegang gelas es teh dengan santai. I.N tersenyum, ada rasa hangat yang menyebar di dadanya karena antusiasme Yuna. "Beneran? Ini belum selesai, loh," katanya, tapi Yuna mengangguk penuh semangat. "Nggak apa-apa, Kak! Aku suka denger Kakak main, apalagi yang belum selesai—kaya cerita yang masih misterius gitu!"

I.N mengangguk, lalu mulai memetik gitar lagi. Nadanya lembut, mengalir seperti angin sore yang masuk lewat jendela, dan Yuna mendengarkan dengan mata tertutup, senyum kecil menghiasi wajahnya. Cahaya senja memantul di rambut Yuna, menciptakan halo samar di sekitarnya, dan I.N—tanpa sadar—terpaku. Dia lupa beberapa nada, jarinya terselip lagi, dan Yuna membuka mata sambil tertawa kecil. "Kak, kenapa berhenti? Lagi enak!" godanya, suaranya renyah seperti lonceng.

"A-aku… cuma kaget," jawab I.N tergagap, wajahnya memerah. "Kamu… kamu bikin aku lupa nadanya," tambahnya pelan, setengah bercanda tapi ada kejujuran yang terselip. Yuna tertawa lebih keras, lalu bersandar di kursi. "Wah, Kak I.N bisa gombal juga ya! Tapi serius, main lagi dong," pintanya, matanya berbinar penuh harap. I.N mengangguk, lalu melanjutkan—kali ini dengan lebih percaya diri, seolah ingin menunjukkan sesuatu pada Yuna melalui nada-nadanya.

Tambahan Momen Romantis: Tangan di Senar

Setelah lagu selesai, Yuna tak langsung pergi. Dia melangkah mendekat ke I.N, matanya tertuju pada gitar di pangkuannya. "Kak, ajarin aku main bentar, boleh?" tanyanya, nadanya manja tapi penuh semangat. I.N terkejut, tapi dia tersenyum lebar. "Boleh banget. Coba pegang sini," katanya, menggeser posisi gitar ke pangkuan Yuna. Yuna duduk lebih dekat—hampir berdampingan—dan tangannya yang kecil mencoba memegang senar dengan canggung.

"Ini susah banget, Kak!" keluh Yuna sambil tertawa, jarinya salah tekan hingga mengeluarkan bunyi aneh. I.N tertawa kecil, lalu dengan hati-hati, dia meraih tangan Yuna. "Aku bantu," katanya lembut, jari-jarinya membimbing tangan Yuna ke posisi yang tepat. Kulit mereka bersentuhan—tangan Yuna dingin karena es teh, tangan I.N hangat karena lama memegang gitar—dan ada detik di mana mereka berdua terdiam. I.N menekan senar bersama tangan Yuna, memetiknya pelan, dan sebuah nada sederhana tapi indah keluar. "Lihat, kamu bisa," bisiknya, suaranya rendah dan penuh kelembutan, wajahnya begitu dekat hingga Yuna bisa merasakan napasnya.

Yuna menoleh, matanya bertemu dengan I.N dalam jarak yang begitu intim. "Kak I.N hebat banget… aku iri," katanya pelan, tersenyum kecil, tapi ada kilau di matanya yang membuat I.N tak bisa berpaling. "Bukan aku yang hebat, Yuna. Kamu yang bikin nada ini jadi lebih… hidup," jawab I.N, nadanya serius tapi penuh perasaan. Yuna tertawa ringan, "Kak, gombalnya naik level ya!" katanya sambil menarik tangannya, tapi wajahnya sedikit merona—sesuatu yang I.N notice meski hanya sekilas.

Momen itu berakhir saat Yuna bangkit, mengambil gelas es tehnya yang sudah meleleh. "Aku balik dulu ya, Kak! Besok ajarin aku lagi!" katanya sambil melambai, lalu berlari keluar studio dengan langkah ringan. I.N berdiri mematung, tangannya masih merasakan hangatnya sentuhan Yuna, matanya menatap pintu yang kini kosong. Cahaya senja perlahan memudar, tapi di hati I.N, Yuna adalah cahaya yang tak pernah redup—cahaya yang membuatnya ingin menulis lagu lagi, ingin bermain gitar lagi, hanya untuk melihat senyum itu sekali lagi.

Saat itu, I.N tahu—perasaannya untuk Yuna bukan sekadar kekaguman biasa. Itu adalah cinta, sesuatu yang tumbuh dari nada-nada kecil dan tawa Yuna yang mengisi studio. Tapi dia juga tahu, cahaya itu mungkin tak pernah benar-benar miliknya—karena di mata Yuna, ada bayang-bayang Yugyeom yang tak bisa dia saingi.

To Be Continued...

Tangled Hearts (✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang